Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Kasus Nur Sajat, Kenapa Buron di Malaysia dan Pindah ke Australia

Nur Sajat berpakaian sama seperti wanita Muslimah lainnya di Malaysia ketika menghadiri kegiatan keagamaan di Selangor, dengan kerudung bunga dan abaya merah muda panjang.

Dia tidak menyadari bahwa pakaian konservatif seperti itu pada akhirnya akan memaksanya untuk meninggalkan Malaysia, meninggalkan rumahnya, perusahaan dan dua anaknya, karena ketakutan akan keselamatannya.

Tapi sebagai seorang wanita transgender, tindakan mengenakan pakaian wanita, apalagi di acara keagamaan, dipandang sebagai kejahatan menurut hukum dan adat istiadat setempat.

Pada bulan Januari, pengusaha kecantikan berusia 36 tahun itu dituduh menghina Islam, yang bisa menyebabkan dia dipenjara selama tiga tahun, kemungkinan besar dijebloskan ke penjara pria.

Kelompok HAM setempat menyebut kasus Sajat menyoroti kondisi yang dikatakan makin lama makin buruk bagi kaum lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT) di Malaysia.

Malaysia adalah negara yang masih mengkriminalisasi hubungan sesama jenis, dan seorang transgender menghadapi penuntutan karena "berpakaian silang".

Sekarang Sajat telah diberikan suaka di Australia dan sudah tiba di Sydney sehingga dia dapat berbicara di depan umum.

"Mereka mengerti bahwa saya seorang pengusaha yang tidak memiliki catatan kriminal. Mereka mengakui bahwa penuntutan terhadap saya semata-mata atas dasar identitas gender saya."

Melarikan diri dari Malaysia dan mencari suaka di Australia adalah cobaan berat selama berbulan-bulan bagi pengusaha selebriti trans terbuka ini, yang terkenal di Malaysia jauh sebelum dia dituduh melakukan penistaan agama.

Perusahaan kosmetiknya, Nur Sajat Aesthetic, dan penampilannya di reality show online miliknya, Nur Sajat Rated Xtra, telah membuatnya terkenal.

Dia diikuti oleh ratusan ribu orang di media sosial, di mana dia mengunggah ulasan mode dan kecantikan.

"Itu adalah pilihan terakhir saya," katanya.

"Mereka mencoba menghukum karena identitas saya, dan saya sadar bahwa tidak akan aman lagi di Malaysia."

"Saya harus meninggalkan rumah, perusahaan, perhiasan, dan produk kecantikan. Saya meninggalkan anak-anak, meninggalkan semua yang saya miliki karena saya tidak akan aman. Saya perlu menyelamatkan diri," ujarnya.

Bahkan setibanya di Bangkok, Sajat menghadapi tuntutan setelah otoritas Thailand menangkap dan menahannya karena memasuki negara itu secara legal. Pasalnya, Malaysia telah membatalkan paspor Sajat.

Pihak berwenang Malaysia kemudian meminta ekstradisinya, tetapi pada saat itu dia telah diberikan status pengungsi oleh PBB, yang berarti Thailand tidak dapat mendeportasinya.

Seorang pejabat senior - menyebut Sajat sebagai laki-laki - mengatakan Malaysia siap menawarkan "konseling" jika dia setuju untuk kembali ke negaranya.

"Kalau mengaku salah dan sebagainya, kalau mau kembali ke fitrahnya, tidak masalah. Kami tidak mau menghukum, kami hanya ingin mendidik," kata Idris Ahmad, pejabat Departemen Agama Malaysia.

Sikap Malaysia terhadap LGBT

Ini bukan pertama kalinya Nur Sajat dikritik oleh otoritas keagamaan.

Pada tahun 2020, pemerintah Malaysia mengancam akan menutup akun media sosialnya setelah dia membagikan video dan foto saat mengenakan jubah shalat wanita dalam perjalanan haji ke Mekkah.

Human Rights Watch mengatakan kasus Sajat menyoroti intoleransi dan diskriminasi yang dihadapi perempuan transgender di Malaysia.

“Malaysia sama sekali tidak sejalan dengan masyarakat internasional tentang perlindungan hak-hak LGBT,” kata Phil Robertson, wakil direktur divisi Asia Human Rights Watch.

"Malaysia adalah salah satu pemerintahan paling anti-LGBT di kawasan. Sudah waktunya bagi masyarakat internasional untuk mendesak Malaysia bahwa tindakan terhadap kaum LGBT ini tak dapat diterima."

Akhir bulan lalu, para pejabat Malaysia mengungkapkan bahwa mereka sedang mempertimbangkan larangan kaum transgender memasuki masjid, sama dengan larangan yang sudah berlaku di negara bagian Perlis.

"Jika seorang pria memasuki masjid dengan mengenakan jilbab, tentu saja hal itu sangat tidak pantas," kata Datuk Ahmad Marzuk, Wakil Menteri Urusan Agama.

"Jika seorang pria memasuki bagian wanita di masjid, hal itu akan mengganggu privasi mereka."

Seminggu yang lalu Malaysia ditunjuk sebagai anggota Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa, untuk periode 2022-2044, setelah berjanji secara terbuka untuk mempromosikan dan melindungi hak asasi manusia untuk semua.

Tapi kelompok HAM termasuk Justice for Sisters, sebuah organisasi non-pemerintah yang mewakili komunitas LGBT Malaysia, mengatakan perlakuan pemerintah terhadap Sajat seolah mengejek PBB.

"Sentimen anti-LGBT yang terus-menerus dan meningkat di Malaysia sangat mengkhawatirkan," kata organisasi itu.

Sebuah studi tahun 2019 tentang diskriminasi terhadap kaum transgender di Kuala Lumpur dan Selangor menemukan lebih dari setengah responden merasa tidak aman tinggal di Malaysia.

Sebanyak 72 persen responden mempertimbangkan untuk pindah ke negara-negara yang memiliki perlindungan hukum yang lebih baik.

"Pemerintah serius dengan isu LGBT di negara ini karena Malaysia adalah negara yang menganut hukum Islam," katanya kepada parlemen.

"Setiap individu yang melanggar hukum harus menghadapi hukuman, mereka perlu dibimbing dan disadarkan agar mereka dapat kembali ke jalan yang benar."

Perdana Menteri mengungkapkan 1.733 individu LGBT telah dikirim ke kamp-kamp keagamaan tahun ini untuk "direhabilitasi".

Kelompok HAM desak Australia mengambil sikap

Phil Robertson dari HRW mengatakan Australia pantas mendapatkan pujian karena menawarkan suaka kepada Nur Sajat, memberinya kesempatan memulai kembali hidupnya setelah pelarian selama sembilan bulan.

"Harus ada dorongan nyata dalam kasus ini," katanya.

"Malaysia adalah salah satu yang terburuk di Asia Tenggara dalam menghormati hak LGBT, dan penganiayaan serta pengejaran terhadap Nur Sajat menjadi contoh nyata."

Sajat mengatakan meski harus menjual bisnis kosmetiknya di Malaysia, dia berharap memulai bisnis baru di Australia.

Dia menangis selama wawancara dengan ABC ketika menjelaskan bagaimana dia harus meninggalkan dua anak angkatnya - laki-laki dan perempuan kembar.

"Mereka sudah bersama saya sejak mereka lahir," katanya.

"Tapi jika saya tetap tinggal di Malaysia, saya akan dipenjara. Saya harap mungkin bisa membawa mereka ke Australia."

"Saya khawatir tentang keselamatan mereka di Malaysia karena orang tahu bahwa mereka adalah anak-anakku. Saya takut apa yang mungkin terjadi pada mereka."

Diproduksi oleh Mariah Papadopoulos dari artikel ABC News.

https://www.kompas.com/global/read/2021/10/28/203000370/kasus-nur-sajat-kenapa-buron-di-malaysia-dan-pindah-ke-australia

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke