Dari dalam negeri tantangan tampak melalui sikap masyarakat, termasuk pejabat negara, yang masih belum pengutamakan penggunaaan bahasa Indonesia, baik dalam forum resmi maupun saat gelar wicara (talk show) di media. Mereka asyik menggunakan istilah bahasa Inggris, padahal padanannya sudah ada dalam bahasa Indonesia. Dalam hal penamaan pun penggunaan bahasa Inggris masih tampak mencolok. Nama bandara “Kualanamu International Airport” di Sumatera Utara dan “Yogyakarta International Airport” di DIY dianggap lebih mentereng dan menjual daripada bernama “Bandara Internasional Kualanamu” dan “Bandara Internasional Yogyakarta”.
Pengutamaan bahasa Inggris yang berlebihan itu juga terjadi pada perguruan tinggi yang mensyaratkan sertifikat TOEFL atau TOEIC bagi mahasiswa sebelum masuk atau lulus dan pada perusahaan yang juga mensyaratkan kecakapan berbahasa Inggris ketika melamar pekerjaan. Kondisi kebahasaan yang ada itu memperlihatkan bahasa Indonesia sudah (mulai) dipinggirkan penuturnya sehingga kewibawaannya semakin memudar.
Tepatlah yang dikatakan Baugh (1935), seorang pakar sejarah bahasa, bahwa penting tidaknya suatu bahasa di mata dunia, terkait erat dengan masyarakat pemilik dan penutur bahasa itu serta pengaruhnya dalam dunia internasional secara global.
Jika penutur jati bahasa Indonesia sendiri sudah menomorduakan bahasa negaranya, warga dunia tentu juga akan menganggap bahasa Indonesia tidak penting. Oleh karena itu, sudah saatnya Kemendikbudristek melalui Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa lebih menguatkan lagi sikap positif masyaralat terhadap bahasa Indonesia.
Pada akhirnya, pernyataan Mendikbudristek tentang perlu kajian dan pembahasan lebih lanjut untuk menentukan bahasa resmi Asean menjadi keniscayaan untuk ditindaklanjuti. Melalui riset yang mendalam dan komprehensif akan terpetakan peluang dan tantangan yang dihadapi, serta strategi apa yang harus dilakukan sehingga amanah dalam UU NO. 24 Tahun 2009 yang sudah berusia hampir 13 tahun itu bergerak maju.
Janganlah teriakan lantang kita hanya menggema setelah Harimau Malaya mengaung dalam ketidakpastiannya.
* Fairul Zabadi adalah peneliti di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.