Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Membangun Sinergi Multi-Pihak dalam Penyediaan Rusun bagi MBR

PENYEDIAAN perumahan merupakan salah satu kebutuhan pokok, selain pemenuhan atas sandang dan pangan. Sebuah peradaban bisa terbangun dengan bermartabat apabila tiga kebutuhan pokok manusia itu telah dapat terselesaikan.

Konstitusi Indonesia, sebagaimana termaktub dalam Pasal 28H UUD 1945, menegaskan "Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik”. Rumah sebagai tempat tinggal diposisikan sebagai bagian dari hak warga negara. Dengan kata lain, secara eksplisit negara dirancang untuk mengembangkan kewajiban dalam pemenuhan hak warga negara.

Dalam praktiknya, penyelenggaran pemerintahan negara bekerja dengan bertumpu pada dua pilar utama, yakni regulasi dan anggaran.

Masalah perumahan di Indonesia, sangat erat kaitannya dengan laju urbanisasi dan proses aglomerasi ekonomi wilayah. Berdasarkan data yang dilansir Housing And Real Estate Information System (HREIS, 2022), hingga akhir tahun 2021 masih terdapat 16,82 persen rumah tangga di Indonesia yang belum memiliki rumah. Dari sisi kelayakan hunian, masih terdapat 39,10 persen rumah yang masuk kategori tidak layak huni, yang umumnya berada di wilayah pedesaan dan kawasan sub-urban perkotaan.

Pemerintah telah menetapkan program penyediaan rumah susun (rusun) untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR), sebagai salah satu infrastruktur pelayanan dasar bidang perumahan dalam RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) 2019-2024. Ruang fiskal yang terbatas dalam APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) menyebabkan tidak semua rusun yang ditargetkan dapat dibangun dengan menggunakan APBN melalui Kemenerian PUPR.

Peran pemerintah daerah dan partisipasi pihak swasta memiliki nilai strategis dalam mendukung penyediaan rusun di daerah, khususnya bagi MBR yang belum memiliki hunian.

Strategi ini penting dalam rangka pengentasan backlog perumahan secara nasional. Backlog perumahan merupakan kondisi kesenjangan antara jumlah rumah terbangun dengan jumlah rumah yang dibutuhkan rakyat.

Penyediaan rusun di daerah memiliki tantangan yang kompleks. Kompleksitas tersebut dipengaruhi aspek laju urbanisasi, transmigrasi penduduk, dan aspek sosial budaya masyarakat yang terbiasa tinggal di rumah tapak (landed house). Namun, keniscayaan atas penyediaan hunian vertikal (rusun) di daerah metropolitan yang tengah mengalami proses aglomerasi, menjadi tuntutan perkembangan zaman yang membutuhkan respon kebijakan sejak dini.

Kerangka regulasi

Dari sisi regulasi, ruang kolaborasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk menyediakan rusun sudah tersedia, khususnya bagi kelompok masyarakat kategori MBR. Dalam UU Nomor 23/2014 Tentang Pemerintah Daerah, salah satu urusan pemerintahan dalam penyediaan pelayanan dasar yang wajib diselenggarakan oleh daerah adalah bidang perumahan rakyat (Pasal 12 Ayat 1 huruf d).

Ketentuan itu merupakan penegasan atas amanat Pasal 39 ayat 1 UU Nomor 1/2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) yang berbunyi, “Pemerintah dan/atau pemerintah daerah bertanggung-jawab dalam pembangunan rumah umum, rumah khusus dan rumah negara”.

Selanjutnya pada Pasal 54 ayat 1 dan 2 dijelaskan bahwa, “(1) Pemerintah wajib memenuhi kebutuhan rumah bagi MBR. (2) Pemerintah dan/atau pemerintah daerah wajib memberikan kemudahan pembangunan dan perolehan rumah”. Dalam konteks pembiayaan, Pasal 121 ayat 1 menyebutkan, “Pemerintah dan/atau pemerintah daerah harus melakukan upaya pengembangan sistem pembiayaan”. Pemerintah dan pemerintah daerah juga diamanatkan untuk mendorong pendayagunaan lembaga keuangan dalam rangka pengembangan sistem pembiayaan tersebut.

Bagi pihak swasta, komponen biaya dalam pembangunan rusun terutama dipengaruhi oleh faktor pembebasan lahan. Solusi atas kendala itu juga telah diberikan oleh UU Nomor 20/2011 Tentang Rumah Susun. Dalam Pasal 19 ayat 1 dijelaskan bahwa “Pemanfaatan barang milik negara/daerah berupa tanah untuk pembangunan rumah susun, dilakukan dengan cara sewa atau kerja sama pemanfaatan”.

Bekaitan dengan lingkup kewenangan pemerintah daerah, Pasal 17 huruf I dan Pasal 18 huruf e menjelaskan bahwa “Pemerintah provinsi dan kabupaten/kota dalam melaksanakan pembinaan, mempunyai wewenang mengoordinasikan pencadangan atau penyediaan tanah untuk pembangunan perumahan dan permukiman bagi MBR”.

Dalam hal sumber dana, Pasal 92 menjelaskan, “Sumber dana untuk pemenuhan kebutuhan rumah susun berasal dari APBN, APBD dan sumber dana lainnya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.”

Berbasis kerangka regulasi seperti itu, terdapat peluang untuk membangun sinergi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam mendukung penyedian rusun bagi MBR, melalui skema blended financing, KPBU (Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha) dengan melibatkan peran swasta, serta penyediaan aset daerah berupa tanah dan pemberian insentif lain sehingga menarik minat swasta untuk berpartisipasi.

Kapasitas fiskal daerah

Era otonomi daerah sejatinya memberikan peluang bagi pemerintah daerah untuk memaksimalkan setiap pontensi yang dimiliki. Terlebih lagi dari sisi belanja, pemerintah daerah (pemda) memiliki kelonggaran yang lebih tinggi dibanding era rezim sentralisasi Orde Baru.

Namun, ruang gerak pemda untuk memenuhi berbagai kebutuhan masyarakat di daerah, khususnya penyediaan rusun, juga sangat terbatas karena kapasitas fiskal yang rendah. Kapasitas fiskal adalah kemampuan keuangan masing-masing daerah yang dicerminkan melalui pendapatan daerah dikurangi dengan pendapatan yang penggunaannya sudah ditentukan dan belanja tertentu.

Hasil perhitungan kapasitas fiskal yang dilansir oleh Kementerian Keuangan melalui PMK Nomor 116/PMK.07/2021 tentang Peta Kapasitas Fiskal Daerah (KFD), perlu untuk memperoleh perhatian berbagai pemangku kepentingan. Hasil perhitungan yang dilakukan menyimpulkan bahwa setengah dari seluruh provinsi di Indonesia memiliki kapasitas fiskal yang kurang, yakni delapan provinsi (23,5 persen) masuk dalam kategori rendah dan sembilan provinsi (26,4 persen) terhitung sangat rendah.

Provinsi yang memiliki kapasitas fiskal dengan kategori rendah dengan skor indeks KFD di atas/sama dengan 0,275 dan di bawah 0,458 adalah Kalimantan Utara, Kepulauan Riau, NTT, NTB, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Kalimantan Tengah, dan Aceh. Sementara provinsi yang memiliki kapasitas fiskal sangat rendah yakni skor indeks KFD di bawah 0,275 adalah Sulawesi Barat, Gorontalo, Bangka Belitung, Maluku, Maluku Utara, Sulawesi Tenggara, DI Yogyakarta, Bengkulu, dan Jambi.

Kapasitas fiskal yang terbatas, merupakan cerminan dari kemampuan pemda dalam menyediakan berbagai pelayanan publik di daerahnya, tidak terkecuali pelayanan publik bidang perumahan.

Win-win solution skema KPBU

Pemerintah memiliki kewajiban untuk melayani publik secara umum, sebagaimana fungsi dan tugasnya yang diberikan undang-undang. Sementara sektor bisnis beroperasi untuk melayani costumers/buyers sebagai “konstituen” mereka dalam menjalankan roda kerja organisasi.

Kewajiban konstitusional yang diemban pemerintah dihadapkan pada keterbatasan sumberdaya, baik dari sisi jumlah personel birokrasi maupun anggaran belanja yang memerlukan pertimbangan dalam mengalokasikan penggunaanya, berdasarkan skala prioritas masing-masing sektor.

Masalah klasik yang seringkali muncul dalam tingkatan implementasi kebijakan adalah kurangnya program atau kegiatan yang melibatkan berbagai pihak, terutama sektor swasta di level daerah. Upaya sinergi dan kolaborasi dibutuhkan guna mencapai tujuan pembangunan bersama.

Skema-skema kolaboratif seperti Kerjasama Pemerintah & Badan Usaha (KPBU) atau lazim disebut Public Private Partnership masih belum banyak dijumpai pada banyak daerah di Indonesia. Dari sisi sumberdaya dan jejaring yang tersedia, pihak swasta justru memiliki lebih banyak input yang bisa dimaksimalkan melalui kemitraan strategis dengan pemerintah.

Dari sudut pandang pemerintahan, inilah yang disebut dengan model pemerintahan kolaboratif. Collaborative governance yang diartikan sebagai sebuah sistem yang mengatur satu atau lebih lembaga publik secara langsung terlibat dengan pemangku kepentingan non publik dalam proses pengambilan keputusan kolektif bersifat formal, berorientasi konsensus, dan musyawarah yang bertujuan untuk membuat atau mengimplementasikan kebijakan publik atau mengelola program atau aset publik (Ansell dan Gash, 2007).

Definisi hampir serupa dikemukakan Balogh (2011) bahwa collaborative governance merupakan sebuah proses dan struktur dalam manajemen dan perumusan kebijakan publik yang melibatkan aktor-aktor yang secara konstruktif berasal dari berbagai level, baik dalam tataran pemerintahan dan atau instansi publik, institusi swasta, lembaga swadaya masyrakat (LSM) dan masyarakat sipil dalam rangka mencapai tujuan pubik yang tidak dapat dicapai jika dilaksanakan satu pihak saja. Kerjasama kolaboratif sebagai proses kerja organsiasi-organisasi yang memiliki suatu kepentingan terhadap suatu masalah tertentu, berusaha mencari solusi bersama dalam rangka mencapai tujuan yang bisa dicapai secara sendiri-sendiri.

Ruang untuk membuka forum komunikasi multi-pihak telah diberikan UU Nomor 23/2014. Pemerintah daerah bisa memanfaatkan peluang ini untuk memaksimalkan keterlibatan semua pihak yang potensial untuk bekerja bersama, mencapai target-target pembangunan secara partisipatif. Pasal 354 menyebutkan bahwa dalam penyelenggaraan pemerintahan, pemerintah daerah dapat mendorong partisipasi masyarakat, dengan melibatkan berbagai kelompok dan organisasi masyarakat dalam penyelenggaraan kegiatan pembangunan, melalui skema KPBU yang akan memberi manfaat kepada masing-masing pihak.

Dari sisi pemerintah daerah, ruang improvisasi tersebut dapat dimanfaatkan untuk membangun forum kemitraan. Sementara dari sisi dunia usaha (korporasi), kesempatan ini dapat digunakan sebagai pintu masuk untuk memaksimalkan tugas-tugas sosial sebagai manifestasi dari corporate social responsibility (CSR,) yang juga diwajibkan dalam Undang- Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

Dengan dukungan pemerintah pusat, pemda dapat berperan dalam penetapan tarif sewa rusun untuk KBPU dengan skema service charge, penetapan regulasi dalam bentuk perda, dan pengadaan lahan.

Skema KPBU Availibilty Payment (KPBU-AP) juga dapat dimanfaatkan oleh pemda mengingat kapasitas fiskal yang terbatas dengan menerapkan pembayaran terjadwal kepada pelaku pembangunan sesuai tahun fiskal. Dari sisi pelaku usaha, kepastian yang diperoleh dapat meminimalkan resiko bisnis sehingga perencanaan keuangan dan konstruksi bisa lebih terukur, tanpa harus terbebani kewajiban pendanaan yang sangat besar di awal pelaksanaan proyek.

Dengan memanfaatkan peluang-peluang kolaborasi yang ada, pemerintah pusat dan pemerintah derah dapat membangun sinergi yang saling mendukung dengan berbagi peran dan tanggung-jawab, dengan melibatkan berbagai pihak di luar pemerintahan secara partisipatif-kolaboratif.

* Rusman adalah Analis Kebijakan Direktorat Pelaksanaan Pembiayaan Perumahan di Direktorat Jenderal Pembiayaan Infrastruktur Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan (DJPI-PUPR).

https://www.kompas.com/properti/read/2022/05/18/093000821/membangun-sinergi-multi-pihak-dalam-penyediaan-rusun-bagi-mbr

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke