Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Soal Skripsi Tidak Lagi Wajib, Apa Kata Mahasiswa?

MALANG, KOMPAS.com - Menteri Pendidikan, Riset, Kebudayaan, dan Teknologi (Mendikbud Ristek) Nadiem Makarim membuat aturan baru terkait syarat kelulusan mahasiswa yang tertuang dalam Permendikbud Ristek No 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi yang dikeluarkan pada 18 Agustus 2023.

Beberapa mahasiswa dari Universitas Brawijaya (UB) di Malang, Jawa Timur merespon beragam pendapatnya terkait kebijakan pemerintah tersebut yang tidak lagi menjadikan skripsi sebagai satu-satunya syarat kelulusan bagi jenjang sarjana (S1) dan sarjana terapan (D4).

Masih memilih skripsi

Mahasiswi Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UB, Siti Nur Annisa misalnya, mengatakan dirinya mengetahui kebijakan tersebut dari berbagai cuitan di Twitter. Kebijakan itu lantas menjadi perbincangan di kalangan teman-temannya.

"Iya sempat, itu menjadi pembicaraan, bahkan tidak hanya di kelas, tapi juga di kopian yang biasanya bahas receh-receh, ini sudah bahasan yang agak serius," kata Nisa, panggilan akrabnya, pada Kamis (31/8/2023).

Menurutnya, mahasiswa yang pro dengan kebijakan pemerintah karena menganggap bahwa mengerjakan skripsi sangat sulit.

Sedangkan, mahasiswa yang kontra karena menganggap bahwa skripsi merupakan bagian dari Tri Dharma Perguruan Tinggi.

"Kalau misal kita enggak skripsi jarang banget poin yang penelitian dan pengembangan bisa terpenuhi, kan sayang banget, kita udah kuliah empat tahun, tapi tidak menyelesaikan dari Tri Dharma Perguruan Tinggi," katanya.

Nisa menyampaikan, dirinya lebih tertarik untuk mengerjakan skripsi. Mahasiswi angkatan 2021 itu, belum ada ketertarikan untuk mengerjakan tugas akhir dalam bentuk lainnya.

"Saya lebih baik mengerjakan skripsi, karena saya juga senang menulis kan, saya juga suka kalau kerjaan saya kelihatan banyak, dan saya juga lebih tertarik membuat skripsi dibandingkan hal-hal lainnya," katanya.

Nisa mengatakan, mahasiswa di kampusnya sebenarnya bisa saja lulus tanpa skripsi, dan bukan menjadi hal yang baru. Dia mencontohkan, kebijakan itu dapat diterapkan, seperti mahasiswa meraih prestasi di Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (PIMNAS), atau lainnya.

"Di jurusan Hubungan Internasional itu memang tidak harus selesai skripsi, tapi misal kita bisa publikasi jurnal sesuai dengan standar yang ditentukan itu sudah bebas dari skripsi," katanya.

Berharap tidak ada ketimpangan antar prodi

Selain Nisa, Presiden Eksekutif Mahasiswa (EM) UB, Rafly Rayhan Al Khajri juga mengutarakan pendapatnya.

Ia mengutarakan dukungan terhadap kebijakan Nadiem Makarim tersebut secara konsep. Menurutnya, kebijakan tersebut dapat efektif dengan menggali kreatifitas, daya kritis, dan mengeksplorasi kemampuan mahasiswa.

Namun, pihaknya juga akan mengkaji dampak yang ditimbulkan terkait pengakuan penyetaraan karya akhir mahasiswa itu.

Mahasiswa angkatan 2019 itu berharap, penerapan dari kebijakan tersebut dapat benar-benar dipikirkan secara matang, dan tidak menimbulkan ketimpangan antar program studi (prodi).

"Sehingga tidak menimbulkan ketimpangan bagi prodi yang memungkinkan, probabilitas, menciptakan karya dengan prodi yang tidak memiliki probabilitas untuk menciptakan karya," katanya.

Mahasiswa Fakultas Hukum UB itu, memiliki kekhawatiran bahwa kebijakan yang ada menimbulkan ketidaksetaraan.

"Antara mereka yang menggunakan skripsi dengan tertulis, kemudian dengan mereka yang menggunakan karya-karya atau best project itu sehingga nanti pengakuannya dianggap setara," katanya.

Berharap bisa lulus tanpa skripsi

Mahasiswa Jurusan Sastra Cina Fakultas Ilmu Budaya UB, Pugoh Ananta Putra juga mendukung kebijakan yang ada. Menurutnya, tidak jarang skripsi selama ini menjadi polemik oleh sebagian kalangan mahasiswa yang dianggap memberatkan.

"Biaya pendidikan tinggi dengan adanya skripsi itu, mahasiswa bisa berangsur-angsur sampai semester 14 ter-DO, kenapa kalau memang mahasiswa memiliki potensi atau kemampuan lain yang bisa digunakan untuk syarat kelulusan, saya rasa oke," katanya.

Dia bercerita, di fakultasnya, mahasiswa bisa lulus tanpa skripsi bila seperti menerbitkan buku. Selain itu, mahasiswa angkatan 2021 itu berharap, kebijakan yang ada dapat dikaji kembali.

"Perlu kita kaji lagi, syaratnya seperti apakah sesuai dengan disiplin ilmu dan bidang studinya, itu yang harus mungkin dari perguruan tinggi atau masing-masing Wakil Rektor bidang terkait yang memutuskan hal tersebut," katanya.

Pria yang juga Ketua Umum DPM FIB UB ini, berharap, dirinya bisa lulus tanpa skripsi. Saat ini, dia sedang menulis jurnal dengan standar nasional yang diharapkan bisa menjadi modal kelulusannya.

"Kalau bisa memang SINTA lebih cepat, bahkan sebelum lulus kita sudah dapat itu, tapi terkait SINTA itu pemeringkatan juga, SINTA A, B, C, D. Kalau memang jurnal saya bisa diakui, ya saya ingin gunakan itu, kalau memang ada banyak cara lain, kenapa kita harus terfokus pada satu cara," katanya.

Sebagai informasi, terkait penerapan Permendikbud Ristek No 53 Tahun 2023 tersebut, Nadiem menegaskan bahwa jenis tugas akhir yang bisa dipilih mahasiswa maupun syarat kelulusan diserahkan kepada setiap kepala program studi (kaprodi) di perguruan tinggi.

Prodi yang bisa menerapkannya ialah prodi yang sudah menerapkan kurikulum berbasis proyek maupun bentuk lain yang sejenis. Sehingga, skripsi bisa diganti bentuk lainnya yaitu prototipe, proyek, maupun bentuk sejenis lainnya.

Sedangkan bagi mahasiswa yang kuliah di kampus yang belum menerapkan kurikulum tersebut, maka syarat lulus mengikuti kebijakan prodi dan kampus.

https://www.kompas.com/edu/read/2023/09/01/131013671/soal-skripsi-tidak-lagi-wajib-apa-kata-mahasiswa

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke