KOMPAS.com - Kasus positif Covid-19 di Indonesia terus merangkak naik. Fakta lain yang tambah memprihatinkan yakni, beberapa diantara kasus positif Covid-19 saat ini sebagian merupakan anak-anak.
Ketua Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Prof. Aman Bhakti Pulungan, menyebutkan kasus Covid-19 pada anak di tanah air naik 11-12 persen.
Bahkan, selama masa pandemi, jumlah kematian anak balita meningkatkan hingga 50 persen atau ada 1.000 kematian pada anak setiap minggunya.
Menanggapi hal ini, Epidemiolog Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Citra Indriani menjelaskan, sebenarnya sejak awal anak-anak mempunyai risiko untuk terinfeksi sars cov-2.
Baca juga: PPDB Jabar 2021 SMA/SMK Tahap 2 Dibuka, Ini Alur dan Jadwalnya
Menurutnya, di provinsi DIY sendiri kasus pertama Covid-19 adalah pada anak-anak. Namun pada saat awal pandemi, pengetahuan yang ada tentang infeksi virus ini terhadap anak menunjukkan bahwa gejala yang terjadi adalah sedang ke berat.
"Pengetahuan kita belum sepenuhnya lengkap untuk virus ini, sehingga masih berkembang. Apalagi virus pun mengalami mutasi dan menyebabkan perubahan karakternya," jelas Citra seperti dikutip dari laman UGM, Jumat (25/6/2021).
Citra mengakui, vaksin yang ada saat ini, belum direkomendasikan untuk diberikan terhadap anak-anak.
Baca juga: Peserta SBMPTBR 2021 Wajib Bawa Hasil Tes Rapid atau Swab
Pasalnya, semua vaksin ketika akan digunakan harus melalui uji terlebih dahulu untuk efikasinya. Apakah memberikan manfaat atau tidak, meskipun dalam kondisi kegawatdaruratan.
"Pada saat ini memang kita masih dan harus menunggu hasil uji klinis pada kelompok anak, sebelum bisa kita berikan ke anak-anak," terang Citra.
Meski sudah ada vaksin yang sudah direkomendasikan oleh WHO SAGE (Strategic Advisory Group of Expert) bagi mereka yang berusia lebih dari 12 tahun yaitu Pfizer/Biontech. Namun selama ini anak-anak memang belum menjadi prioritas secara global.
Baca juga: Kisah Inspiratif, Anak Kuli Bangunan Lolos SNMPTN di FMIPA UGM
Citra menambahkan, dengan perkembangan situasi dan bukti ilmiah yang dihimpun, tidak menutup kemungkinan, akan ada rekomendasi baru dan akan mengubah kebijakan terkait pemberian vaksin pada anak.
"Kembali lagi, senjata kita ada di prokes. Makan bersama dengan orang selain di luar rumah pun sangat berisiko. Karena sama-sama membuka masker dan pastinya ngobrol. Hal ini kalau kita lihat masih banyak yang melakukan," beber Citra.
Baca juga: Pakar Unesa: PTM Terbatas Tetap Prioritaskan Keselamatan Semua
Ia menekankan, anak-anak bisa dilindungi bila orang dewasa, baik itu orangtuanya, pengasuhnya juga menjalankan protokol kesehatan (prokes) dengan ketat.
Citra mengimbau, bagi masyarakat yang sudah dewasa diharapkan bisa lebih patuh protokol kesehatan karena jadi sumber klaster.
Tidak hanya itu, ia pun khawatir apabila pembelajaran tatap muka (PTM) terbatas dimulai di sekolah akan memperparah angka kasus Covid-19 pada anak.
"Saya kira di daerah dengan transmisi tinggi sudah tepat untuk menunda kegiatan sekolah tatap muka," imbuhnya.
Baca juga: Miris, 3.683 Anak jadi Korban Kekerasan Selama Januari-Juni 2021
Citra menekankan, di tengah kondisi belum adanya vaksin yang efektif bagi anak, penerapan prokes pada anak-anak dan prokes ketat dari orangtua diharapkan sebagai senjata terakhir untuk melindungi anak-anak dari paparan infeksi virus corona.
"Proses 3T (test, tracing, treatment) tidak untuk melindungi anak-anak. Tapi prokes anak dan prokes orang tualah yang melindungi. Langkah ini," tutup Citra.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.