Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 19/06/2021, 10:46 WIB
Bernadette Aderi Puspaningrum

Penulis

Sumber Reuters

JENEWA, KOMPAS.com - Varian Delta dari Covid-19 yang pertama kali diidentifikasi di India, menjadi varian penyakit yang dominan secara global, menurut Kepala Ilmuwan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

Inggris telah melaporkan peningkatan tajam dalam infeksi dengan varian Delta.

Baca juga: Israel Akan Kirim 1 Juta Vaksin Corona Hampir Kedaluwarsa ke Palestina

Sementara pejabat kesehatan masyarakat Jerman memperkirakan varian Covid-19 itu akan dengan cepat menjadi varian dominan di sana, meskipun tingkat vaksinasi meningkat.

Sementara itu, Rusia juga menyalahkan lonjakan kasus Covid-19 pada keengganan untuk melakukan vaksinasi dan "nihilisme", setelah rekor infeksi baru di Moskwa.

Kremlin mencatat sebagian besar infeksi Covid-19 baru didominasi oleh varian Delta. Kondisi tersebut semakin memperbesar ketakutan akan gelombang ketiga.

"Varian Delta sedang dalam perjalanan untuk menjadi varian dominan secara global karena peningkatan transmisibilitasnya," kata Kepala Ilmuwan WHO Soumya Swaminathan dalam konferensi pers update covid-19 global pada Jumat (18/6/2021).

Swaminathan pada kesempatan yang sama juga menyuarakan kekecewaan atas kegagalan kandidat vaksin CureVac dalam uji coba untuk memenuhi standar kemanjuran WHO.

Pasalnya, dengan meningkatnya varian yang sangat mudah menular di seluruh dunia, kebutuhan akan suntikan baru yang efektif menjadi krusial.

Baca juga: Total Pasien Covid-19 Meninggal 2021 Lampaui Jumlah Tahun 2020

Vaksin CureVac dari perusahaan Jerman minggu ini melaporkan vaksinnya terbukti hanya 47 persen efektif dalam mencegah penyakit, jauh dari patokan WHO yaitu 50 persen.

Perusahaan mengatakan telah mendokumentasikan setidaknya 13 varian yang beredar dalam populasi penelitiannya.

Mengingat bahwa vaksin mRNA serupa dari Pfizer dan BioNTech dan Moderna mencatat tingkat kemanjuran yang mencapai 90 persen, Swaminathan mengatakan dunia mengharapkan lebih dari kandidat CureVac.

“Hanya karena ini adalah vaksin mRNA yang lain, kami tidak dapat menganggap semua vaksin mRNA itu sama, karena masing-masing memiliki teknologi yang sedikit berbeda,” kata Swaminathan, melansir Reuters.

Menurutnya, kegagalan yang mengejutkan ini menekankan pentingnya uji klinis yang kuat, untuk menguji produk baru.

Baca juga: Berharap Pandemi Covid-19 Usai, Patung Dewi Kwan In di Jepang Dipasangi Masker

Pejabat WHO mengatakan Afrika tetap menjadi area yang menjadi perhatian, meskipun hanya menyumbang sekitar 5 persen dari infeksi global baru dan 2 persen dari kematian.

Kasus baru di Namibia, Sierra Leone, Liberia dan Rwanda telah berlipat ganda dalam minggu lalu, kata kepala program kedaruratan WHO Mike Ryan.

Sementara akses vaksin tetap sangat kecil.

"Ini perkembangan yang sangat, sangat memprihatinkan," kata Ryan.

"Realitas brutal adalah bahwa di era (berkembangnya) berbagai varian Covid-19, dengan peningkatan penularan, kami telah meninggalkan sebagian besar populasi, populasi rentan Afrika, tidak terlindungi oleh vaksin."

Baca juga: Covid-19 di Taiwan Memburuk, Presiden Tsai Ing-wen Minta Maaf

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Baca tentang
Sumber Reuters
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com