BBC mengontak setidaknya 20 pekerja dan sebagian besar membayar sekitar Rp65 juta dan bahkan ada yang sampai Rp100 juta kepada pihak ketiga. Banyak di antara mereka yang terpaksa berutang.
Salah seorang pekerja yang sudah kembali ke Indonesia mengatakan dia baru membayar setengah dari pinjaman keseluruhan dan berharap dapat kembali lagi tahun depan.
"Sangat tidak cukup, bahkan minus, mungkin dikarenakan proses keberangkatan yang telat dari skema waktu panen di perkebunan Inggris. Kami harap pada kesempatan kedua akan tepat waktu sehingga kami dapat bekerja penuh dan mendapat gaji yang sesuai untuk menutup kekurangan sebelumnya," kata seorang pekerja asal Jawa Tengah yang tak mau disebutkan namanya.
Para pekerja migran Indonesia ini pada umumnya menandatangani kontrak dua tahun untuk bekerja selama enam bulan dalam dua tahap.
Baca juga: Pemetik Buah di Australia Minta Kenaikan Gaji, Pemilik Kebun Tak Sepakat
Sejumlah pekerja bahkan ada yang menggadaikan rumah, termasuk yang ditemui Ernesta, wartawan di Nusa Tenggara.
"Saya bertemu dengan sekitar 10 pekerja yang sudah pulang dari Inggris. Mereka berangkat dikenakan biaya antara Rp65 juta sampai Rp95 juta yang tak bisa mereka bayar lunas. Mereka gadaikan sertifikat rumah," cerita Ernesta.
Sebagian dari mereka ada yang bekerja hanya dua atau tiga bulan sebelum dipulangkan karena musim panen telah selesai. Musim panen buah biasanya mulai April dan mulai habis pada Oktober. Sejumlah buah, termasuk apel, biasanya masih tersedia untuk dipanen sampai November.
"Setelah kembali ke Indonesia, mereka tak bisa menebus sertifikat rumah. Bahkan untuk bayar lagi untuk pergi tahun depan, yang mereka sebutkan sekitar Rp25 juta (untuk tiket dan visa), mereka harus bayar lagi sendiri. Jadi semakin terlilit utang, dari awal berangkat sampai harus berangkat lagi. Mereka berharap bisa berangkat lagi untuk melunasi utang mereka," tambah Ernesta.
Andy Hall, pegiat hak pekerja migran, menyebut apa yang terjadi dengan kelompok pertama pekerja migran Indonesia di Inggris ini sebagai bentuk kerja paksa dengan jeratan hutang, perekrutan ilegal tanpa etika, dan penipuan kontrak.
Andy menyebut para pekerja migran adalah yang paling rentan dalam menghadapi risiko pengabaian akibat ekspolitasi supermarket di Inggris.
Dalam satu bulan terakhir ini, supermarket-supermarket besar melakukan berbagai pertemuan mendesak untuk mencari cara mencegah kemungkinan eksploitasi pekerja berdasarkan skema visa pekerja musiman.
David Camp, direktur Association of Labour Providers mengatakan kepada the Guardian, "Kami telah meminta dilakukannya perubahan sejak bertahun-tahun. Namun sayangnya, orang sudah terkena dampaknya sebelum diambil tindakan".
Baca juga: Pemetik Buah di Australia Minta Kenaikan Gaji, Pemilik Kebun Tak Sepakat
Camp mengatakan pemerintah perlu mengambil keputusan terkait alokasi visa sehingga pihak perekrut memiliki waktu untuk menyeleksi.
"Kita harus memiliki sistem di mana para pekerja tidak perlu berutang untuk bisa datang dan bekerja di Inggris," kata Camp.
Skema ini pertama diterapkan untuk mempersiapkan Brexit pada 2019. Ketika itu hanya 2.500 pekerja musiman yang datang. Namun data sampai September, menurut Kementerian Dalam Negeri, lebih dari 33.000 pekerja yang datang ke Inggris melalui skema ini.