BEIRUT, KOMPAS.com - Massa dalam demonstrasi yang pecah buntut dari insiden ledakan di Lebanon, meminta pemerintah dihukum mati.
Demo pada Sabtu (8/8/2020) itu menuding pemerintah negara sebagai biang keladi atas ledakan besar yang melanda ibu kota, Beirut.
"Ada kebencian dan darah antara kami dan pemerintah kami," kata Najib Farah demonstran berusia 35 tahun.
"Orang-orang ingin balas dendam," imbuhnya dikutip dari AFP.
Baca juga: Demo Ledakan Beirut, Massa Duduki Kantor Kemenlu Lebanon
Sementara itu di jalanan menuju gedung parlemen, para pemuda melemparkan batu ke arah pasukan keamanan yang menanggapinya dengan gas air mata.
Pemandangan seperti itu kerap terlihat di Lebanon sejak Oktober 2019.
Jurnalis AFP di lokasi menceritakan, ribuan pria dan wanita turun lagi ke jalan usai demonstrasi panjang selama berbulan-bulan.
Mereka membawa foto korban ledakan dan spanduk bertuliskan nama-nama korban.
Para pengunjuk rasa juga menuntut pemerintah mendapat hukuman yang sama, dengan nasib 158 korban tewas akibat ledakan di Beirut pada Selasa (4/8/2020).
"Pemerintahku membunuh rakyatku," begitu tulisan di salah satu spanduk.
Baca juga: Istri Dubes Belanda Tewas dalam Ledakan Lebanon
Ledakan yang menghancurkan sebagian Beirut dan mengejutkan dunia ini dianggap sebagai konsekuensi atas kelalaian dan korupsi para penguasa Lebanon.
Usai prosesi pemakaman korban pada pagi hari, massa berjalan melewati reruntuhan akibat ledakan dahsyat tersebut.
Lebih dari 150 orang tewas, sedangkan 6.000 lainnya luka-luka dan sekitar 300.000 penduduk kehilangan tempat tinggal.
Massa berkumpul lagi di Martyrs Square seperti aksi unjuk rasa pada Oktober, yang kemudian mereda akibat pandemi virus corona dan krisis ekonomi.