Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Bahasa sebagai Identitas Kolektif ASEAN

PADA lawatannya ke Indonesia, 1 April 2022, Perdana Menteri Malaysia, Dato’ Sri Ismail Sabri Yaakob, mengeluarkan pernyataan yang ternyata mengusik jiwa nasionalisme masyarakat Indonesia.

Mengutip Pernyataan Pers Bersama Presiden RI dan Perdana Menteri Malaysia dalam laman setkab.go.id (1 April 2022), PM Malaysia menyatakan bahwa beliau dan Presiden RI Joko Widodo bersetuju untuk menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa perantara antara kedua kepala negara dan bersetuju untuk bersama-sama memperkasakan bahasa rumpun Melayu yang suatu hari nanti boleh dijadikan sebagai bahasa ASEAN.

Pernyataan tersebut tentu dapat menimbulkan polemik karena bahasa Melayu memiliki status yang berbeda di kedua negara.

Di Malaysia bahasa Melayu merupakan bahasa nasional, sedangkan di Indonesia bahasa Melayu berstatus sebagai bahasa daerah.

Oleh karena itu, dalam konteks Indonesia, bahasa Melayu bukanlah bahasa yang tepat untuk dipromosikan sebagai bahasa ASEAN.

Bagi Indonesia, bahasa yang layak untuk menjadi bahasa ASEAN adalah bahasa nasional, yaitu bahasa Indonesia.

Penolakan wacana PM Malaysia tersebut, salah satunya, disampaikan oleh Mendikbudristek, Nadiem Makarim, melalui siaran pers Kemendikbudristek, 4 April 2022.

Selanjutnya, media massa dan media sosial di Indonesia dipenuhi dengan berbagai opini tentang kelayakan bahasa Indonesia sebagai bahasa ASEAN dan berbagai twibon yang menyuarakan dukungan terhadap bahasa Indonesia sebagai bahasa ASEAN.

Opini dan twibon tersebut memang bukan tanpa dasar. Sebagai bahasa negara dan bahasa nasional, status, peran, dan fungsi bahasa Indonesia telah dikukuhkan dengan beberapa landasan hukum, seperti UUD 1945, Undang-Undang No. 24/2009, Peraturan Pemerintah No. 57/2014, Peraturan Presiden No. 63/2019, dan Permendikbud No. 42/2018.

Bahkan, UU 24/2009 mengamanatkan upaya penginternasionalan bahasa Indonesia.

Menjadi bahasa resmi ASEAN tentu merupakan awal yang baik untuk menuju internasionalisasi bahasa Indonesia.

Saat ini bahasa Inggris merupakan satu-satunya bahasa kerja (working language) di ASEAN. Sebagai bahasa kerja, bahasa Inggris digunakan dalam rapat regional, pengambilan keputusan, dan dalam dokumen perjanjian.

Penetapan bahasa Inggris secara de facto sebagai bahasa resmi ASEAN tercantum dalam ASEAN Charter (2007), Pasal 34 yang menyatakan bahwa bahasa kerja ASEAN adalah bahasa Inggris.

Keinginan negara-negara ASEAN untuk mengadopsi bahasa selain bahasa Inggris sebagai bahasa kerja atau bahasa resmi ASEAN pernah dilakukan oleh beberapa negara, seperti Vietnam, Malaysia, dan Indonesia. Namun, ketiga usulan tersebut gagal.

Vietnam mengusulkan pengadopsian bahasa Perancis pada 1995 dan Malaysia mengusulkan bahasa Melayu pada 1997 (Kirkpatrick, Andy, 2008).

Sementara itu, Indonesia mengusulkan bahasa Indonesia pada 2011.

Ketika itu negara Filipina langsung memberikan penolakan dengan alasan bahwa penduduk Filipina yang menguasai bahasa Indonesia hanya 5 persen (dalam Zulfikar, Achmad, tt).

Belajar dari kegagalan tersebut, sebelum mengusulkan kembali bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi ASEAN, sebaiknya kita memikirkan strategi yang dapat memperbesar peluang bahasa Indonesia untuk diterima oleh 9 negara di ASEAN.

Selain itu, kita harus memperhatikan prinsip-prinsip ASEAN sebagai sebuah perkumpulan negara, seperti yang dituangkan dalam ASEAN Charter.

Salah satu prinsipnya adalah saling menghargai: prinsip menghargai kedaulatan, kesetaraan, integritas teritorial, tidak menginterferensi, mengutamakan konsensus, dan bersatu dalam keragaman.

Mengingat ASEAN sedang menggencarkan pewujudan identitas kolektifnya, pengusungan ide pewujudan identitas kolektif ASEAN melalui bahasa dapat kita jadikan wahana yang baik.

Bagi ASEAN, identitas dan kekuatan kolektif akan memperkuat ASEAN ketika berhadapan dengan dunia, menghadapi perkembangan baru, dan sekaligus untuk menangkap peluang baru.

Identitas yang diyakini mampu menyatukan ASEAN, di antaranya, persamaan kondisi ekonomi, tradisi dan budaya, serta kesamaan visi.

Sebagai bagian dari budaya, identitas kolektif dari segi bahasa dapat kita tinjau dari sisi penguasaan bahasa oleh masyarakat ASEAN.

Seorang warga ASEAN yang “ideal” dapat kita definisikan sebagai seseorang yang menguasai satu atau lebih bahasa negara ASEAN, selain bahasa negaranya sendiri.

Dengan demikian, ketika berada di salah satu negara ASEAN, misalnya, akan lumrah untuk menemukan seseorang yang mampu berbahasa Indonesia dan Thai, Khmer, Melayu, Filipino, Vietnam, Burma, atau bahasa Laos.

Sebagai sebuah kawasan, pewujudan identitas kolektif ASEAN tentu akan memberikan berbagai keuntungan.

Sebagai kawasan yang multikultural, penguasaan bahasa ASEAN akan meningkatkan pemahaman lintas budaya antargenerasi muda ASEAN yang secara tidak langsung dapat memperkuat komunitas dan identitas ASEAN.

Selain itu, dari segi ekonomi, penguasaan bahasa ASEAN akan memperluas kesempatan generasi muda ASEAN untuk bekerja di negara-negara ASEAN.

Khusus untuk Indonesia, pewujudan identitas kolektif ASEAN melalui bahasa tentu akan memperluas peluang bahasa Indonesia untuk dipelajari oleh generasi muda di negara ASEAN.

Berdasarkan data dari Badan Bahasa, penutur bahasa Indonesia di Asia Tenggara saat ini mencapai 5,2 juta orang dan ada 269 juta orang penutur di negerinya sendiri, yaitu Indonesia.

Data itu menunjukkan bahwa bahasa Indonesia berpeluang untuk menjadi identitas kolektif (utama) di ASEAN.

Akhirnya, jika semakin banyak generasi muda ASEAN mempelajari dan menggunakan bahasa Indonesia, tentu bahasa Indonesia semakin diterima di hati masyarakat ASEAN.

Harapannya, penerimaan tersebut akan mempermudah pengusulan kembali bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi ASEAN (katakanlah dalam 5—10 tahun mendatang).

Untuk itu, marilah kita bekerja bersama untuk mewujudkan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi ASEAN.

Cita-cita yang tinggi ini memerlukan dukungan dari berbagai pemangku kepentingan, termasuk dari bidang ke-BIPA-an (BIPA—Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing).

Semua pemangku kepentingan ke-BIPA-an memiliki tujuan yang sama, yaitu internasionalisasi bahasa Indonesia.

Oleh karena itu, sudah sepatutnya pemangku kepentingan ke-BIPA-an bekerja bersama (tidak secara sendiri-sendiri) dan terkoordinasi dengan baik di bawah lembaga bahasa nasional, yaitu Badan Bahasa.

Pemetaan dan pembagian tugas yang baik di antara para pemangku kepentingan dan tidak mengerjakan hal yang sama secara berulang tentu akan mempercepat langkah penginternasionalan bahasa Indonesia.

Sementara itu, masyarakat Indonesia dapat mendukung upaya tersebut melalui sikap nasionalisme dalam berbahasa Indonesia, dengan menggunakan bahasa Indonesia secara baik dan benar, yang mencerminkan citra positif Indonesia, serta mempromosikan kekayaan budaya, alam, dan kearifan lokal Indonesia.

Citra yang menjadikan Indonesia layak sebagai identitas ASEAN, baik dari segi bahasa maupun budaya.

*Luh Anik Mayani, SEAMEO QITEP in Language; Masyarakat Linguistik Indonesia

https://www.kompas.com/global/read/2022/04/15/112409270/bahasa-sebagai-identitas-kolektif-asean

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke