Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Jannus TH Siahaan
Doktor Sosiologi

Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran. Pengamat sosial dan kebijakan publik. Peneliti di Indonesian Initiative for Sustainable Mining (IISM). Pernah berprofesi sebagai Wartawan dan bekerja di industri pertambangan.

Mendayung di antara China dan Amerika

Kompas.com - 17/05/2023, 07:32 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Hal itu bisa terjadi karena China menarget komoditas-komoditas mentah yang posisinya sangat strategis untuk mengembangkan perekonomian China, lalu menjual barang-barang jadi ke Indonesia sebagai balasannya, yang tentu sudah mengalami peningkatan daya saing terlebih dahulu.

Nah, karena belum berhasil membangun industri dalam negeri yang berdaya saing, serbuan barang-barang manufaktur dari China membuat kesempatan Indonesia untuk memproduksi barang-barang manufaktur menjadi sangat berat, karena daya saing ekonomi China jauh lebih baik dari Indonesia.

China bisa memproduksi barang yang jauh lebih murah dan efisien dibanding Indonesia, sehingga sangat sulit untuk melawan produk-produk manufaktur China di pasaran.

Walhasil, Indonesia terjebak ke dalam relasi merkatilistik dengan China di mana Indonesia baru mampu sebatas menjadi penyedia komoditas-komoditas mentah.

Untuk mengurangi potensi dominasi China melebar ke ranah lain, terutama geopolitik dan pertahanan, Indonesia berusaha menjaga hubungan baik dengan Amerika Serikat dan sekutunya, seperti Uni Eropa, Jepang, dan Korea Selatan.

Jalur komunikasi dengan Amerika Serikat tetap terjaga dengan baik. Kerja sama militer berupa latihan bersama juga masih terjadwal secara teratur dengan Amerika, seperti Garuda Shield dan sejenisnya.

Beberapa persenjataan strategis Tentara Nasional Indonesia (TNI) juga masih menggunakan buatan negeri Paman Sam, seperti pesawat F16 dan lainnya.

Namun belakangan Indonesia mulai mengurangi ketergantungan berlebihan pada salah satu pihak.

Indonesia mulai melakukan diversifikasi impor senjata yang tidak terlalu bertumpu kepada salah satu kubu, terutama Amerika Serikat dan Barat.

Pasalnya, risiko Indonesia dilumpuhkan dari sisi jalur suplai sangat tinggi jika terlalu bergantung pada satu pihak (embargo suku cadang).

Diversifikasi bisa dilihat, misalnya, dari proyek peremajaan dan pembuatan kapal selam (Submarines) dan inisiasi pembuatan pesawat tempur jenis baru bekerja sama dengan Korea Selatan.

Bahkan jika didasarkan pada data Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI) tahun 2021, Indonesia terbilang berhasil melakukan strategi diversifikasi impor senjata tersebut.

Menurut data SIPRI, Indonesia mengimpor senjata senilai 328 juta trend indicator value (TIV) pada 2021. Nilai tersebut meningkat 21,9 persen dibandingkan tahun sebelumnya sebesar 269 juta TIV.

Sebagai catatan tambahan, TIV atau Trend Indicator Value adalah satuan hitung dari setiap transfer senjata dari satu negara ke negara lain, yang telah disesuaikan dengan inflasi, penyusutan harga senjata, dan depresiasi atau apresiasi nilai tukar mata uang yang digunakan dalam transaksi persenjataan.

Satuan ini diperkenalkan oleh SIPRI dan telah menjadi satuan hitung transfer senjata sejak beberapa tahun belakangan.

Nah menariknya, impor senjata Indonesia paling banyak berasal dari Korea Selatan, yakni 151 juta TIV. Jumlah tersebut setara dengan 46 persen total impor senjata ke dalam negeri.

Kemudian diikuti impor senjata dari Amerika Serikat dengan nilai 91 juta TIV. Indonesia juga mengimpor senjata senilai 23 juta TIV dari Perancis.

Lalu diikuti impor senjata dari Norwegia dan Jerman sama-sama sebesar 20 juta TIV. Ada pula impor senjata dari Rusia senilai 9 juta TIV.

Nilai impor senjata Indonesia dari Austria, Belgia, Kanada, dan Israel sama-sama 3 juta TIV. Adapun, Indonesia membeli senjata dari China senilai 2 juta TIV.

Upaya diversifikasi impor senjata ini sangat baik untuk daya tahan pertahanan nasional, karena itu harus terus ditingkatkan di satu sisi, tapi juga harus diikuti dengan penguatan industri pertahanan dalam negeri di sisi lain, agar Indonesia tidak terlalu bergantung kepada impor.

Namun dari sisi ekonomi, Indonesia nampaknya belum mampu keluar dari dilema dua kekuatan besar China.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com