Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Penduduk China Menurun, Tentara Bisa Kena Dampaknya

Jumlah pertumbuhan penduduk sudah menurun selama beberapa tahun terakhir namun angka terbaru hari Selasa (17/1/2023) yang menunjukkan jumlah penduduk berkurang 850.000 orang di tahun 2022 ternyata lebih cepat dari yang diperkirakan sebelumnya.

"Perkembangan ini akan berdampak pada masalah di dalam negeri dan juga masalah strategis secara internasional," kata analis masalah China di American Enterprise Institute di Washington Mike Mazza.

"Singkatnya Partai Komunis akan menghadapi banyak masalah."

Namun, pengamat lainnya tidaklah begitu pesimistis.

"China semakin menjadi negara berteknologi tinggi, sehingga mengkonsentrasikan diri meningkatkan sistem pendidikan, khususnya peningkatan daerah pedesaan, dan bahkan di kota adalah hal yang vital," kata akademisi di University of Miami June Teufel Dreyer.

"Jadi akan terjadi peningkatan produktivitas. Mereka yang lebih makmur akan membeli lebih banyak jadi GDP akan meningkat."

Dengan pola ini akan berlanjut, PBB memperkirakan jumlah penduduk China akan turun dari angka 1,41 miliar ke angka 1,31 miliar di tahun 2050 dan akan terus menurun setelah itu.

Kebijakan satu anak

Kekhawatiran akan jumlah penduduk yang terlalu banyak menyebabkan China menjalankan kebijakan satu anak di akhir tahun 1970-an.

Beijing mengatakan, kebijakan itu mencegah kelahiran sekitar 400 juta orang, namun para pakar tidak sependapat mengenai apakah penurunan tingkat kelahiran sekarang ini disebabkan oleh kebijakan tersebut.

"Tentu saja kebijakan satu anak memiliki pengaruh," kata Sabine Henning dari Komisi Sosial dan Ekonomi Asia untuk PBB yang berkantor di Bangkok.

"Namun gaya hidup berubah. Biaya hidup meningkat. Jadi warga cenderung ingin punya anak lebih sedikit. Dan ini hasilnya menurunnya tingkat kelahiran yang terus berlanjut sejak kebijakan satu anak dihentikan."

Karena menurunnya tingkat kelahiran, China menghentikan kebijakan satu anak tujuh tahun lalu namun dorongan agar keluarga memiliki lebih banyak anak sejauh ini tidak berhasil, hal yang sama juga terjadi di negara lain.

Pengalaman di Eropa dan Jepang menunjukkan betapa sulitnya mengubah pola berpikir dan membalikkan penurunan dengan kampanye dan insentif dari pemerintah.

"Yang mengherankan adalah kita semua setuju bahwa sudah terlalu banyak orang di Bumi ini di mana untuk memenuhi kebutuhan seperti makanan, air dan papan menjadi ancaman bagi ekosistem. Namun, ketika jumlah penduduk di satu negara mulai menurun, pemerintah di negara tersebut langsung panik," kata Professor Dreyer.

Hal yang sama sudah juga terjadi di Eropa namun dalam kurun waktu yang lebih panjang.

"Di Eropa mereka memiliki waktu untuk menyesuaikan diri sementara di Asia perubahanya terjadi lebih cepat," kata direktur Komisi Pembangunan Sosial PBB di Bangkok Srinivas Tata.

Untuk mendukung peningkatan lansia tersebut, China mungkin harus menaikkan usia pensiun dari saat ini 50-55 untuk perempuan dan 60 tahun untuk pria.

Data penduduk ini muncul di saat China sedang dalam taraf membuka diri kembali setelah menjalani kebijakan Covid-19 yang ketat yang tidak saja memengaruhi pertumbuhan ekonomi namun juga menciptakan demo anti pemerintah dan anti partai komunis, hal yang jarang terjadi sebelumnya.

Bahkan dengan jumlah penduduk yang berkurang, China masih memiliki kelebihan ekonomi dibandingkan negara berkembang seperti Vietnam dan India, dengan India akan menjadi negara dengan penduduk terbanyak di dunia tahun ini.

Menurut Mark Mazza, China memiliki infrastruktur yang jauh lebih bagus dan juga sektor swasta yang sudah mapan sejak lagi yang tetap bisa menjadi andalan.

Sistem politik China juga akan memainkan peran kata pakar masalah China di University of Michigan Mary Gallagher.

"Menjadi tempat produksi bagi dunia memerlukan sistem politik yang bisa memanfaatkan tenaga kerja muda yang murah tanpa harus memperhatikan hak politik dan sipil mereka," kata Professor Gallagher.

Sanksi ekonomi Amerika Serikat juga memengaruhi pemulihan ekonomi China.

Dampak terhadap militer

Menurut para analis, Partai Komunis China juga menghadapi tantangan untuk merekrut tentara baru, di mana Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) sekarang memiliki 2 juta orang.

"Sangat diragukan bahwa PLA akan mendapatkan tentara yang memiliki pendidikan dan ketrampilan tinggi, melihat bahwa banyak keluarga yang tidak setuju anak-anak mereka masuk militer," kata Daniel Blumenthal direktur Kajian Asia di American Enterprise Institute.

Namun menurut Dr Blumenthal, bila "Presiden China Xi Jinping memutuskan untuk menyerang Taiwan maka dia tidak akan ragu-ragu melakukannya, tidak peduli dampaknya pada keluarga yang hanya punya satu anak."

Beberapa pengamat di Amerika Serikat berkata, adanya masalah kependudukan ini bisa membuat Beijing melakukan tindakan agresif terhadap China segera.

Dengan Amerika Serikat kembali memberi fokus pada Asia Pasifik dan menurunnya perekonomian serta berkurangnya penduduk, beberapa pihak di Washington memperkirakan ruang bagi Beijing untuk bertindak terhadap Taiwan semakin sempit.

Namun, dampak menurunnya jumlah penduduk ini belum bisa diketahui dalam waktu dekat.

"Perubahan demografi selalu berjalan lambat, terutama di awal-awal sehingga dampaknya terhadap pengaruh China secara global masih belum bisa dipastikan segera," kata Steve Tsang dari School of Oriental and African Studies di London.

Artikel ini diproduksi oleh Sastra Wijaya dari ABC News.

https://www.kompas.com/global/read/2023/01/20/061500070/penduduk-china-menurun-tentara-bisa-kena-dampaknya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke