JAKARTA, KOMPAS.com – Guna mengejar target bauran energi terbarukan di Asia Tenggara, diperlukan kerja sama yang kuat antarnegara di kawasan untuk mendorong transisi energi yang berkelanjutan dan mengalihkan investasi dari bahan bakar fosil ke energi terbarukan.
Hal tersebut ditekankan oleh Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa dalam webinar bertajuk Status Transisi Energi di Asia Tenggara, Jumat (29/7/2022).
Menurutnya, Asia Tenggara berkembang menjadi kawasan dengan kekuatan ekonomi terbesar kedua di Asia setelah China, sehingga permintaan energi akan terus meningkat ke depannya.
Baca juga: Genjot Transisi Energi Bersih, Indonesia dan AS Perdalam Kemitraan
“Banyak negara di kawasan Asia Tenggara masih bergantung pada energi fosil seperti batu bara, gas dan minyak,” kata Fabby, sebagaimana rilis yang diterima Kompas.com.
“Sementara, Asia Tenggara merupakan kawasan yang rentan terhadap dampak krisis iklim. Upaya kolaboratif untuk beralih dari energi fosil ke energi terbarukan di kawasan ini dapat memberikan kontribusi yang signifikan dalam usaha global mencapai tujuan Persetujuan Paris,” sambung Fabby.
Indonesia mempunyai target bauran energi baru terbarukan mencapai 23 persen pada 2025 dan 31 persen pada 2030.
Namun, menurut Manajer Program Ekonomi Hijau IESR Handriyanti Puspitarini, berdasarkan kajian IESR, jika tidak ada perbaikan kebijakan, bauran energi terbarukan di Indonesia hanya 15 persen pada 2025 dan 23 persen pada 2030.
“Jika melihat tren 2013-2021, pangsa energi terbarukan meningkat meski lambat. Padahal berdasarkan kajian IESR, Indonesia punya potensi teknis energi terbarukan lebih dari 7.000 gigawatt. Sedangkan yang sudah dimanfaatkan hanya 11,2 gigawatt saja,” papar Handriyanti.
Baca juga: Demi Hemat Energi, PM Spanyol Minta Pekerja Tak Pakai Dasi
Dia menilai, lamanya pengurusan izin dan rumitnya mekanisme pengadaan proyek energi terbarukan di Indonesia membuat para investor enggan berinvestasi di Indonesia.
“Indonesia perlu meningkatkan aspek politik, aturan kebijakan, dan finansial untuk mendorong pengembangan energi terbarukan yang lebih masif, terutama berdasarkan hasil kajian IESR, kesadaran publik terhadap transisi energi dan perubahan iklim mulai meningkat,” jelasnya.
Di sisi lain, pada 2021, Malaysia meningkatkan komitmennya untuk meningkatkan target bauran energi terbarukannya melalui Rencana Transisi Energi Malaysia.
Executive Officer Sustainability & Finance All Party Parliamentary Group Malaysia on Sustainable Development Goals (APPGM-SDG) Anthony Tan berujar, Malaysia meningkatkan target bauran energi terbarukan dari 20 persen pada 2025 menjadi 31 persen pada 2025 dan 40 persen pada 2030.
“Malaysia juga berkomitmen untuk tidak lagi membangun PLTU (pembangkit listrik tenaga uap) batu bara baru untuk mencapai netral karbon secepatnya pada 2050,” urai Tan.
Baca juga: Begini Cara Negara-negara Eropa Hadapi Lonjakan Harga Energi di Tengah Perang Rusia-Ukraina
Namun menurutnya, Pemerintah Malaysia juga perlu mendorong upaya efisiensi energi dan transportasi yang berkelanjutan secara holistik.
“Malaysia membutuhkan kebijakan energi nasional yang holistik. Selain itu, Malaysia perlu mengembangkan atau mengubah Kebijakan Otomotif Nasional menjadi Kebijakan Transportasi Nasional holistik untuk mengurangi penggunaan energi fosil di sektor transportasi,” imbuh Antony.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.