Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Menimbang Legasi Lee Kuan Yew

Negara-kota yang luasnya hanya sedikit lebih besar dari wilayah Provinsi DKI Jakarta, bahkan oleh sesama negeri jiran secara peyoratif dijuluki ‘titik merah kecil’ (little red dot), telah menjadi rujukan banyak pihak dalam membangun negara, menata kota, mengembangkan kapasitas pemerintahan, dan mengakselerasi kemajuan teknologi.

Perbincangan tentang capaian Singapura hari ini, tak bisa lepas dari nama Lee Kuan Yew (LKY), yang lahir tepat seabad lalu. Membaca sejarah Singapura modern sama saja dengan menelusuri sejarah hidup LKY di dalamnya.

Menjabat sebagai Perdana Menteri Republik Singapura sejak 1965 hingga 1990, dan seterusnya berada di pemerintahan selaku penasihat dalam posisi sebagai Menteri Senior (1990-2004) dan Menteri Mentor (2004-2011), LKY menjadi saksi sekaligus pelaku transformasi Singapura di tengah berbagai tantangan yang ada.

Ketika berpisah dari Malaysia pada 1965, LKY berhadapan dengan situasi Singapura yang serba miris: PDB per kapita sebesar 500 dollar AS, tingkat melek huruf hanya sebesar 57 persen, dan tingkat pengangguran setinggi 10 persen, ditambah dengan kenyataan bahwa negara ini tak memiliki kemewahan sumber daya alam.

Namun demikian, keadaan berbalik. Pascalengser sebagai Perdana Menteri pada 1990, LKY mewariskan PDB per kapita Singapura yang melesat menjadi 11.862 dollar AS, dengan tingkat melek huruf sebesar 90 persen tingkat pengangguran hanya sebesar 1,7 persen.

Singapura kiwari pun selalu menduduki peringkat teratas dalam berbagai indeks pembangunan, seperti Global Competitiveness Index yang dirilis World Economic Forum, Worldwide Governance Indicators yang dikeluarkan World Bank, maupun Corruption Perceptions Index yang diukur Transparency International.

Tak berlebihan jika majalah Time memberikan penghormatan dengan memasukkan nama LKY dalam daftar orang paling berpengaruh di abad kedua puluh.

Namun, kenangan atas LKY tak lepas dari kontroversi. Dalam perjalananannya mewujudkan Singapura sebagai macan Asia, LKY lebih percaya bahwa semangat kedisiplinan dan kepatuhan akan memuluskan jalan pada cita-citanya, alih-alih demokrasi yang meniscayakan keriuhan serta keberagaman pandangan.

Hal tersebut sempat ia utarakan di hadapan Philippine Chamber of Commerce pada November 1992, dimana ia mengkritik demokrasi a-la Barat.

“Saya sama sekali tak percaya demokrasi diperlukan untuk mendorong pembangunan. Apa yang diperlukan oleh sebuah negara adalah sikap disiplin lebih daripada demokrasi”.

Keyakinannya tersebut pada muaranya mengantarkan Singapura menjadi negara dengan keteraturan dan tertib sosial yang tinggi dalam mendukung pembangunan serta pertumbuhan ekonomi.

Apa yang diyakini LKY tersebut juga tak lepas dari dinamika kawasan Asia Tenggara kala itu yang diisi oleh para pemimpin bertipe ‘strongman’, seperti Presiden Soeharto (1967-1998), Perdana Menteri Mahathir Mohamad di Malaysia (1981-2003), dan Presiden Ferdinand Marcos di Filipina (1965-1986).

Di tengah masyarakat Singapura yang multikultur, LKY bereksperimen menegakkan kedisiplinan sosial secara otokratik.

Terlepas dari kontroversi yang ada, setidaknya terdapat tiga legasi penting LKY bagi Singapura.

Pertama, cara pandang pragmatis, dalam arti keinginan yang kuat untuk belajar dari kesuksesan pembangunan di negara-negara lain, yang pada tataran implementasi disesuaikan dengan lokalitas yang ada. ‘Think globally, act locally’.

Pragmatisme juga diterapkan dalam konteks politik luar negeri. Singapura membuka lebar hubungan luar negerinya dengan semua negara di dunia, mengingat Singapura sebagai negara kecil yang tidak mungkin berkonfrontasi dengan negara-negara dengan kekuatan militer yang kuat.

Di tengah pengkotak-kotakan blok politik sejak era Perang Dingin hingga kini, Singapura tetap berupaya menjaga keseimbangan.

Kedua, komitmen terhadap meritokrasi dan nilai-nilai efisiensi, efektivitas serta antikorupsi dalam penyelenggaraan pemerintahan.

Aparatur negara diambil dari talenta terbaik, yang dikembangkan kompetensinya sesuai dengan kebutuhan Singapura tidak hanya untuk saat ini, tetapi juga masa depan.

Digitalisasi pelayanan dilakukan di berbagai lini untuk meminimalisasi celah kecurangan. Komitmen tersebut mampu menjaga kualitas birokrasi pada tingkatan prima.

Ketiga, visi jangka panjang dalam mengelola potensi yang ada. Walaupun minim sumber daya alam, Singapura mampu mengembangkan potensi lain, yakni ‘menjual’ posisi geostrategisnya yang berada di jantung lalu-lintas Selat Malaka, dipadukan dengan kuatnya investasi pada sektor perdagangan, perindustrian dan jasa.

Berkembangnya Singapura menjadi hub ekonomi di kawasan pun tak lepas dari hal ini. Setidaknya 50 perusahaan multinasional telah memilih Singapura sebagai lokasi dari kantor regionalnya di Asia-Pasifik.

Ketiga legasi tersebut terus menggaungkan kenangan akan LKY. Banyak negara—dan pemimpin negara—mempelajari pengalaman LKY untuk meraih sukses yang sama, tak terkecuali di Indonesia.

Yang terpenting, bagaimana pengalaman dan pelajaran baik-buruk tersebut dikontekstualisasikan sekaligus direfleksikan dengan situasi di tanah air: Bagaimana strategi Indonesia dalam mewujudkan cita-cita sebagai negara maju? Dan mampukah di saat bersamaan kita menjaga komitmen pada demokrasi?

https://www.kompas.com/global/read/2023/09/22/132631170/menimbang-legasi-lee-kuan-yew

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke