Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Mengapa Semua Orang Sebaiknya Belajar Branding

Merek-merek itu kita gunakan setiap hari, di kamar mandi, di ruang makan ketika sarapan, dalam perjalanan ke kantor, di kantor, hingga kita kembali lagi sampai rumah.

Berbagai keputusan yang kita ambil baik profesional maupun personal juga tidak bisa dilepaskan dari brand.

Kita memilih produk untuk digunakan tidak hanya berdasarkan harga dan penampilan tapi juga brand-nya.

Kita memilih meluangkan waktu dengan siapa sehari-harinya juga tidak bisa dilepaskan dari brand-nya.

Perusahaan, produk, dan juga setiap orang adalah brand. Kekuatan brand-lah yang membuat mayoritas dari pembeli Apple tidak mempertanyakan soal harga dan spesifikasi teknis produk-produknya.

Karena Apple memang berfokus pada brand, ketimbang pada berbagai parameter yang membuatnya bisa dibandingkan apple to apple dengan brand lain.

Maka dari itu, Apple selalu memilih terminologi yang berbeda untuk teknikal spesifikasinya. 

Menggunakan prosesor yang berbeda dan tidak bisa dengan mudah dibandingkan dengan brand lain, menggunakan teknologi layar dengan nama yang berbeda pula dengan pesaing, dan mereka pun sangat minim mengeksplorasi  spesifikasi teknis.

Apple percaya pada brand dan untuk itu mereka fokus pada experience ketimbang spesifikasi teknis.

Tidak heran jika hanya dengan pangsa pasar di bawah 30 persen, Apple tetap mampu mendominasi hingga lebih dari 60 persen profit share yang dihasilkan semua pemain gawai pintar.

Adalah kekuatan brand pula yang membawa Coca-Cola masih bertahan sebagai pemimpin pasar bahkan setelah berulang kali terbukti kalah dalam blind test melawan Pepsi pada Pepsi Challenge.

Merek Coca-Cola yang demikian kuat mampu “menyugesti” otak penggunanya sehingga dipersepsikan lebih nikmat.

Adalah kekuatan brand pula yang membuat mereka yang mengendarai mobil sport mewah bisa tetap percaya diri masuk ke pusat perbelanjaan bahkan dengan pakaian super sederhana; celana pendek, kaos polos tak bermerek, dan sendal jepit karet.

Gantungan kunci Lamborgini atau Ferrari yang tampak tergantung di saku mereka cukup memberi kepercayaan diri sekaligus mematahkan persepsi tentang orang seperti apa mereka dari kesederhanaan penampilannya.

Adalah demi membangun kekuatan brand yang membuat para caleg, cagub, capres rela menggelontorkan uang miliaran hingga triliunan rupiah tanpa jaminan akan menang.

Dan walaupun uang bisa membantu membangun popularitas namun bukan berarti mereka yang berkocek tipis kehilangan kesempatan untuk menang.

Nama-nama seperti Jokowi, Risma, dan sederet politikus non-borjuis lain terbukti bisa memenangkan kontestasi politik, tentunya juga dengan dorongan brand yang begitu kuat.

Merek bukan monopoli pebisnis dan pedagang. Kita semua adalah brand atas diri kita sendiri.

Dan bagaimana personal brand kita terbangun memiliki dampak luar biasa pada hidup kita.

Mereka yang memiliki personal brand yang kuat tidak pernah khawatir kehilangan pekerjaan.

Tidak butuh waktu lama bagi mereka yang memiliki personal brand kuat untuk menemukan pekerjaan baru.

Dalam situasi pekerjaan sehari-hari, kita pun bertemu orang-orang yang cenderung lebih didengar oleh atasan, ini juga tidak lepas dari kontribusi brand.

Bagaimana kita disukai, didengarkan, dipercaya dan dituruti juga tidak bisa dilepaskan dari bagaimana brand dibentuk dibenak orang-orang di sekeliling kita.

Ada orang-orang yang direncanakan atau tidak, telanjur membentuk brand sebagai si pintar, si cerdik, si licik, si lugu, si bermuka dua, si penyabar dan lain sebagainya.

Dan brand yang terbentuk ini sangat berpengaruh terhadap bagaimana hidup kita berjalan.

Sayangnya brand seringkali hanya jadi jargon, sesuatu yang dibicarakan namun jarang sekali dimengerti.

Banyak yang membangun brand dengan memulai dan terlalu banyak berfokus pada produk, pada aktivitas yang akan dilakukan.

Personal brand juga banyak dibangun dengan terfokus pada bagaimana kita harus berbicara dan berpenampilan.

Padahal sebaiknya brand dimulai dengan mengerti bagaimana manusia berpikir. Karena walaupun brand direncanakan di meeting room namun pada akhirnya dibentuk di benak konsumen.

Ibarat orang yang sedang berencana membentuk tubuh maka mereka lebih sibuk latihan beban secara sporadis tanpa tahu bagian mana yang akan dibentuk oleh latihan beban tersebut.

Padahal untuk membentuk setiap bagian otot kita sebaiknya memulai dengan mengerti bagaimana setiap bagian tersebut dibentuk baru pada akhirnya mencari latihan yang tepat untuk mendapat hasil yang sesuai.

Ibarat orang yang sedang sakit mereka sibuk minum obat untuk menyembuhkannya. 

Walaupun obat memang bisa menyembuhkan sakit, namun tanpa diagnosa yang tepat obat akan tidak ada gunanya dan bahkan bisa berakibat fatal.

Untuk itu ketika kita sakit kita datang ke dokter, bukan ke apotik. Kebutuhan untuk mengerti bagaimana manusia berpikir menjadi semakin valid untuk kita bisa membangun brand kita, profesional maupun personal.

Ini karena berbagai fakta membuktikan bagaimana irasionalnya kita. Berbagai bias heuristik/psikologis begitu menentukan bagaimana kita bereaksi terhadap brand.

Belum lagi dorongan hormon, mood, dan berbagai emotional state kita. Membangun brand bukan sekadar membangun popularitas, cari sensasi, dan untuk itu kita butuh mengerti betul bagaimana otak bekerja untuk bisa membangun brand kita.

https://www.kompas.com/properti/read/2021/06/03/070000221/mengapa-semua-orang-sebaiknya-belajar-branding

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke