Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Ana Mariana, Raih Beasiswa Kemendikbud Bisa Kuliah S2 di Harvard

Kompas.com - 18/12/2022, 07:57 WIB
Angela Siallagan,
Albertus Adit

Tim Redaksi

KOMPAS.com – Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) semakin gencar memberikan peluang dan kesempatan kepada generasi muda Indonesia agar mampu menikmati pendidikan tinggi di dalam dan luar negeri.

Hal tersebut nampak dari upaya pemerintah dalam membuka berbagai program beasiswa seperti program Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah, Beasiswa Pendidikan Indonesia (BPI), dan lain-lain.

Setiap beasiswa tentu memiliki tujuan dan sasaran yang berbeda sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Pemerintah.

Baca juga: 7 Beasiswa S1-S3 Pendaftaran Januari 2023, Kuliah Gratis dan Uang Saku

BPI sendiri merupakan beasiswa Pemerintah Indonesia yang didanai oleh Dewan Penyantun Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) dan merupakan inisiasi dari Kemendikbud Ristek, yang telah dimulai sejak 2021 lalu.

Melansir laman resmi BPI, beasiswa tersebut bertujuan untuk meningkatkan kemampuan dan kompetensi sumber daya manusia Indonesia yang mendukung percepatan pembangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Selain itu, pemberian beasiswa ini juga sebagai upaya untuk mengoptimalkan pemanfaatan Dana Pengembangan Pendidikan Nasional (DPPN) yang ada di LPDP melalui pemberian beasiswa bergelar (degree).

Baca juga: Beasiswa S1-S2 Brunei Darussalam 2023, Tunjangan Rp 7 Juta Per Bulan

Beasiswa tersebut diberikan untuk jenjang pendidikan S1, S2, dan S3, dan non-gelar (non-degree) bagi Warga Negara Indonesia yang memenuhi persyaratan di perguruan tinggi terbaik di dalam negeri atau di luar negeri.

Cerita Ana Mariana kuliah S2 di Harvard University

Ana Mariana, seorang dokter umum merasa dirinya seorang perempuan yang beruntung karena mampu meraih beasiswa luar negeri S2 di Harvard Medical School mengambil jurusan Global Health Delivery, sejak 2021 lalu.

“Saya bersyukur karena jika melihat ke belakang, saya anak ke empat dari empat bersaudara, saya anak bungsu. Ayah saya lulusan SMA, ibu saya lulusan SMP. Saya bersyukur sekali. Belum pernah ada satu pun dari keluarga saya masuk ke S2, apalagi bisa sampai ke luar negeri, ke Harvard,” ujar Ana ketika membagikan pengalamannya pada akun Instagram Beasiswa Pendidikan Indonesia @awardee_bpi, pada Jumat (16/12/2022).

Baca juga: 5 Ciri Beasiswa Palsu yang Wajib Kamu Ketahui

Ana juga menambahkan, pihaknya sangat bersyukur atas beasiswa dari LPDP yang membawa dia untuk berkuliah di Harvard, satu-satunya utusan dari keluarganya untuk dapat mencicipi pendidikan S2.

“Jadi, bisa dibilang saya bukan termasuk ke dalam orang yang cukup previlage, saya bersyukur sekali kalau seandainya tidak ada beasiswa awardee ini dan bantuan dari LPDP, saya tidak akan berkesempatan di sini,” urai Ana.

BPI sendiri memberikan pembiayaan penuh kepada Ana seperti tuition fee (biaya kuliah), yang langsung dibayarkan oleh LPDP ke universitas Harvard.

Perempuan lulusan Universitas Jenderal Achmad Yani (Unjani) memilih kuliah ke Universitas Harvard karena sudah lama tertarik dan bermimpi ingin menikmati kuliah di negeri Paman Sam tersebut.

Baca juga: Beasiswa S1-S3 dari Pemprov Sumut, Ada Biaya Kuliah hingga Rp 40 Juta

Oleh karena itu, Ana fokus untuk mencari informasi beasiswa dan mempersiapkan segala ketentuan beasiswa tersebut. Dia juga banyak bertanya kepada teman-teman di lingkungan pekerjaannya dan orang-orang yang pernah menimba ilmu di luar negeri.

Ana sendiri tidak mencoba untuk mendaftar ke universitas lain karena kerinduan mendalam untuk dapat lulus ke Harvard.

“Keinginan untuk apply ke Harvard sudah lama, karena latar belakang yang sesuai dengan yang saya kerjakan. Sebelumnya, belum pernah profesor dan kolega yang kenal di sana, namun saya mendapat beberapa relasi disini (kolega) dan ada juga mentor yang membantu saya. Mereka mengatakan, Saya pasti bisa,” ujar Ana dengan semangat.

Ana sendiri pernah bekerja sebagai Clinical Operations Manager di DOCTA, salah satu perusahaan rintisan (start up) kesehatan yang ada di Indonesia.

Baca juga: Uni Eropa Siapkan 3 Beasiswa S1-S3 di 2023 bagi Pelajar Indonesia

Selama bekerja di DOCTA, dia menikmati pekerjaannya ke daerah pedesaan sebagai manajer operasi klinis dan berupaya menerapkan aplikasi “Kotak Dokter” (Doctor-In-A-Box) untuk menghubungkan masyarakat yang tinggal di pedesaan dan daerah terpencil dengan bidan, perawat, dan dokter layanan kesehatan primer yang bekerja di Puskesmas.

Pengalaman tersebut menginspirasi Ana untuk melanjutkan pendidikan S2 sesuai dengan peminatannya yakni Global Health Delivery dan pengobatan sosial.

Dirinya merasa terpanggil untuk memiliki profesionalitas yang mumpuni dalam melanjutkan tugas mulia sebagai dokter dengan mengambil jurusan Global Health Delivery.

“Saya merasa ini benar-benar sejalan dengan pengalaman saya sebelumnya. Bekerja di daerah pedesaan sebagai manajer operasi klinis dan tujuan masa depan saya untuk menjadi seorang akademisi dan profesional dalam penyampaian kesehatan global,” ujarnya.

Baca juga: Beasiswa S1-S3 Hungaria 2023, Kuliah Gratis dan Tunjangan Bulanan

Dengan memilih jurusan tersebut di Harvard, Ana berharap akan mencari solusi dari kesenjangan ekonomi dan memahami etnografi yakni memanusiakan manusia, khususnya yang ada di Pedesaan seperti Puskesmas.

Ana merasakan manfaat yang diberikan oleh beasiswa dari Pemerintah Indonesia yakni BPI. Ana berharap akan menyelesaikan kuliah S2 ini pada 2023. Namun, dia tidak berhenti sampai disitu. Ana juga memiliki cita-cita ingin melanjutkan studi S3 agar dapat menjadi dokter Spesialis.

Dari banyaknya ketentuan dan administrasi yang dipersiapkan, ada beberapa hal penting dan harus mendapat perhatian utama yakni skor IELTS dan Statement of Purpose atau Essay.

Ana menekankan, skor IELTS harus sesuai dengan ketentuan jurusan dan Universitas yang dituju, misalnya ke Harvard dibutuhkan skor IELTS minimal 7 hingga 7,5.

Maksimalkan essay selama 1,5 bulan

Sementara itu, Essay juga merupakan salah satu hal yang sangat penting dan cukup menantang.

“Yang paling menantang yakni membuat Essay. Yang membuat kita dipertimbangkan dan berbeda dari yang lain, kita harus benar-benar mempresentasikan diri kita,” ujar Ana.

Ana sendiri membutuhkan waktu sekitar 1,5 bulan dalam menyelesaikan essay sebanyak tujuh lembar. Untuk meyakinkan essay yang dia kerjakan sudah maksimal, dia juga memberikan kepada beberapa orang untuk dibaca.

“Narasi, pengalaman, dan ruh yang kita kerjakan minimal apa yang kita lakukan sebelum-sebelumnya harus ditulis di dalamnya, sehingga narasi dan essay kita itu menarik, kita bukan hanya ingin menjadi agen perubahan, tetapi menjadi bagian dari agent of change tersebut.

"Ada hal yang lebih besar yang akan saya lakukan nantinya," tegasnya.

Baca juga: 5 Beasiswa dengan Uang Saku Besar, Ada yang Capai Rp 300 Juta

Ana juga menegaskan ada tiga poin penting dalam penulisan essay yakni pada paragraf awal menampilkan diri kita seperti apa, termasuk masalah dan keresahan yang dia alami terkait profesinya.

Kemudian menampilkan beberapa jurnal yang sudah berhasil dipublikasikan atau pencapaian yang pernah kita lakukan, dan bagian pribadi diletakkan pada bagian akhir. Dia berpendapat gambaran diri tidak perlu terlalu ditonjolkan, sehingga diletakkan pada bagian akhir.

Di akhir sharing, Ana berpesan agar para pelajar yang ingin meraih beasiswa, terlebih dahulu memantapkan diri dalam memilih jurusan yang sesuai dengan minat dan passion-nya, sehingga akan senang melakukannya dalam jangka waktu yang panjang.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com