Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

"Proof of University Competence", Publikasi Ilmiah, Paten, dan SDM Unggul

Saya sendiri berpendapat bahwa kebijakan yang tertuang dalam Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 adalah langkah tepat.

Namun demikian, karena publikasi ilmiah juga merupakan hal penting yang merupakan salah satu jiwa dan bukti kompetensi kampus (proof of university competence), maka kebijakan ini perlu dibarengi langkah konstruktif lainnya untuk mendorong publikasi ilmiah kampus.

Kebijakan ini, paralel dengan pendelegasian kewenangan kepada perguruan tinggi untuk memilih model, dan formula yang paling tepat, dalam menguji kemampuan mahasiswa, sebagai syarat akhir kelulusan.

Karakteristik dan kompleksitas program studi, serta target kompetensi yang berbeda-beda pada perguruan tinggi, tentunya tidak bisa digeneralisasi. Dengan demikian, metode dan formula untuk menguji kemampuan mahasiswanya variatif.

Kemendikbudristek juga membuat langkah progresif. Memberikan kebebasan kepada pimpinan perguruan tinggi untuk menetapkan standar ukuran ketercapaian lulusannya berdasarkan diferensiasi misi dan target akhir yang ingin dicapai.

Kebebasan perguruan tinggi untuk menetapkan instrumen standar kelulusan peserta didiknya, selaras dengan kebebasan proses akademik kampus merdeka. Hal ini pada gilirannya akan memperbaiki fokus, target dan kualitas lulusan masing-masing kampus.

Publikasi ilmiah bukan satu-satunya proof of university competence. Luaran riset bidang eksakta yang paling siginifikan, menurut saya, adalah dalam bentuk paten atau kekayaan intelektual lainnya yang bisa diaplikasikan ke dalam industri.

Sedangkan untuk luaran riset bidang hukum, misalnya, produk tugas akhir bisa berupa naskah akademik dan draft RUU. Luaran riset berupa Naskah Akademik dan RUU tentang Kecerdasan Buatan (Artificial Intelligence) misalnya, tentu akan sangat bermanfaat.

Insentif

Kenapa menjadikan publikasi ilmiah sebagai syarat kelulusan tidak tepat, berikut beberapa alasannya:

Pertama, bagaimana mungkin segala tahap pembelajaran, kegiatan riset, prestasi akademik, dan proses riset yang telah dilakukan oleh mahasiswa dengan bimbingan tim promotornya, seakan tidak berarti apa-apa jika tidak lolos publikasi.

Kedua, pengalaman menunjukan, tidak jarang mahasiswa yang akan ujian promosi gelar doktor harus menunggu, bahkan tertunda tanpa kepastian, karena belum ada persetujuan publikasi sehingga memperpanjang masa studi.

Ketiga, publikasi ilmiah bukanlah satu-satunya proof of university competence atau pembuktian kompetensi perguruan tinggi.

Invensi baru (new invention) dalam bentuk patent granted, atau hasil penelitian impelementatif yang bisa diterapkan oleh pemangku kepentingan dan mitra perguruan tinggi, adalah bentuk lainnya yang justru memiliki nilai strategis dan ekonomi.

Meskipun bukan sebagai syarat kelulusan, mengingat publikasi adalah salah satu bentuk proof of university competence, perguruan tinggi dan Kemdikbudristek harus tetap mendorong publikasi ilmiah bagi para dosen, peneliti, dan Mahasiswa S2 dan S3 dengan model penghargaan berbeda.

Kebijakan ini, tentunya bukan untuk mendisrupsi spirit publikasi ilmiah sejalan dengan adagium "publish or perish", "mempublikasikan gagasan atau binasa sama sekali".

Publikasi ilmiah yang berkualitas, apalagi memiliki dampak nasional dan global, seringkali dijadikan ukuran reputasi perguruan tinggi maupun individu penulisnya.

Oleh karena itu, keberhasilan publikasi ilmiah, lebih tepat diapresiasi dengan insentif. Misalnya, insentif biaya penelitian lanjutan, atau fasilitasi visiting professor ke Universitas kelas dunia untuk peningkatan kapasitas dan kualitas akademik profesor dan dosen.

Permendikbudristek tersebut juga mengatur bahwa mahasiswa S1 dan diploma 4 diberikan sejumlah pilihan tugas akhir sebagai syarat kelulusan.

Tugas akhir bisa berupa skripsi, prototipe, proyek, atau bentuk tugas akhir sejenis lainnya yang bisa dikerjakan secara individu atau berkelompok. Dengan demikian, skripsi bukan satu-satunya pilihan.

Paten

Perguruan tinggi seharusnya menjadi institusi penghasil paten yang produktif. Hasil riset bisa didaftar dan diwujudkan sebagai kekayaan intelektual dalam bentuk paten, kemudian dimplementasikan dalam industri, diproduksi dan dikomersialkan.

Jika hal ini dapat dilakukan, maka akan berdampak signifikan tidak hanya bagi perguruan tinggi dan inventornya, tetapi juga bagi produktivitas dan ekonomi nasional.

Untuk riset di bidang teknologi termasuk yang dilakukan mahasiswa S2 dan S3, maka invensi baru akan lebih strategis jika hasilnya diwujudkan dalam bentuk paten ketimbang berupa publikasi ilmiah pada jurnal bereputasi.

Pemilihan topik penelitian menjadi titik awal keberhasilan itu. Karena topik dan obyek yang diteliti benar-benar harus menghasilkan luaran riset yang memiliki kebaruan (novelty), langkah inventif, bisa diaplikasikan dalam industri, dan dikomersialkan.

Berikut hal-hal yang harus diperhatikan:

Pertama, terdapat persyaratan bahwa suatu invensi hanya dapat didaftarkan sebagai paten jika memenuhi unsur kebaruan. Unsur novelty atau kebaruan paten sifatnya universal, dalam arti yang dijadikan komparasi adalah invensi global tidak hanya nasional.

Dalam paten juga dikenal persyaratan langkah inventif. Artinya hasil riset harus mempunyai kelebihan dan berbeda dari penemuan yang sudah ada sebelumnya atau sesuatu hal yang tidak terduga dalam pandangan ahli sekalipun.

Kedua, jika hasil riset memiliki potensi didaftar sebagai paten, maka publikasi ilmiah justru akan menjadi titik lemah. Karena publikasi akan menggugurkan unsur kebaruan dan langkah inventif. Hal itu dapat dijadikan alasan ditolaknya permohonan paten.

Untuk luaran riset yang layak paten, publikasi secara lengkap pada jurnal internasional juga akan berdampak pada nilai kompetitif dan memicu diversifikasi new invention oleh pihak lain yang mendisrupsi nilai kompetitif inventor kita.

Ketiga, untuk melindungi hasil riset yang patentable, saya menyarankan agar sebelum diujikan sebagai tugas akhir di perguruan tinggi secara terbuka, invensi baru itu dimohonkan patennya terlebih dulu kepada Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual yang dapat dilakukan secara online.

Meskipun patennya belum granted (untuk granted memerlukan proses pemeriksaan cukup lama), tetapi inventor sudah pada posisi dilindungi berdasarkan stelsel first to file.

Paten yang sukses adalah jika berhasil diaplikasikan kedalam industri, dan dikomersialisasikan, karena inventor akan menanggung biaya pemeliharaan tahunan atas patennya.

Paten sebagai proof of university competence yang ideal adalah, jika hasil riset bisa mendapatkan patent granted, sekaligus layak dan sukses diaplikasikan dalam industri, serta dikomersialkan sebagai pendukung peran perguruan tinggi dalam pertumbuhan ekonomi nasional.

Proof of university competence juga diukur sejauh mana perguruan tinggi memiliki kapasitas untuk menghasilkan SDM unggul. Perguruan tinggi harus mampu menjawab tantangan bonus demografi yang kita miliki.

Bonus demografi yang dibarengi dengan kualitas SDM unggul, berkepribadian dan berbudaya luhur akan memberi manfaat bagi negeri ini. SDM-nya akan siap berkiprah dalam berbagai bidang.

Salah satu tantangan di bidang pendidikan adalah korelasi waktu belajar dan kelulusan. Mahasiswa yang menempuh proses pendidikan terlalu lama identik juga dengan semakin lamanya negara mendapatkan SDM terbaiknya.

Namun demikian, hal yang perlu dicatat adalah, percepatan proses pendidikan tentu harus tetap memenuhi syarat, proses belajar mengajar, materi pendidikan, dan kualifikasi lulusan berkualitas yang harus tetap harus dipenuhi oleh setiap perguruan tinggi.

https://www.kompas.com/edu/read/2023/09/08/105020171/proof-of-university-competence-publikasi-ilmiah-paten-dan-sdm-unggul

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke