Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Viral Sesajen Ditendang, Ini Tanggapan Pakar UGM

Kompas.com - 17/01/2022, 10:33 WIB
Dian Ihsan

Penulis

KOMPAS.com - Belakangan ini dunia maya digemparkan oleh sebuah video viral seorang relawan di Lumajang yang menendang sesajen ke dalam jurang.

Sambil membuang sesajen, dia menyampaikan pandangan pribadinya terkait sesajen tersebut bisa menimbulkan murka Tuhan, sehingga menyebabkan bencana erupsi Gunung Semeru.

Baca juga: 15 Universitas Terbaik Indonesia Versi Webometrics 2022, 5 dari PTS

Perilaku pemuda tersebut menimbulkan pro dan kontra di masyarakat, bahkan dia dianggap tidak menghormati keragaman tradisi di masyarakat.

Alhasil pria asal Lombok ini harus mempertanggungjawabkan perbuatannya setelah ditangkap di Banguntapan Bantul Yogyakarta.

Menanggapi soal sesajen ini, Dosen Filsafat UGM yang menggeluti budaya kearifan lokal, Sartini angkat suara.

Sartini mengatakan, di masyarakat Indonesia tradisi sesajen sering diartikan sebagai bentuk persembahan baik kepada Tuhan, dewa, roh leluhur, atau nenek moyang, dan makhluk yang tidak kelihatan.

Menurut Sartini, tradisi ini sudah ada sejak sebelum Islam masuk, bahkan sebelum adanya agama Hindu dan Budha.

"Sesajen biasanya dikaitkan dengan ritual yang diadakan untuk tujuan tertentu. Oleh karenanya, benda-benda yang disiapkan untuk tiap sesajen dapat berbeda-beda. Masing-masing unsur dalam sesajen mempunyai filosofinya sendiri," ungkap dia melansir laman UGM, Senin (17/1/2022).

Di Jawa, kata Sartini, sesajen sering disebut uborampe atau kelengkapan.

Sementara di Lumajang, bila itu sebagai tradisi masyarakat setempat, mungkin saja orang yang melakukan sesajen menganggap Gunung Semeru sebagai "makhluk" yang memiliki kekuatan dan berharap agar Gunung Semeru tidak "murka" lagi.

Baca juga: 10 PTS Terbaik Indonesia Versi Webometrics 2022

"Dalam konteks sekarang, tentu di sana termuat permohonan kepada Tuhan agar mereka diberi keselamatan. Perlu penelitian khusus untuk mengkaji fenomena ini," ucap Sartini.

Menurut pemahaman Sartini, di tanah air kepercayaan tentang animisme dan dinamisme merupakan paham yang meyakini adanya roh yang hidup bersama manusia di alam semesta ini.

Roh itu berupa roh orang yang sudah meninggal dunia, nenek moyang, atau leluhur.

Bagian-bagian dari alam, benda, tumbuhan, atau hewan juga sering dianggap mempunyai roh dan mempunyai kekuatan besar, maka gunung atau laut dianggap harus dihormati keberadaannya.

Sebagian kepercayaan ini mungkin masih ada di bumi Nusantara. Kepercayaan ini mungkin sulit dibedakan dengan pemahaman bahwa ada makhluk tidak kelihatan yang juga hidup bersama manusia, tempatnya bisa di mana saja, gunung, laut, dan lainnya.

Makhluk ini juga dianggap memiliki kekuatan dan kekuasaan atas tempat tertentu, sehingga juga harus diberikan penghargaan atas keberadaannya.

"Tradisi membuat sesaji dapat menjadi bagian bentuk masih adanya kepercayaan tersebut. Manusia merasa harus berdamai, hidup bersama makhluk yang tidak kelihatan tersebut. Melakukan sesajen adalah salah satu caranya," ucap Sartini.

Pandangan agama Islam terkait sesajen

Namun demikian di lingkungan Islam, fenomena sesajen memunculkan banyak tafsir.

Baca juga: KPAI Dorong Pemprov DKI Jakarta Jalani PTM 50 Persen

Pandangan intinya adalah bahwa sesajen yang dipersembahkan untuk memohon sesuatu kepada selain Allah hukumnya haram atau dilarang.

Sekalipun demikian, masih ada pandangan yang agak memberi peluang hal dibolehkannya sesajen.

Orang yang membolehkan mungkin berpandangan melakukannya sebagai sekedar tradisi dan niat permohonannya tetap kepada Allah, maka hal itu tidak menjadi masalah.

Alasannya, karena niat permohonannya ditujukan kepada Allah.

"Masalahnya adalah, tidak bisa orang memahami niat orang lain dengan hanya melihat apa yang dilakukan. Inilah yang sering menimbulkan banyak persoalan sosial," tegas Sartini.

Mengatasi hal ini, Sartini menilai keyakinan dan pemahaman sebagian masyarakat soal sesajen merupakan akumulasi pengalaman sepanjang hidup.

Dalam kelompok yang mungkin mengakomodasikan agama dan tradisi, hibridisasinya mungkin dapat dilakukan dengan mensosialisasikan makna simbolnya.

Dengan begitu orang tidak memahaminya sebagai mitos dan kepercayaan semata yang bila sesuatu tidak dilakukan maka akan menyebabkan hal-hal tertentu.

"Rasionalisasi simbol-simbol ritual diperlukan untuk menghadapi masyarakat yang semakin modern, rasional dan bahkan materialistik," jelas Sartini.

Selain itu, kelompok beragama perlu sering berdialog dan sering bertemu, sehingga satu dengan yang lain lebih merasa sebagai teman.

Baca juga: 20 Perguruan Tinggi Terbaik di Indonesia Versi Webometrics 2022

"Sering berkumpul dan berkunjung akan dapat menimbulkan empati karena ikut merasakan kehidupannya, sehingga tidak akan mudah memaksa-maksa orang lain untuk sama dengan dirinya," tukas Sartini.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com