Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Riwayat Hubungan Buruk AS-China dan Deretan Konfliknya

Presiden AS Donald Trump menyalahkan China atas pandemi ini, dengan mengklaim Beijing sebenarnya bisa menghentikan wabah secara dini.

Sebelumnya, Kementerian Luar Negeri China mengatakan, AS harus harus fokus menangani masalah-masalahnya di dalam negeri dan "berhenti menyebarkan disinformasi atau menyesatkan masyarakat internasional".

Perseteruan antara AS dengan China di masa pandemi global ini semakin memperkeruh hubungan kedua negara. Jauh sebelum adanya wabah Covid-19, kedua negara sudah memiliki relasi yang tidak harmonis.

Kebuntuan di Laut China Selatan

Sulit ditentukan secara pasti kapan hubungan AS dan China mulai memburuk, tetapi konflik di Laut China Selatan adalah salah satu konflik awal yang terjadi.

Pemerintahan Negeri "Tirai Bambu" telah lama mengklaim sebagian besar Laut China Selatan adalah bagian dari wilayahnya.

Sejak 2015, pemerintah China mulai agresif menegaskan klaim ini dengan mendirikan pulau buatan, yang dilengkapi struktur pertahanan dan menempatkan pasukan serta radar di sana.

Militerisasi China di wilayah tersebut telah memicu kemarahan besar dari negara-negara tetangga yang juga mengklaim sebagian Laut China Selatan, seperti Vietnam dan Filipina, serta pemerintah AS.

Sebagai tanggapan, AS melakukan patroli reguler di Laut China Selatan, dengan kapal-kapal AS berlayar di dekat pulau-pulau buatan China.

Patroli ini menunjukkan AS tidak mengakui klaim Beijing, dan menegaskan kembali hak Amerika berlayar di perairan internasional.

China kemudian bereaksi dengan menuding Washington melakukan "provokasi" di Laut China Selatan. Di waktu yang bersamaan China memperkuat persenjataan di pulau buatannya.

Dalam 2 tahun terakhir, peluncur bom jarak jauh dan peluncur rudal terlihat di pulau buatan China.

Bulan lalu Angkatan Laut AS berpatroli lagi. Patroli AS di Laut China Selatan tidak jarang, tetapi biasanya terjadi berminggu-minggu atau secara terpisah.

"AS sangat menentang penindasan China dan kami berharap negara-negara lain akan meminta pertanggungjawaban mereka juga," kata Menlu AS Mike Pompeo dalam sebuah pernyataan pada 23 April.

Bentrokan di Taiwan

Klaim China atas Taiwan juga menjadi titik ketegangan dengan AS selama lebih dari 70 tahun.

Lalu di bawah kepemimpinan Presiden China Xi Jinping yang mengakhiri sekutu diplomatik Taiwan dan memodernisasi militer China, ketegangan ini mencapai tahap baru.

China dan Taiwan telah diperintah secara terpisah sejak berakhirnya perang saudara pada 1949.

Usai menyatakan kemenangan, Partai Komunis China mendirikan Republik Rakyat China di Beijing, dan bekas pemerintahan yang dikenal sebagai Republik China, melarikan diri untuk berlindung d Taiwan.

China masih menganggap Taiwan bagian dari wilayahnya. Pada Januari 2019, Xi memperingatkan tidak akan memerdekakan Taiwan dan bahkan mengancam akan menempuh tindakan militer untuk menyatukannya kembali dengan China.

Sementara itu AS diam-diam menjalin kedekatan dengan Taiwan, yang kini telah menjadi negara demokrasi dengan penduduk 23 juta orang.

Tiga bulan setelah ancaman Xi, Presiden Donald Trump menyetujui kesepakatan senjata besar-besaran dengan Taiwan, termasuk puluhan jet tempur F-16 baru.

Saat itu juru bicara Kementerian Luar Negeri China Hua Chunying mengatakan, AS akan "menanggung semua konsekuensinya" jika terus ikut campur di Taiwan.

"Harus ditekankan bahwa masalah Taiwan menyangkut kedaulatan China, integritas wilayah, dan kepentingan keamanan," ucap Hua.

Perang dagang

Salah satu pertarungan paling sengit antara Washington dan Beijing adalah kebijakan pemerintah Trump, yakni perang dagang dengan China.

Jauh sebelum Trump menjadi Presiden AS, ia meyakini China mengambil keuntungan dari ekonomi AS, merujuk pada defisit perdagangan yang besar antara kedua negara.

Setelah Trump naik jadi presiden, ia mulai mengeluarkan tarif miliaran dollar bagi barang-barang China pada pertengahan 2018 untuk menekan Beijing dan mereformasi cara berbisnis dengan AS.

Tuntutan Trump di antaranya adalah peningkatan barang-barang AS yang dibeli China, diakhirinya pencurian kekayaan intelektual di perusahaan-perusahaan AS, dan akses yang lebih besar ke sistem keuangan China untuk bisnis internasional.

Setelah terjadi ketegangan hampir 18 bulan, Washington dan Beijing akhirnya menyetujui "Fase Satu" dari kesepakatan perdagangan pada Januari, mengurangi tarif sebagai imbalan bagi China yang setuju membeli lebih banyak barang AS.

Duta besar AS untuk China Terry Branstad pada April bersikeras kesepakatan ini masih dijalankan, meski perekonomian terganggu akibat pandemi virus corona.

Akan tetapi kesepakatan "Fase Dua" harus mengatasi perselisihan yang lebih sulit, seperti kekayaan intelektual dan liberalisasi ekonomi di China. Beberapa ahli ragu kesepakatan ini bisa terjalin.

Kasus Huawei

Salah satu cara AS meningkatkan tekanan internasional ke Beijing adalah dengan menekan penyebaran teknologi 5G China di seluruh dunia.

China bersama perusahaan raksasa Huawei berada di garis depan teknologi 5G, jaringan internet nirkabel super cepat yang memungkinkan konektivitas dan produktivitas lebih besar.

Pada pertengahan 2019, Huawei telah menandatangani kontrak dengan 42 negara untuk membangun infrastruktur 5G termasuk 25 negara di Eropa.

Namun dalam setahun terakhir, AS secara terbuka menyuarakan keengganan untuk menggunakan teknologi Huawei di jaringan komunikasi negara-negara sekutu, terutama anggota anglophone Five Eyes bersama Australia, Kanada, Selandia Baru, dan Inggris.

Washington telah menyiratkan bahwa memasang perangkat keras Huawei dapat memberikan pemerintah China celah untuk memata-matai komunikasi negara-negara lain, atau dengan mudah meretas sistemnya.

Huawei dan pemerintah China membantah keras tudingan AS, dengan mengatakan Huawei adalah perangkat pribadi dan menuduh Washington sengaja mengadu domba China dengan negara-negara lainnya.

Sejauh ini dari anggota Five Eyes hanya Australia yang sepenuhnya melarang penggunaan teknologi Huawei di jaringan 5G-nya.

Pada Januari, Inggris yang merupakan sekutu dekat AS mengatakan, akan mengizinkan Huawei membangun infrastruktur komunikasinya, meski secara terbatas dan di luar wilayah inti.

Terjun bebas

Dilansir dari CNN, Orville Schell selaku direktur Arthur Ross dari Pusat Hubungan AS-China di Asia Society mengatakan, retorika patriotik adalah cara yang berguna bagi AS dan China saat berusaha mengalihkan perhatian dari masalah-masalah domestik.

Beijing sedang coba membangun kembali perekonomian yang anjlok dan menghindari peningkatan pengangguran. Keduanya dapat menjadi ancaman besar bagi kekuasaan Partai Komunis.

AS juga menghadapi masalah ekonomi, dengan pengangguran hampir 15 persen dan jumlah kasus virus corona tertinggi di dunia mencapai lebih dari 1,4 juta kasus.

Akan tetapi kalaupun pandemi telah berakhir dan pemili AS 2020 telah usai, Schell mengatakan, belum tentu ketegangan antara AS dan China bisa mereda.

"Itulah yang sangat mengkhawatirkan - orang tidak dapat melihat bagaimana ini bisa ddiakhiri, setidaknya tidak banyak bukti keinginan merancang jalan untuk memperlambat proses ini."

"Sepertinya kita dalam kondisi terjun bebas," ucap Schell dikutip dari CNN Kamis (14/5/2020).

https://www.kompas.com/global/read/2020/05/15/094415570/riwayat-hubungan-buruk-as-china-dan-deretan-konfliknya

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke