Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Walhi Soroti 6 Masalah Permen Food Estate di Kawasan Hutan

Permen tersebut memungkinkan dibuatnya kawasan hutan lindung menjadi area pembangunan lumbung pangan Nasional atau Food Estate.

Aturan itu ditandatangani oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar pada 26 Oktober 2020.

Direktur Eksekutif Walhi Nur Hidayati mengkritisi kebijakan tersebut. Setidaknya ada enam poin persoalan mendasar yang disoroti.

Pertama, food estate ini dinilai Nur Hidayati, akan memakan lahan secara luas sehingga potensial  berdampak serius terjadinya deforestasi atau kerusakan lingkungan yang signifikan.

Kedua, argumentasi yang dimasukkan dalam bagian "menimbang" pada Permen yang mengaitkannya dengan pandemi Covid-10 tidak tepat.

"Menimbang (poin B) Bahwa untuk memberikan pedoman penyediaan kawasan hutan guna pembangunan food estate diperlukan pengaturan secara efektif dan efisien sesuai dengan kebijakan pemerintah terkait penanganan pandemi Covid-19," demikian tertuang dalam Permen P.24 MENLHK dan diunduh Kompas.com melalui jdih.menlhk.co.id pada Senin (16/11/2020).

Nur Hidayati melanjutkan, sentralisasi pengelolaan pangan tentu akan menyisakan problem distribusi yang makin memperbesar biaya dalam rantai pasok.

Harusnya, persoalan pangan dikembalikan pada petani, tidak disentralisasi, dan harus berbasis diversifikasi pangan.

"Hal tersebut tentu tidak mungkin dilakukan dengan pendekatan skala luas," kata Nur Hidayati dalam keterangan tertulisnya, Senin (16/11/2020).

Ketiga, "pernyataan komitmen” ixin lingkungan yang dijadikan dasar mengeluarkan Kawasan Hutan untuk Ketahanan Pangan (KHKP) dalam aturan tersebut tidak tepat.

"Menjadi tidak logis jika “pernyataan komitmen” dijadikan dasar, sementara alih fungsi kawasan hutan langsung dilakukan," ujarnya.

Keempat, Walhi mempertanyakan adanya istilah Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) Cepat dalam aturan tersebut. Pasalnya istilah itu malah rentan menghasilkan kajian yang tidak akurat.

"Istilah KLHS cepat beberapa kali muncul bukan hanya pada proyek food estate tetapi juga pada proyek IKN. Penggunaan KLHS cepat tidak memiliki dasar legal yang cukup, serta rentan menghasilkan kajian yang tidak akurat," ujar Nur Hidayati.

Kelima, Dalam aturannya, Kata Nur bahwa skema perubahan peruntukan kawasan hutan dilakukan di kawasan hutan dengan fungsi produksi yang dapat dikonversi.

Sedangkan, hak pengelolaan kawasan hutan untuk ketahanan pangan (KHKP) dilakukan di kawasan hutan fungsi produksi dan lindung.

"Khusus untuk KHKP dikedokkan dengan program perhutanan sosial dan tanah objek reforma agraria* (Pasal 20 huruf c). KHKP diberi durasi penguasaan ruang paling lama 20 (dua puluh) tahun dan dapat diperpanjang (Pasal 31)," tegasnya.

Keenam, Walhi menyebut bahwa hutan-hutan alam yang ditebang dalam aturan tersebut diberi kemungkinan insentif tidak membayar kewajiban pembayaran provisi sumber daya hutan (PSDH) dan atau dana reboisasi (DR).

Hal itu sebagaimana tertuang dalam pasal 17 ayat 3 yang menyatakan, "Terhadap kewajiban pembayaran provisi sumber daya hutan (PSDH) dan/atau dana reboisasi (DR) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dikecualikan dengan persetujuan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara".

Dan pasal 30 ayat 3 menyebutkan, bahwa "Kewajiban pembayaran prvisi sumber daya hutan (PSDH) dan/atau dana reboisasi (DR) dan ganti rugi nilai tegakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dikecualikan dengan persetujuan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara."

"Karena sejumlah permasalahan tersebut, maka Walhi meminta agar pemerintah dapat membatalkan dan mencabut peraturan tersebut," tuntas Nur Hidayati.

https://www.kompas.com/properti/read/2020/11/16/165550421/walhi-soroti-6-masalah-permen-food-estate-di-kawasan-hutan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke