Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dua Dekade Perang Melawan Teror AS, Adakah Pelajaran yang Bisa Dipetik

Kompas.com - 11/09/2021, 14:04 WIB
Bernadette Aderi Puspaningrum

Penulis

Sumber BBC

WASHINGTON DC, KOMPAS.com - "Perang Melawan Teror" yang diumumkan Amerika Serikat sejak serangan 11 September (9/11) diikuti invasi AS ke Afghanistan di bawah pemerintahan Presiden George W Bush.

Sembilan hari setelah serangan 9/11, Presiden ke-43 AS ketika itu mengatakan "Setiap negara, setiap wilayah sekarang harus membuat keputusan. Anda bersama kami atau Anda bersama teroris".

Baca juga: Tragedi Serangan 11 September 2001 dalam Ringakasan Fakta-fakta Singkatnya

Kebijakan itu berlanjut dengan invasi AS ke Irak, hingga kebangkitan ISIS dan proliferasi milisi yang didukung Iran di Timur Tengah. Dampaknya, ribuan prajurit dan wanita dan lebih banyak lagi warga sipil tewas dalam operasi ini.

Terorisme belum dihilangkan, setiap negara besar Eropa telah mengalami serangan dalam beberapa tahun terakhir. Tetapi menurut koresponden keamanan BBC, Frank Gardner, ada juga keberhasilan.

Sampai saat ini, belum pernah ada serangan yang mendekati skala 9/11. Pangkalan Al-Qaeda di Afghanistan dihancurkan, para pemimpinnya diburu di Pakistan. ISIS yang meneror sebagian besar Suriah dan Irak juga dibongkar.

Melansir BBC, Gardner melaporkan ada pelajaran yang mungkin sudah dan belum diambil AS dari 20 tahun memerangi terorisme di seluruh dunia, berdasarkan pengamatannya dari liputan di Timur Tengah, Afghanistan, Washington, dan Teluk Guantanamo.

Baca juga: Detik-detik Serangan 9/11 di Markas Kementerian Pertahanan AS, Pentagon

1. Berbagi informasi intelijen vital

Menurut Gardner petunjuk serangan 9/11 sudah ada dalam informasi intelijen AS, tetapi tidak ada yang menggabungkan informasi di badan-badan intelijen itu tepat waktu.

Pada bulan-bulan menjelang 9/11, dua badan intelijen utama Amerika, FBI dan CIA, sama-sama menyadari ada semacam plot yang sedang terjadi.

Tapi ada persaingan antara pengumpulan intelijen AS baik di domestik dan luar negeri, sehingga mereka menyimpan apa yang mereka ketahui untuk diri mereka sendiri.

Sejak itu, Laporan Komisi 9/11 secara mendalam menelusuri kesalahan yang dibuat dan perbaikan besar telah dibuat.

Mengunjungi Pusat Kontra Terorisme Nasional AS (NCTC) di Virginia pada tahun 2006, Gardner diperlihatkan bagaimana 17 agen AS sekarang mengumpulkan intelijen mereka setiap hari.

Sementara Inggris mendirikan pusat fusi informasinya sendiri dengan Pusat Analisis Terorisme Gabungan (JTAC). Di sana lusinan spesialis dari MI5, MI6, Pertahanan, Transportasi, Kesehatan, dan bidang lainnya semuanya duduk bersama di dalam satu gedung di London's Embankment.

Mereka memberikan penilaian berkelanjutan tentang ancaman teror yang sedang berlangsung terhadap warga negara Inggris di dalam dan luar negeri.

Baca juga: Kisah di Balik “The Falling Man”, Foto Tragis dari Serangan 9/11

Meski begitu, sistemnya masih belum sempurna. Dua tahun setelah JTAC didirikan, Al-Qaeda melakukan pengeboman London 7/7, menggunakan warga negara Inggris untuk membunuh lebih dari 50 orang.

Namun, sebuah plot besar-besaran untuk mengebom beberapa pesawat di tengah penerbangan dapat dihindari pada tahun berikutnya, dengan bantuan Pakistan. Tetapi Inggris masih mengalami beberapa serangan pada 2017 termasuk pemboman Manchester.

Melihat kondisi itu, koresponden keamanan BBC menilai pengumpulan dan berbagi informasi intelijen yang baik pun masih dapat gagal mencegah serangan, jika keputusan yang salah diambil dalam memprioritaskan tugas.

Serangan Bataclan 2015 di Paris, yang menewaskan 130 orang dan persidangannya saat ini sedang berlangsung, sebagian merupakan hasil dari kegagalan otoritas Eropa untuk membagikan informasi intelijen lintas batas secara tepat waktu.

Baca juga: Sejumlah Peristiwa Penting Pasca-Tragedi 9/11, dari 2001 hingga 2021

2. Tentukan misi utama dan jangan terganggu

Dalam laporannya, koresponden keamanan BBC melihat ada satu hal yang menonjol dari sekian banyak alasan mengapa Afghanistan kembali ke pemerintahan Taliban, yakni invasi pimpinan AS ke Irak pada 2003.

Keputusan naas ini menjadi gangguan besar-besaran terhadap apa yang sedang terjadi di Afghanistan.

Banyak Pasukan Khusus AS dan Inggris, yang telah berhasil memburu operasi al-Qaeda dan bekerja dengan mitra Afghanistan untuk menjaga gerilyawan Taliban di belakang, ditarik dan dikirim ke Irak sebagai gantinya.

Hal itu memungkinkan Taliban dan lainnya untuk berkumpul kembali dan menjadi lebih kuat.

Menurut Frank Gardner, ketika dia mengunjungi sebuah pos infanteri AS di provinsi Paktika Afghanistan pada November 2003, orang Amerika sudah menggambarkan misi mereka di sana sebagai "Op Forgotten" (operasi yang terlupakan).

Sangat mudah untuk melupakan bahwa misi awal di Afghanistan sudah jelas dan dilaksanakan dengan baik.

Setelah penguasa Taliban menolak menyerahkan pelaku, AS bekerja sama dengan Aliansi Utara (Afghanistan menentang Taliban) untuk berhasil mengusir baik Taliban dan Al-Qaeda.

Tetapi pada tahun-tahun berikutnya misi itu kemudian dilemahkan, berputar ke berbagai arah.

Kehidupan meningkat selama waktu itu untuk sebagian besar warga Afghanistan, tetapi miliaran dolar yang dihabiskan untuk "membangun bangsa" lain telah dihamburkan melalui korupsi dan pemborosan.

Baca juga: Tragedi 9/11 yang Mengubah Kokpit Pesawat Masa Kini

3. Pilih mitra dengan hati-hati

Bermitranya Inggris dengan sekutu terdekatnya, AS, dalam invasi ke Irak pada 2003 berarti bahwa Inggris adalah mitra junior dalam hampir semua keputusan penting yang mengikuti selama pendudukan berikutnya.

Awalnya di Irak, ada permohonan mendesak untuk tidak membubarkan tentara Irak atau melarang semua anggota partai Baath dari peran pemerintah diabaikan atau ditolak.

Pengabaian atas hal itu berdampak pada aliansi bencana antara perwira militer dan intelijen Irak yang tidak puas dan yang baru menganggur, dengan para ekstrimis fanatik. Ini menjadi ISIS.

Kepanikan kolektif setelah 9/11 membuat intelijen AS dan Inggris akhirnya bekerja sama dengan rezim tertentu, dengan catatan hak asasi manusia yang mengerikan. Akibatnya sekutu harus menuai konsekuensi dari pilihan buruknya.

Misalnya, setelah rezim mengerikan Kolonel Gaddafi di Libya digulingkan pada 2011 wartawan menemukan surat dari seorang perwira senior MI6 kepada rekan Libya-nya, yang membahas ekstradisi terhadap ekstremis untuk mendapat hukuman.

Alih-alih menghentikan teror, ekstremisme dengan kekerasan mengerikan saat ini justru muncul kembali di Afrika, sehingga menimbulkan pertanyaan tentang dengan siapa sebenarnya Barat harus bermitra.

Baca juga: Katib Aam PBNU Jadi Pembicara Peringatan Serangan 9/11, Serukan Penguatan Tatanan Dunia

4. Menghormati hak asasi manusia atau kehilangan landasan moral

Berkali-kali orang di Timur Tengah mengatakan kepada saya: "Kami mungkin tidak menyukai kebijakan luar negeri AS tetapi kami selalu menghormati aturan hukumnya. Sampai Teluk Guantanamo."

AS mengumpulkan tersangka "di medan perang", termasuk dalam beberapa kasus warga sipil tak berdosa “yang dijual dengan harga murah”. Mereka kemudian diangkut ke belahan dunia lain ke pusat penahanan angkatan laut AS di Kuba (Teluk Guantanamo).

Menurut koresponden keamanan BBC, kebijakan itu menimbulkan kerusakan yang tak terhitung pada reputasi Amerika dan Barat.

Penahanan tanpa pengadilan adalah sesuatu yang terjadi di negara-negara otokratis di Timur Tengah. Orang-orang Arab tidak mengharapkan hal ini dari AS.

Hal itu diperburuk dengan adanya pengungkapan "interogasi intensif", dengan “waterboarding” dan perlakuan buruk lainnya di situs hitam CIA, di mana tersangka teroris menghilang begitu saja.

Pemerintahan Presiden AS Barack Obama menghentikan cara itu, tetapi cacat terlanjur terjadi.

Baca juga: 5 Teori Konsiprasi Serangan 9/11 beserta Bantahannya

5. Adakah rencana akhir operasi

Intervensi Barat pasca 9/11 relatif cepat dan sederhana jika dibandingkan dengan kasus Sierra Leone, Kosovo, bahkan kampanye Perang Teluk 1991, semuanya memiliki akhir yang terbatas.

Tetapi invasi pimpinan AS ke Afghanistan dan kemudian Irak telah menghasilkan apa yang disebut "perang selamanya".

Tidak seorang pun yang terlibat pada 2001 atau 2003 membayangkan bahwa mereka masih akan berada di sana dua dekade kemudian.

koresponden keamanan BBC, Frank Gardner menilai hal itu menunjukkan Barat tidak mengerti apa yang mereka hadapi, dan tidak memiliki rencana keluar yang realistis.

Menurutnya, tidak ada keraguan bahwa jika Barat tidak menggusur Taliban dan Al-Qaeda di Afghanistan pada 2001, maka lebih banyak serangan dari sana akan terjadi.

Misi kontra-terorisme di negara itu bukanlah kegagalan, tetapi misi “pembangunan bangsa” tidak pernah selesai.

“Dan hari ini, satu-satunya citra yang akan diambil kebanyakan orang adalah bahwa orang Afghanistan yang putus asa berlari di samping transportasi USAF C17 yang akan lepas landas, mencoba melarikan diri dari negara yang sekarang telah ditinggalkan oleh Barat,” pungkas Gardner.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com