Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Suka Duka Kuliah di Inggris, Tak Melulu Seindah "Feeds" Instagram

Kompas.com - 14/03/2021, 09:35 WIB
Ayunda Pininta Kasih

Penulis

Kompas.com - Menonton berbagai konser band legendaris Inggris seperti Coldplay dan U2 secara live, menyaksikan pertandingan Chelsea di stadion Stamford Bridge, belanja produk branded di sepanjang Oxford Street dan gowes menyusuri keindahan alam pedesaan, adalah sebagian dari pengalaman yang ditawarkan selama berkuliah di Inggris.

Selain Singapura dan Australia, Inggris memang menjadi salah satu negara favorit pelajar Indonesia untuk melanjutkan pendidikan tinggi jenjang S1 maupun S2.

Cukup banyak beasiswa yang ditawarkan bagi pelajar Indonesia, antara lain melalui LPDP, Dikti, Chevening, Jardine maupun beasiswa parsial dari kampus.

Di tengah banyaknya kebijakan lockdown yang membuat para pelajar dan mahasiswa belajar online karena pandemi Covid-19, Andre Mokalu, penerima beasiswa SPIRIT Kemenkeu Bappenas termasuk salah satu lulusan S2 Inggris yang beruntung.

Baca juga: Soul Travellers, Cerita 39 Anak Muda Indonesia Menjelajah Dunia

Selain dapat merasakan kuliah full-time di University of Birmingham, satu-satunya kampus yang dilewati jaringan kereta nasional Inggris dan mendapatkan kesempatan magang di perusahaan konsultan terbaik dunia, ia masih sempat travelling ke banyak destinasi indah di Inggris.

“University of Birmingham (UoB) ini bisa dibilang mirip dengan Universitas Gadjah Mada (UGM), lokasi kampusnya bukan di ibu kota negara dan juga bukan di pusat kota jadi biaya hidup relatif jauh lebih murah,” jelas Andre.

Edensor di Peak District, Derbyshire, sebuah desa kecil yang menjadi inspirasi buku best seller yang ditulis Andrea Hirata.Dok. Andre Mokalu Edensor di Peak District, Derbyshire, sebuah desa kecil yang menjadi inspirasi buku best seller yang ditulis Andrea Hirata.

Penulis buku Soul Travellers: Turning Miles into Memories ini bahkan berkesempatan mengunjungi Edensor di Peak District, Derbyshire, sebuah desa kecil yang menjadi inspirasi buku best seller yang ditulis Andrea Hirata, tepat satu minggu setelah kedatangannya di Inggris.

Upload foto selfie di depan kastil atau nge-broadcast di Instagram live saat nonton langsung English Premier League, tak ayal membuat banyak orang terkesan dan beranggapan bahwa kuliah di luar negeri sangatlah menyenangkan.

Padahal, Andre mengungkap, kebanyakan isi sosial media para pelajar Indonesia yang kuliah di luar negeri hanya jepretan kamera untuk sisi yang “indah-indah” saja. Homesick, culture-shock dan beban kuliah adalah cerita lain dibalik pengalaman serunya kuliah di Iuar negeri.

Tantangan akademis pelajar Indonesia di Inggris

Pelajaran bahasa Inggris di Indonesia, terang Andre, lebih berorientasi kepada American English daripada British English. Ia menyarankan, untuk calon mahasiswa yang akan mengambil kuliah di Inggris maupun negara persemakmurannya seperti Australia dan New Zealand, lebih baik belajar untuk persiapan ujian IELTS ketimbang TOEFL.

Baca juga: Intip Biaya Kuliah S1-S2 di 3 Negara: Australia, Selandia Baru, Inggris

Selain calon mahasiswa dapat melatih pemahaman aksen British, juga akan lebih mudah menghadapi struktur ujian IELTS yang cukup berbeda dari TOEFL.

“Saya sebenarnya sudah lulus skor untuk tes TOEFL iBT yang dipersyaratkan di Universitas di Amerika, tapi pas daftar UoB baru paham hanya skor IELTS yang dipakai untuk syarat mendapatkan Letter of Acceptance (LoA) dari UoB. Beda pendekatan ujiannya walaupun tujuannya sama untuk ngetes kemampuan Bahasa. Di TOEFL iBT kita ngomong sama komputer, sedangkan dalam IELTS kita diuji ngobrol langsung dengan native. Teman-teman saya banyak yang fail karena gugup bukan karena enggak bisa,” terang Andre kepada Kompas.com, beberapa waktu yang lalu.

University of BirminghamDok. Andre Mokalu University of Birmingham

Tuntutan karier membuat Andre terpaksa studi lintas jurusan, dari S1 Teknik Sipil ke jurusan International Business saat S2 di Inggris. Pembelajaran di fakultas teknik yang kebanyakan berupa hitungan, dinilainya sangat berbeda dengan ilmu bisnis yang menuntut pemahaman materi melalui jurnal, buku-buku dan studi kasus.

“Di Teknik Sipil sarat dengan faktor aman dan kalkulasi yang presisi, sedangkan Ilmu Bisnis dan Manajemen untuk pertanyaan yang sama, bisa memiliki banyak jawaban sepanjang alasannya jelas dan logis,” papar lulusan S1 Prodi Teknik Sipil UGM itu.

Bahkan, lanjut Andre, “it depends” menjadi jawaban andalan dosen bisnis internasional saat ditanya mana jawaban yang tepat.

“Jadi bisa dibayangkan sendiri betapa relatifnya jawaban yang tepat itu seperti apa,” imbuh dia.

Kuliah di Inggris, lanjut dia, juga sedikit berbeda dengan kuliah di Indonesia. Beban kuliah diukur dengan sistem kredit dan unit sedangkan di Indonesia dikenal dengan nama satuan kredit semester (SKS).

Para dosen Inggris juga jarang sekali mengecek absensi mahasiswa. Sebab, mahasiswa di sana dituntut untuk proaktif untuk mengikuti kelas.

Selain itu, tugas kuliah lebih banyak berbentuk esai dengan minimal 2.000 kata sampai dengan 6.000 kata. Menurut Andre, bentuk penugasan tersebut bisa menjadi tantangan sendiri bagi pelajar Indonesia dengan budaya membaca buku dan kemampuan pemahaman jurnal akademis yang terbatas.

Baca juga: Beasiswa S1-S2 di Inggris, Potongan Uang Kuliah hingga Rp 192 juta

“Ujian di Indonesia pun juga kebanyakan pilihan ganda dan uraian singkat yang bisa dikerjakan dengan hanya beberapa paragraf. Jadi, untuk mengerti apa yang mau ditulis saat ujian di Inggris, kita harus banyak baca referensi, bisa berupa buku, artikel maupun jurnal untuk mendukung argumen kita dalam esai tersebut. Pernah saya nangis karena bingung mau nulis apa padahal deadline udah di depan mata. Untung teman-teman bantuin waktu itu,” terangnya.

Selain itu, sistem pengecekan Turnitin menjadi tantangan tersendiri bagi mahasiswa pendatang apalagi bagi yang terbiasa “mencontek” karena sistem ini dapat melacak plagiarism dengan mudah. Sehingga, keterampilan untuk menulis ulang kalimat atau paraphrase dari berbagai sumber sangatlah penting dalam pembuatan esai.

“Dulu teman saya pernah ada yang tidak lulus satu mata kuliah hanya karena asal copy paste dari jurnal dan lupa mem-paraphrase satu paragraf dalam esainya. Batas bawah untuk lulus program S2 itu nilai minimal 40, dia dapat nilai 10 karena kesalahan itu. Jadi buat yang pada mau kuliah di luar negeri baik program sarjana atau master, boleh lah mulai sekarang dicicil belajar academic writing,” jelasnya.

Rindu “panas” dan kuliner Indonesia

Pantai Seven Sisters, InggrisDok. Andre Mokalu Pantai Seven Sisters, Inggris

Lokasi geografis Indonesia yang memang berada di garis khatulistiwa membuat penduduknya terbiasa dalam dua pilihan antara kehujanan atau kepanasan. Sungguh berbeda dengan benua Eropa yang memiliki empat musim.

Tusukan dinginnya angin dan salju, kata Andre, sering membuat para pelajar homesick alias kangen rumah di bulan pertama dan bulan kedua kedatangan di mana perkuliahan di Inggris yang kebanyakan dimulai di awal musim gugur.

“Apalagi ditambah pemanas kamar kosan sering mati karena berusaha mengirit biaya tagihan, sehingga tak jarang para mahasiswa harus menembus badai angin dan salju untuk “kemping” di perpustakaan kampus yang buka 24 jam demi sekedar menghangatkan tubuh dan bandwith internet,” ungkapnya.

“Buat orang yang suka pantai, berenang di pantai itu pasti asyik. Saya bela-belain sudah nyetir 4 jam di jalan buat ke Durdle Door, Dorset, salah satu pantai di ujung selatan Inggris. Sampai di sana, mau nyelupin kaki aja enggak bisa karena airnya dingin masih seperti air kulkas, padahal itu pas musim panas,” imbuh dia.

Baca juga: Beasiswa Kuliah S1 di Amerika Serikat, Senilai Rp 115 Juta Per Tahun

Selain cuaca, hal lain yang membuat banyak mahasiswa Indonesia kangen rumah ialah cita rasa makanan. Bisa dibilang, rasa masakan di Inggris tidak “semeriah” masakan Indonesia, baik dari segi ragam pilihan kuliner maupun rempah dalam racikan bumbu.

Singkatnya, pilihan kuliner di Inggris tak jauh dari olahan seafood seperti Fish and Chips dan olahan daging seperti Roast Beef, Steak and Kidney Pie dan Shepherd's Pie.

Meski begitu, pengaruh makanan Asia juga ikut memperkaya pilihan dine-in atau take away seperti Kebab Turki, Sushi dan Ramen Jepang, Nasi Lemak Malaysia, Pad Thai, Pho Vietnam, Kari India dan Chinese Foods. Namun, harganya memang sedikit lebih mahal ketimbang saat kuliner di negara aslinya atau jika dibandingkan membeli makanan yang sama di restoran Indonesia.

Kondisi ini akhirnya membuat Andre mau tak mau memasak sendiri, minimal paham cara membuat sambal sebagai pelipur kangen masakan kampung halaman.

“Masak soto atau gulai pakai bumbu jadi, bumbunya titip teman yang lagi pulang ke Indonesia. Mau makan di luar juga harganya sekitar GBP 5 sampai dengan GBP 10 atau sekitar Rp 100.000 sampai Rp 200.000,” ungkapnya.

Pilihan makanan di kantin jurusan pun cukup terbatas. Jangan berharap menemukan bakso untuk mengusir lapar dan dingin. Di rak kantin biasanya tersaji sandwich dengan berbagai pilihan isian, keripik kentang, soda, teh atau kopi.

Jika kantin jurusan tutup, lanjut Andre, perut hanya bisa dihibur dengan pilihan snack dan soda dari vending machine.

Jika mau pilihan nachos, kebab, kentang dan ayam goreng, mahasiswa harus berburu ke kantin kampus atau warung di sekitar kampus. “Agak repot aja sih kalau jam kuliahnya mepet,” terangnya.

Biaya akomodasi sendiri memangkas lebih dari sepertiga nominal beasiswa per bulan, yakni GBP 400 atau sekitar Rp 8 juta per bulan dengan luas kamar 2x4 meter persegi dan di rumah itu Andre harus berbagi bersama 8 orang housemates lainnya.

Berkumpul dengan sesama mahasiswa

Gowes sepanjang kanal di Birmingham, InggrisDok. Andre Mokalu Gowes sepanjang kanal di Birmingham, Inggris

Berkumpul dengan mahasiswa Indonesia lainnya untuk sekadar ngobrol, kuliner atau bahkan jalan bareng, menjadi cara Andre mengurangi homesick selama kuliah di Inggris.

Budaya komunal Indonesia yang sering berkumpul ditambah lamanya adaptasi untuk memahami aksen British, kerap membuat Andre rindu ingin “bertukar pikiran” dengan rekan sejawat dari satu suku atau bahkan hanya sekedar berinteraksi dengan bahasa Indonesia.

“Untungnya adanya organisasi Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) bisa saling support mahasiswa Indonesia dalam satu kota dalam satu negara. PPI ini membantu mengkoordinir acara penyambutan mahasiswa baru, nyemangatin tim Indonesia di All England, acara keagamaan contohnya pengajian bahkan acara jalan-jalan day trip bareng,” tambah Andre yang pernah menjabat sebagai tim Humas PPI Birmingham.

Hubungan baik antara sesama mahasiswa Indonesia selama kuliah di luar negeri, sukses membuahkan Andre dan teman-teman PPI merilis buku yang memotret romantika kehidupan putra-putri bangsa di luar negeri yang tak terbingkai dalam feeds Instagram.

Sekuel kedua buku Soul Travellers dengan judul Soul Travellers: A Spoonful of Home ini rencananya akan segera hadir di jaringan toko buku Gramedia.

Selain itu, membaca buku elektronik atau ebook lewat Amazon Kindle dinilai Andre dapat mengurangi kejenuhan. Selain harga bukunya yang jauh lebih murah dibandingkan buku fisik, penggunaan ebook ini juga lebih praktis karena tidak membuat tas kuliah menjadi berat mengingat banyaknya reading lists perkuliahan di sana.

Baca juga: Cari Jurusan hingga Beasiswa Luar Negeri di Global University Expo 2021

Bahkan, hobi bacanya yang terbentuk sejak Sekolah Dasar terbawa hingga kini, jumlah buku yang ada di Kindle Voyage milik Andre sekarang berjumlah sekitar 1.200 buku dan baru terbaca hanya sekitar setengahnya saja.

Hal itu membuat Andre menjadi salah satu pemrakarsa Forum Kindle Indonesia, yakni media berbagi untuk para pengguna Kindle di Indonesia melalui WhatsApp Group (WAG) dan Telegram.

“Mulainya dari obrolan thread Kindle di Kaskus, terus kita bikin WAG supaya biar lebih intens. Dulu isinya kebanyakan anak ASN Kemenkeu, tapi makin ke sini karena banyak peminatnya jadi kita bikin komunitas juga di Telegram, FKI - Forum Kindle ID, namanya,” tambah Andre.

Gowes sepanjang kanal kota juga menjadi cara Andre menyegarkan pikiran. Bahkan Birmingham yang dulunya sebagai basis revolusi industri di Inggris sendiri juga terkenal jaringan kanal yang lebih luas daripada Venice, Italia.

Terakhir, kiat Andre untuk mengurangi stres selama kuliah ialah dengan mendengarkan musik. Karena praktis, Andre memanfaatkan aplikasi Spotify dengan user name Andre Mokalu.

Bahkan, beberapa playlist pilihannya memang cukup diminati orang, baik dalam maupun luar negeri, antara lain Smooth Radio, Degung Sunda dan 3AM Acoustic.

“Jadi kalau ditanya kuliah di Inggris worth it apa enggak? Jawabannya it depends. Kalau mau belajar mandiri, memperluas paradigma hidup dan dapetin pengalaman baru yang enggak ada di Indonesia ya jawabannya worth it. Tapi kalau mau santai di zona nyaman, kuliah di Indonesia juga enggak kalah kualitasnya. Toh kalau kita sudah kerja, ilmu kuliah enggak semuanya dipakai dalam pekerjaan, apalagi mau banding-bandingin nama besar almamater buat apa? Mau hidup sukses ya muaranya di good manners dan ethical attitudes kita,” tutup Andre.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com