Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Sejarah Konflik Rusia-Ukraina, dari Crimea hingga Jersey Euro 2020

KOMPAS.com – Setelah keruntuhan Kekaisaran Rusia dan berdirinya Uni Soviet pada era Perang Dunia I, Ukraina tidak bisa menentukan nasib atas dirinya sendiri.

Semenjak Perang Dunia I usai dan serangkaian perang saudara yang brutal, Ukraina menjadi bagian dari Uni Soviet.

Di satu sisi, gerakan nasionalis Ukraina yang sebelumnya sudah tumbuh, berjuang melalui gerakan bawah tanah.

Ketika Perang Dunia II pecah, Ukraina adalah wilayah operasi yang diperebutkan. Dalam palagan peperangan, orang Ukraina terpecah menjadi tiga kelompok.

Beberapa orang Ukraina berjuang untuk Jerman sementara yang lain berjuang untuk Uni Soviet. Kelompok ketiga, terutama di bagian barat, berjuang untuk kemerdekaan mereka sendiri.

Setelah Perang Dunia II usai, beberapa amendemen dari Konstitusi Soviet Ukraina disahkan sebagaimana dilansir USNI.

Konstitusi tersebut memperbolehkan Soviet Ukraina bertindak sebagai negara berdaulat di hukum internasional dan dalam batasan tertentu berada sebagai bagian dari Uni Soviet pada waktu yang bersamaan.

Karena amendemen ini, Soviet Ukraina diperbolehkan menjadi salah satu dari pendiri dan anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bersama-sama dengan Uni Soviet dan Soviet Belarus.

Pada 1953, Pemimpin Uni Soviet Joseph Stalin meninggal dunia. Setelah itu, Krimea diserahkan dari Soviet Rusia ke Soviet Ukraina pada 1954.

Pada 25 Desember 1991, pemimpin Uni Soviet kala itu Mikhail Gorbachev mengundurkan diri. Pengunduran dirinya sekaligus menandai runtuhnya Uni Soviet.

Sebelumnya, pada 1 Desember 1991, warga Ukraina menyetujui sebuah referendum kemerdekaan dari Uni Soviet.

Lebih dari 90 persen warga Ukraina memilih untuk merdeka dengan suara bulat di setiap wilayah, termasuk 56 persen di Krimea.

Presiden Ukraina, Belarus, dan Rusia bertemu di Hutan Bia?owie?a untuk secara resmi membubarkan Uni Soviet, sesuai aturan yang tertulis pada Konstitusi Uni Soviet.

Dengan demikian, Ukraina merdeka secara de jure dan diakui oleh komunitas internasional.

Ukraina lantas menyerahkan semua senjata nuklirnya yang mengarah pada penandatanganan Memorandum Budapest pada 1994.

Pada 2004, Leonid Kuchma yang selama sebelumnya menjabat sebagai Presiden Ukraina mengumumkan bahwa ia tidak menjadi peserta dalam pemilu.

Setelah itu, dua kandidat utama muncul pada pilpres Ukraina 2004 yakni Viktor Yanukovych dan Viktor Yushchenko.

Yanukovych didukung oleh Kuchma dan Rusia serta menginginkan hubungan yang lebih dekat dengan Moskwa.

Sementara Yushchenko berharap agar Ukraina bisa bergabung dengan Uni Eropa. Dalam pemilihan ronde kedua, Yanukovych menang atas Yushchenko dengan selisih tipis.

Namun, Yushchenko dan para pendukungnya menuduh terjadi kecurangan, terutama di bagian timur Ukraina.

Krisis Politik pecah setelah oposisi mulai berdemonstrasi di Kiev dan kota-kota lain, dan Mahkamah Agung Ukraina menganulir hasil pemilihan.

Pemilu berikutnya lantas digelar dan menetapkan Yushchenko sebagai pemenang.

Selama periode kepemimpinan Yushchenko, hubungan Rusia dengan Ukraina sering bersitegang karena Yushchenko cenderung mendekat ke Uni Eropa ketimbang Rusia.

Pada 2005, sengketa harga gas alam dengan Rusia secara tidak langsung melibatkan negara Eropa lainnya. Masalah tersebut terselesaikan pada Januari 2006.

Saat pemilu 2010, Yushchenko dan Yulia Tymoshenko, yang sempat menjadi sekutu dalam Revolusi Oranye pada 2004-2005, menjadi musuh satu sama lain.

Tymoshenko mencalonkan diri sebagai presiden melawan Yushchenko dan Yanukovych.

Yushchenko yang popularitasnya jatuh tetap memaksa untuk mencalonkan diri dan banyak pendukung Revolusi Oranye telah meninggalkannya.

Di putaran kedua pemilu, Yanukovych mendapat 48 persen suara sementara Tymoshenko 45 persen suara, sehingga Yanukovych terpilih sebagai Presiden Ukraina.

Pada 2013 Ukraina dilanda krisis dimulai dengan protes di ibu kota Ukraina Kiev pada November 2013.

Kala itu, massa menentang keputusan Yanukovych yang menolak kesepakatan untuk integrasi ekonomi yang lebih besar dengan Uni Eropa.

Setelah tindakan keras oleh pasukan keamanan, secara tidak sengaja justru menarik lebih banyak pengunjuk rasa dan meningkatkan konflik. 

Pada Februari 2014, parlemen Ukraina melengserkan Yanukovich dari jabatannya dan Yanukovych meninggalkan negara itu pada Februari 2014 pula.

Pelengseran Yanukovich menyebabkan konflik dalam pemerintahan Ukraina yang terbagi menjadi dua golongan yaitu pendukung Uni Eropa dan pendukung Rusia.

Para pendukung Uni Eropa berasal dari masyarakat dan politisi Ukraina daratan sedangkan pihak pendukung Rusia berasal dari masyarakat dan politikus Crimea.

Pada awal 2014, Crimea meminta bantuan Rusia untuk menyelesaikan konflik dalam negeri Ukraina.

Pemerintah Rusia menerima permintaan dari Crimea dan mengirimkan pasukannya untuk menduduki Crimea.

Campur tangan Rusia atas permasalahan Ukraina didasarkan pada kepentingan politik dan ekonomi.

Letak geopolitik Crimea yang strategis ingin dimanfaatkan Rusia untuk memperkuat pengaruh di kawasan Eropa Timur dan Timur Tengah.

Intervensi Rusia atas konflik di Ukraina menimbulkan kecaman dari Uni Eropa.

Pada Juli 2014, situasi di Ukraina meningkat menjadi krisis internasional dan membuat AS dan Uni Eropa berselisih dengan Rusia.

Bahkan, pesawat Malaysia Airlines ditembak jatuh di wilayah udara Ukraina, menewaskan 298 penumpang di dalamnya.

Penyelidik kecelakaan udara dari Belanda menyimpulkan pada Oktober 2015 bahwa pesawat itu telah jatuh oleh rudal darat-ke-udara buatan Rusia.

Sejak akhir Februari 2014, demonstrasi oleh kelompok-kelompok pro-Rusia dan anti-pemerintah berlangsung di kota-kota besar di seluruh timur dan selatan Ukraina.

Protes di Donetsk dan Luhansk meningkat menjadi pemberontakan separatis bersenjata.

Hal ini menyebabkan pemerintah Ukraina meluncurkan serangan militer balasan terhadap pemberontak, yang mengakibatkan terjadinya konflik bersenjata di Donbass.

Sejak Februari 2015, Perancis, Jerman, Rusia, dan Ukraina telah berusaha menengahi penghentian kekerasan melalui Kesepakatan Minsk.

Perjanjian tersebut mencakup ketentuan untuk gencatan senjata, penarikan persenjataan berat, dan kontrol penuh pemerintah Ukraina di seluruh zona konflik.

Namun, upaya untuk mencapai penyelesaian diplomatik dan resolusi yang memuaskan tidak berhasil dan konflik bersenjata di Donbass terus berlangsung hingga saat ini.

Pada April 2021, Rusia dilaporkan memusatkan pasukannya di dekat perbatasan dengan Ukraina. Pasukan Rusia dilaporkan mendekati wilayah yang dikuasai pemberontak maupun di Crimea.

Tensi makin meningkat karena sejumlah region seperti Voronezh, Rostov, dan Krasnodar melakukan pergerakan tentara.

Terbaru, Uni Eropa mengestimasi ada sekitar 100.000 tentara di perbatasan maupun Crimea, yang dicaplok pada 2014 silam.

Setelah terus ditekan, Rusia akhirnya mengumumkan akan menarik sebagain pasukannya dari perbatasan Ukraina.

Terbaru, ketegangan antara Ukraina dan Rusia menjalar dalam kompetisi sepak bola Euro 2020.

Dalam ajang tersebut, Ukraina memperkenalkan jersey timnas sepak bolanya yang bertuliskan "Glory to the Heroes" di dalam kerah belakang.

Slogan tersebut merupakan sebuah seruan protes anti-Rusia pada 2014 di Ukraina.

Selain itu, bagian depan jersey timnas Ukraina juga menampilkan garis peta Ukraina termasuk Crimea.

Rusia melayangkan surat aduan ke UEFA dan badan administratif sekaligus pengatur sepak bola Eropa tersebut meminta Ukraina menghapus slogan "politik" yang memicu protes dari Rusia.

https://www.kompas.com/global/read/2021/06/11/092313970/sejarah-konflik-rusia-ukraina-dari-crimea-hingga-jersey-euro-2020

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke