WASHINGTON DC, KOMPAS.com - Ekonomi Rusia tidak akan pulih dalam waktu dekat dan dapat melihat kerusakan lebih lanjut, jika sanksi atas perangnya di Ukraina diperluas ke ekspor energi, menurut Kepala Ekonom baru Dana Moneter Internasional (IMF) Pierre-Olivier Gourinchas.
Gourinchas mengatakan sanksi dan larangan ekspor AS dan Barat menempatkan ekonomi Rusia pada "lintasan yang sangat berbeda". Akibatnya, kondisi “rebound” (pemulihan kembali ekonomi) yang sering terlihat setelah guncangan ekonomi tidak mungkin terjadi.
Baca juga: Taipan Rusia Kecam Pembantaian di Ukraina: 90 Persen Orang Rusia Menentang Invasi
"Selama sanksi ini ada - dan bisa berlaku untuk waktu yang cukup lama - maka ekonomi Rusia akan berada pada lintasan pertumbuhan yang sangat berbeda," kata Gourinchas, yang bergabung dengan IMF pada Januari, kepada Reuters dilansir pada Rabu (20/4/2022).
"Kami melihat ini sebagai ... sesuatu yang benar-benar merugikan ekonomi Rusia ke depan dan dapat lebih merugikan lagi jika sanksi ditingkatkan," katanya.
"Kejutannya sudah cukup besar ... dan kami memproyeksikan tidak akan ada kebangkitan kembali ke tempat ekonomi Rusia berada sebelumnya."
IMF pada Selasa (19/4/2022) memangkas perkiraannya pertumbuhan ekonomi global hampir satu poin persentase penuh, mengutip perang Rusia di Ukraina.
Badan itu juga memperingatkan bahwa inflasi sekarang menjadi bahaya yang jelas dan menghantui banyak negara sekarang.
Dikatakan produk domestik bruto Rusia diperkirakan terkontraksi 8,5 persen tahun ini, dengan penurunan lebih lanjut 2,3 persen diproyeksi tahun depan.
Pada jumpa pers sebelumnya, Gourinchas mengatakan sanksi Barat yang menargetkan ekspor energi Rusia dapat menyebabkan output ekonomi Rusia turun sebanyak 17 persen pada 2023.
Baca juga: Rusia Justru Salahkan Barat atas Operasi Militer di Ukraina
Ekonomi Rusia akan secara efektif " dilempar ke dalam autarki", jika sanksi diperluas untuk mencakup energi, sehingga negara itu hanya memiliki beberapa mitra dagang.
Negara-negara seperti China dan India belum bergabung dengan sanksi Barat terhadap Rusia. Akan tetapi, kata dia, ancaman sanksi sekunder masih memiliki dampak mengerikan pada perdagangan mereka dengan Rusia.
"Kami melihat bahwa, misalnya, sejumlah perusahaan China - memiliki ketakutan akan sanksi tingkat kedua, bahwa jika Anda melakukan bisnis dengan entitas yang terkena sanksi, maka Anda sendiri dapat dikenakan sanksi," katanya.
Sanksi yang berlanjut akan memaksa India dan China membuat pilihan sulit ke depan, mengingat kebutuhan mereka untuk terus berdagang dengan seluruh dunia, bahkan jika mereka melihat peluang dari membeli minyak dan gas Rusia dengan harga lebih rendah sekarang.
"Sangat penting untuk tetap berada di rantai pasokan (global) itu ke depan," katanya.
"Banyak negara harus bertanya pada diri sendiri, di mana kita ingin berada di lanskap baru yang muncul?"
Saat ini, Gourinchas tidak melihat ada banyak negara yang akan "memilih melompat ke sisi lain (perekonomian dunia) di masa depannya."
Baca juga: Posisi Strategis Indonesia sebagai Pendorong Perdamaian Rusia dan Ukraina
Gourinchas mengatakan pemulihan nilai rubel Rusia tidak dapat mengaburkan indikasi umum dalam perekonomian, termasuk angka inflasi yang meningkat.
Pada saat yang sama, jelas bahwa otoritas moneter Rusia telah berhasil menggunakan kontrol modal dan tingkat suku bunga yang lebih tinggi untuk mencegah penarikan uang besar-besaran, kegagalan lembaga keuangan, atau "kehancuran keuangan total".
Untuk saat ini, kata dia, tidak ada tanda-tanda kerusuhan sosial yang dipicu oleh kenaikan harga energi dan pangan di Rusia, meski IMF telah memperingatkan bahwa kerusuhan dapat meningkat di bagian lain dunia di mana harga telah melonjak.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.