Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pakar UMM: "War Takjil" Itu Tanda Toleransi Beragama

Kompas.com - 24/03/2024, 08:03 WIB
Sandra Desi Caesaria,
Mahar Prastiwi

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Akhir-akhir ini sosial media dipenuhi dengan konten yang disebut dengan ‘War Takjil’.

Konten ini merujuk para non-muslim yang ikut membeli takjil saat Ramadhan tiba.

Dari konten tersebut, takjil tidak hanya digemari oleh masyarakat muslim yang berpuasa. Namun juga populer dan digemari oleh masyarakat non-muslim.

Baca juga: Daftar SNBT atau KIP Kuliah 2024 Dulu? Ini Infonya

Dosen program studi Sosiologi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Rachmad K. Dwi Susilo, MA., Ph.D mengatakan, bahwa takjil tidak berdimensi agama ritual, namun lebih ke kedermawaan sosial.

Sehingga war takjil adalah bentuk dari toleransi beragama. Karena masyarakat yang non-muslim pun bisa masuk dan tidak ada beban untuk menikmatinya.

"Jika masalah ucapan hari raya natal ini tergantung individunya. Cukup hormati dan hargai perayaan agama lain dengan tidak mengecamnya," ucapnya, dilansir dari laman UMM, Minggu (24/3/2024).

Lalu bagaimana agar hari perayaan agama itu bisa sama-sama dinikmati oleh agama lain?

Baca juga: Cerita Caca, Member JKT48 yang Berhasil Lulus dari UMM

Menurut Rachmad, agama lain harus membuka ruang publik sehingga semua agama bisa turut terlibat dalam suasana saling menghormati dan penuh kegembiraan.

Tetapi pemerintah memang butuh tindakan yang hati-hati, agar tidak masuk wilayah keyakinan personal.

Kemudian perlu ide pemerintah untuk membangun inklusivitas. Pemerintah bisa menyediakan kelembagaan yang bernama rumah bersama antar umat beragama.

Forum tersebut harus produktif, menghasilkan kerja-kerja kolektif yang inklusif. Sehingga, semua kelompok bisa terlibat tanpa menyentuh aspek-aspek asasian atau aspek personal agama tersebut.

Apabila rutin bertemu, tidak akan muncul kecemburuan, superioritas, dan merasa agama yang paling bagus.

"Jika telah mengalami kelembagaan, kelak akan cair dengan sendirinya. Kalau kita tidak pernah bertemu dengan penganut agama lain dan memiliki tafsir tersendiri terhadap mereka, nanti akan mudah terprovokasi," jelasnya.

Salah satu cara agar toleransi beragama tetap kokoh adalah mengajari anak-anak. Orangtua juga jangan mengajari anak-anak seakan-akan agamanya lebih bagus dan dikomparasikan dengan agama lain.

Jika dibandingkan, maka bisa memicu permusuhan. Konstruksi sosial mengenai agama perlu dibangun sejak kecil dan dimulai dari lembaga keluarga.

Baca juga: Sosok Ike, Anak Penjual Kopi Lulus Cumlaude Tanpa Skripsi dari UMM

Dengan itu, Rachmad berharap tidak akan ada keluarga yang mengalami disorganisasi atau fungsi fungsi yang hilang antarhubungan orangtua dengan anak.

Contohnya, orangtua terlalu sibuk bekerja sehingga dititipkan kepada orang lain. Jika seperti itu, maka mereka tidak bisa mengontrol sang anak dengan baik.

"Padahal keluarga menjadi tempat pertama dalam mengajarkan toleransi," tandas Rachmad.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com