Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

KISAH MISTERI: Teka-teki Pembunuhan Aktivis HAM Ternama AS, Malcolm X

Kompas.com - 15/07/2021, 23:15 WIB
Bernadette Aderi Puspaningrum

Penulis

Sumber TIME

KOMPAS.com - Malcolm X, adalah salah satu aktivis hak asasi manusia (HAM) terpenting abad ke-20 bagi kelompok kulit hitam dalam sejarah Amerika Serikat (AS).

Dia dibunuh pada usia 39 tahun, saat berbicara di Audubon Ballroom di Harlem, New York, pada 21 Februari 1965.

Namun lebih dari setengah abad sejak hari pembunuhannya, masih banyak misteri yang belum terungkap jelas dan menjadi bahan perdebatan di Negeri “Uncle Sam”.

Baca juga: Seminggu Pembunuhan Presiden Haiti: Detail Perburuan Tentara Bayaran hingga Tersangka yang Terungkap

Tiga anggota Nation of Islam (NOI), yaitu Talmadge Hayer atau Thomas Hagan (alias Mujahid Abdul Halim), Norman Butler (alias Muhammad Abdul Aziz) dan Thomas Johnson (alias Khalil Islam), telah dihukum atas pembunuhan Malcolm X pada 1966.

NOI adalah organisasi keagamaan dan politik Afrika-Amerika yang dibentuk pada 1930. Kelompok itu memiliki tujuan meningkatkan kondisi ekonomi dan spiritual komunitas Afrika-Amerika di AS.

TIME dalam laporannya mengatakan bahwa penegakan hukum AS pada saat itu membingkai pembunuhan Malcolm sebagai dampak dari perselisihan, yang berlangsung antara dia dan NOI.

Tetapi terdakwa pembunuhan itu, Butler (Aziz) dan Johnson (Islam), secara konsisten menyatakan mereka tidak bersalah. Para ilmuwan yang telah mempelajari kasus ini juga memiliki keraguan soal pembunuhan itu.

Baca juga: Informan Penegak Hukum AS Terkait dalam Plot Pembunuhan Presiden Haiti

 

Hijrah di penjara

Pada akhir 1940-an, Malcolm dipenjara atas tuduhan pencurian dan pembobolan. Dalam masa kurungan di penjara, dia kemudian masuk Islam.

Setelah dibebaskan pada 1952, dia bergabung dengan NOI dan menjadi salah satu pembicara dan pemimpin terpenting kelompok itu.

Pada akhir 1950-an, dia muncul sebagai tokoh paling berpengaruh terkait gerakan hak-hak sipil.

Dia menjadi aktivis komunitas Afrika-Amerika, yang populer karena keyakinannya tentang penentuan nasib sendiri dan pemberdayaan orang kulit hitam.

“Dia tidak mengkhotbahkan kekerasan, dia menyuarakan pertahanan diri,” kata sejarawan Zaheer Ali, peneliti utama Manning Marable 2011, penyusun biografi “Malcolm X: A Life of Reinvention”.

"Amerika tidak pernah berperilaku tanpa kekerasan kepada orang kulit hitam, jadi alih-alih menuduh Malcolm melakukan kekerasan, kita perlu bertanya kepada Amerika tentang kekerasannya sendiri."

Malcolm menonjol dari para pemimpin kulit hitam lainnya pada saat itu, sebagian besar karena latar belakangnya yang rumit. Yakni sebagai mantan narapidana, yang muncul sebagai pemimpin utama dari sebuah organisasi yang berkembang.

Baca juga: Apa Itu Nation of Islam?

Perseteruan NOI

Namun, beberapa insiden telah membuatnya mempertanyakan hubungannya dengan organisasi tersebut, salah satunya soal perselingkuhan Pemimpin NOI Elijah Muhammad.

Dia juga sangat tidak setuju dengan keputusan NOI untuk tidak menanggapi tindakan kekerasan terhadap Muslim di kepolisian Los Angeles.

Pemimpin NOI lalu membungkamnya di publik setelah berbicara tentang pembunuhan Presiden John F Kennedy pada November 1963.

Malcolm berpendapat bahwa pembunuhan presiden ke-35 AS sebagai "chickens coming home to roost" (bumerang dari masyarakat yang penuh kekerasan).

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com