“Si vis pacem, para bellum”, jika kau mendambakan perdamaian, bersiap-siaplah menghadapi perang. Peribahasa latin yang lahir dari Undang-Undang VIII (4) Plato 347 SM dan Epaminondas 5 Cornelius Nepos tersebut hingga saat ini masih sangat populer.
Narasi serupa kemudian juga muncul pada tahun 400 M dalam kata pengantar De re militari oleh Flavius Vegetius Renatus, yang berbunyi: “Qui desiderat pacem, bellum praeparat”. Maknanya, siapa menginginkan perdamaian, bersiaplah untuk perang.
Meskipun hingga saat ini perang konvensional berskala besar layaknya Perang Dunia II belum terjadi, dinamika politik internasional, selayaknya diungkapkan oleh Hans J. Morgenthau, selalu diwarnai oleh struggle of power atau perebutan kekuasaan.
Mpu dari teori realisme dalam disiplin ilmu hubungan internasional tersebut meyakini bahwa apapun tujuan akhir dari politik internasional, baik itu kebebasan, keamanan, maupun kesejahteraan, semua itu hanyalah tujuan tidak langsung. Tujuan langsungnya sudah tentu adalah kekuasaan.
Setiap aktor politik internasional memiliki kemampuan untuk mendefinisikan tujuannya dalam wujud cita-cita agama, filosofis, ekonomi, ataupun sosial.
Impian tersebut dapat tercapai entah melalui kekuatan batinnya sendiri, intervensi spiritual, maupun perkembangan alamiah peradaban manusia.
Teori realisme klasik dalam hubungan internasional yang dipopulerkan oleh berbagai tokoh seperti Morgenthau, Kenneth Waltz, maupun Samuel Huntington ini seperti tak pernah mati.
Ketika dunia berada dalam utopia perdamaian dan kemakmuran, perspektif ini seperti tenggelam oleh pendekatan liberalisme yang cenderung idealis.
Namun, ketika persaingan dunia kembali meruncing, adanya kelangkaan sumber daya alam, maupun terjadinya gesekan kepentingan antaraktor politik, teori ini seperti kembali bangkit dari kubur.
Hal ini salah satunya dapat ditinjau dari fenomena perang dingin, di mana Amerika Serikat dan Uni Soviet tetap saling mengembangkan senjata-senjata nuklir serta meningkatkan daya penghancurnya masing-masing pascausainya Perang Dunia II.
Teori ini seperti berasumsi bahwa perdamaian dunia terdengar seperti omong kosong dan hanyalah sebuah jeda sementara bagi perang yang akan berlanjut di masa depan. Pertanyaannya adalah, mengapa?
Dalam menjelaskan asumsi tersebut, penulis mencoba menuliskan kembali berbagai karakteristrik dari teori realis.
Istilah realisme, yang berasal dari kata real atau nyata, memiliki makna yang selalu bertolak dari kenyataan yang terjadi.
John Mearsheimer dalam bukunya yang berjudul Anarchy and The Struggle for Power, mengemukakan bahwa terdapat lima poin yang menjadi ciri khas aliran realisme ini.
Pertama, sistem internasional adalah anarki, dan senantiasa dalam anarki. Anarki dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti tidak adanya pemerintahan, undang-undang, peraturan, atau ketertiban.