Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Mohammad Imam Farisi
Dosen

Dosen FKIP Universitas Terbuka

Tiga Varian dan Jalur Menuju Profesor

Kompas.com - 29/08/2022, 14:22 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

TAK dapat disangkal, setiap insan akademik (dosen, peneliti) bahkan non-akademisi (ketua parpol, pejabat, pengusaha, dll.) berharap bisa meraih Profesor.

Jabatan tertinggi dan bergengsi di lingkungan akademik, yang aura dan wibawanya menembus tembok universitas, serta dihormati oleh hampir semua golongan masyarakat.

Namun demikian, mungkin publik masih banyak yang belum mengetahui bahwa di Indonesia ada tiga jenis (varian) dan jalur menuju jabatan/gelar Profesor.

Pertama, Profesor dari jalur akademisi. Kedua, Profesor dari jalur fungsional Peneliti. Ketiga, Profesor dari jalur kehormatan.

Profesor Akademisi

Profesor dari jalur jenjang karier/jabatan atau “Profesor Akademisi”, adalah jabatan fungsional/akademik (JAFA) yang hanya bisa dicapai/diraih oleh seorang dosen yang sudah bergelar Doktor, baik melalui jalur regular (berjenjang) maupun loncat jabatan.

Untuk meraih Profesor dari jalur ini, seorang Dosen harus memenuhi persyaratan akademik dan non-akademik (administratif) yang ditetapkan oleh UU Guru dan Dosen (No. 14/2005), dan Peraturan Menteri (MenpanRB, Mendikbud/Menristekdikti/Mendikbudristek).

Data pada portal SINTA, saat ini Indonesia memiliki 7.029 (2,88 persen) Profesor Akademisi dari total 244.491 dosen.

Dibandingkan dua varian lainnya, Profesor akademisi memiliki tanggung jawab dan kewajiban yang melekat pada Tridarma Dosen PT (pengajaran, penelitian, dan abdimas), serta kewajiban khusus untuk menulis buku, publikasi karya ilmiah, dan diseminasi gagasan dalam berbagai forum ilmiah dan profesi.

Keberadaan Profesor (kuantitas dan kualitas) pada jalur ini sangat penting sebagai the guardian of academic and scientific values, dan sebagai parameter untuk menentukan kualitas dan tingkat kebersaingan (competitiveness) sebuah perguruan tinggi secara nasional maupun internasional.

Kebebasan mimbar akademik dan otonomi keilmuan merupakan dua instrumen akademik yang disediakan oleh negara kepada Profesor Akademisi untuk menyatakan secara terbuka dan bertanggung jawab mengenai sesuatu yang berkenaan dengan rumpun ilmu dan cabang ilmunya.

Melalui forum itu pula seorang Profesor Akademisi diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran untuk kepentingan nasional, memimpin kelompok akademisi untuk memecahkan masalah nasional dan berperan di tingkat internasional.

Profesor Riset

Profesor dari jalur fungsional peneliti atau “Profesor Riset” (Research Professor) adalah “Gelar” pengakuan, kepercayaan, dan penghormatan yang diberikan kepada seorang yang memiliki jabatan fungsional sebagai Peneliti Ahli Utama atas keberhasilannya dalam mengemban tugasnya pada organisasi penelitian, pengembangan, dan/atau pengkajian instansi pemerintah (PermenPANRB 34/2028; Peraturan LIPI 15/2018).

Dengan kata lain, Profesor Riset adalah Gelar, sedangkan Jabatannya adalah Peneliti Ahli Utama.

Profesor Riset, ditulis “Prof. (Riset)” diperoleh oleh seorang peneliti melalui sistem penjenjangan seperti pada dosen untuk memperoleh jabatan Profesor Akademisi.

Sistem penjenjangan dalam karier peneliti terdiri dari Asisten Peneliti (Assistant Researcher); Peneliti Muda (Junior Researcher); Peneliti Senior (Senior Researcher), dan terakhir adalah Profesor Riset (Research Professor).

Seorang calon Profesor Riset harus memenuhi persyaratan substantif dan administratif. Secara substantif, mereka telah menduduki jenjang jabatan fungsional sebagai Peneliti Ahli Utama, memenuhi standar kompetensi; dan memiliki draft Naskah Orasi.

Secara administratif, mereka harus berkualifikasi strata-3 (S3) yang diakui dan memenuhi persyaratan administrasi kepegawaian lainnya.

Peraturan LIPI tidak mengatur lebih lanjut tentang tugas dan kewajiban Profesor Riset. Namun, jika mengacu pada tugas-tugas Peneliti Ahli Utama (pasal 7 ayat (1)d), tugas dan kewajiban Profesor Riset adalah melakukan penelitian, pengembangan, dan/atau pengkajian ilmu pengetahuan dan teknologi, yang dipublikasikan dalam bentuk buku/bab buku, naskah orasi ilmiah, artikel jurnal, prosiding, buku ajar, karya intelektual, dll.

Berdasarkan statistik pendidikan tinggi, saat ini Indonesia baru memiliki 629 (8,03 persen) Profesor Riset dari total 7.833 peneliti.

Mereka tersebar di berbagai unit penelitian dan pengembangan (kementerian/lembaga), seperti BATAN, LIPI, BPPT, LAPAN, BMKG, BAPETEN, BMKG, KEMENAG, KKP, dll.

Semua unit litbang tersebut kemudian diintegrasikan ke dalam Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang pertama kali dibentuk berdasarkan Perpres 74/2019. Selanjutnya diubah dengan Perpres 33/2021 dan terakhir diubah dengan Perpres 78/2021.

Seperti halnya Profesor Akademisi, keberadaan Profesor Riset secara kuantitas maupun kualitas sangat penting sebagai the guardian of academic and scientific values, dan sebagai parameter untuk menentukan kualitas dan tingkat kebersaingan (competitiveness) sebuah perguruan tinggi secara nasional maupun internasional, dalam bidang riset dan publikasi.

Profesor Kehormatan

Profesor dari jalur kehormatan, atau “Profesor Kehormatan”, adalah jabatan akademik yang diberikan oleh PT sebagai penghargaan kepada setiap orang dari kalangan non-akademik yang memiliki kompetensi luar biasa.

Istilah Profesor Kehormatan ini digunakan pertama kali di dalam UU 12/2012, dan ditindaklanjuti dalam PermendikbudRistek 38/2021. Istilah yang digunakan sebelumnya adalah “Profesor Tidak Tetap” (Permendikbud 40/2012; Permendikbud 88/2013).

Tidak setiap perguruan tinggi berhak dan berwenang untuk memberikan Profesor Kehormatan.

Hanya PT peringkat akreditasi A atau Unggul, serta menyelenggarakan program Doktor yang sesuai dengan bidang kepakaran calon Profesor Kehormatan, yang berhak dan berwenang untuk mengangkat Profesor Kehormatan.

Sekalipun ada judicial review ke MA atas ketentuan ini, MA dalam Putusan 46 P/HUM/2022 mengukuhkan ketentuan a quo dan menolak permohonan yang disampaikan oleh pengacara Heru Widodo (detik.com, 24/08/2022).

Profesor Kehormatan ini diperoleh oleh seseorang non-akademisi/peneliti tanpa harus melalui sistem penjenjangan karier (non-karier) seperti Profesor Akademisi dan Profesor Riset.

Mereka bisa memperoleh Profesor Kehormatan jika berpendidikan minimal Doktor; memiliki kompetensi luar biasa dan/atau prestasi eksplisit dan/atau pengetahuan tacit luar biasa; memiliki prestasi luar biasa yang diakui secara nasional dan/atau internasional; dan berusia paling tinggi 67 tahun.

Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan hukum pada Putusan Nomor: 20/PUU-XIX/2021 (29/03/22) juga menegaskan hal ini.

Bahwa penganugerahan Profesor Kehormatan bisa diberikan kepada setiap orang yang memenuhi kriteria yang ditetapkan di dalam PermendikbudRistek 38/2021.

Selain itu, menurut Mahkamah, untuk membedakan dengan pencantuman jabatan Profesor Akademisi, penulisan jabatan akademik Profesor Kehormatan dilakukan dengan menambahkan kata “Kehormatan” atau “Honoris Causa (H.C)” diikuti dengan nama PT pemberi gelar [Pasal 11 ayat (4)] sebelum nama yang bersangkutan.

Tata tulis ini, mengikuti pemakaian gelar Doktor Kehormatan atau Doktor Honoris Causa yang ditulis sebagai Dr. (H.C.) yang telah diatur dalam Permenristekdikti 65/2016, maka Profesor Kehormatan harus pula ditulis: “Prof. (Kehormatan Universitas A)” atau “Prof. (H.C. Universitas A)”.

Masa jabatan Profesor Kehormatan hanya 3—5 tahun. Jabatan Profesor Kehormatan dapat diperpanjang oleh pimpinan PT, jika berdasarkan evaluasi menteri melalui Dirjen yang bersangkutan memiliki kinerja dan kontribusi baik/layak dalam melaksanakan Tridarma.

Sebaliknya, Jabatan Profesor Kehormatan bisa dicabut oleh pimpinan PT, jika berdasarkan berdasarkan evaluasi menteri melalui dirjen yang bersangkutan dinilai berkinerja dan berkontribusi tidak baik/tidak layak; mendapatkan sanksi (etik, disiplin, integritas akademik dan/atau pidana); serta memasuki batas usia 70 tahun.

Dari berbagai sumber, saat ini di Indonesia terdapat 13 tokoh dari berbagai bidang profesi telah menerima Profesor Kehormatan dari sejumlah PT di Indonesia dan luar negeri.

UNHAN (Susilo Bambang Yudhoyono, Megawati Soekarno Putri, & Terawan Agus Putranto); UNDIP (Muhamad Syarifudin); UNHAS (Syahrul Yasin Limpo); UNNES (Zainudin Amali); UB (Siti Nurbaya); UBAYA (Yuyun Moeslim Taher, & Otto Hasibuan); UNAIR (Nicolaas C Budhiparama, & Achsanul Qosasi); UNP (Fahmi Idris); UNS (Soeprayitno); Kaznau (Riri Fitri Sari), dan SIA (Megawati Soekarno Putri).

Para pemegang Profesor Kehormatan tersebut berhak atas Nomor Urut Pendidik (NUP) pada PT bersangkutan; honorarium sesuai dengan kinerja dan kontribusinya dalam pelaksanaan Tridarma; dan pencantuman Prof. (H.C. Nama Universitas) pada Namanya.

Namun, PermendikbudRistek tidak jelas menyatakan apa tugas dan kewajiban Profesor Kehormatan, kecuali yang bersangkutan harus memiliki kinerja dan kontribusi dalam pelaksanaan Tridarma pada PT yang bersangkutan.

Karenanya, penyebutan Profesor Kehormatan sebagai “jabatan akademik” sebenarnya kurang tepat, karena pencapaiannya tidak melalui “sistem penjenjangan jabatan” (job grading system atau career system) seperti pada Profesor Akademisi, melainkan melalui “sistem penghargaan” (reward system).

Selain itu, kewajiban melaksanakan Tridarma PT bagi Profesor Kehormatan sebagai salah satu aspek evaluasi kinerja, juga agak janggal.

Karena seseorang yang diangkat sebagai Profesor Kehormatan tidak lantas menjadi dosen pada PT pemberi anugerah (walaupun berhak mendapatkan NUP).

Juga, menjadi pertanyaan, model Tridarma PT seperti apa yang menjadi tugas dan kewajiban seorang Profesor Kehormatan?

Belakangan, penganugerahan Profesor Kehormatan ini viral dan sempat menjadi perbincangan publik dan WargaNet.

Publik khawatir pemberian jabatan kehormatan yang banyak diberikan kepada pejabat publik, pengusaha, dan/atau politikus sarat dengan motif dan kepentingan politik, bersifat transaksional.

Penganugerahan Profesor Kehormatan dikhawatirkan menjadi instrumentasi balas budi, ajang membangun jaringan, serta perjanjian politik karena yang bersangkutan telah menyumbangkan uang dalam jumlah besar kepada perguruan tinggi pemberi jabatan Profesor Kehormatan.

Bukan karena yang bersangkutan benar-benar telah dianggap berjasa dan atau berkarya luar biasa bagi ilmu pengetahuan dan umat manusia (Farisi, 2021).

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com