Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Kampanye di Sekolah dan Ilusi Pendewasaan Politik

Langkah itu dilakukan setelah Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan terbaru yang pada intinya mengizinkan peserta pemilu berkampanye di fasilitas pemerintah dan pendidikan dengan beberapa syarat (Kompas.com, 18/8/2023).

Putusan MK Nomor 65/PUU-XXI/2023 yang dibacakan dua hari jelang peringatan HUT RI Ke-78 itu memang membuat sedikit ramai.

Meskipun jika ingin diakui secara jujur, para peserta Pemilu pada periode-periode sebelumnya secara tidak langsung sudah terbiasa ‘masuk’ ke lembaga pendidikan, di antaranya di sekolah.

Namun, agaknya tahun ini mereka bisa masuk benaran. Terang-terangan, tidak perlu malu-malu.

Ada pandangan bahwa kampanye di lembaga pendidikan — yang katanya dengan catatan tata caranya diatur — menjadi momentum untuk pendewasaan politik.

Namun, untuk saat ini harapan pendewasaan politik dengan menghadirkan kampanye di sekolah maupun kampus hanyalah ilusi belaka.

Terlalu jauh jika pendewasaan politik itu harus dilakukan dengan mengorbankan lembaga yang selama ini dijaga dari tarik-menarik kepentingan politik praktis.

Padahal jalan utama melahirkan pendewasaan politik itu adalah keteladanan dari para aktor-aktor politik tersebut.

Pertanyaannya, apa yang selama ini mereka pertontonkan kepada generasi muda bangsa yang sedang menuntut ilmu di berbagai lembaga pendidikan itu?

Beda pilihan berakhir pemecatan. Saat koalisi selalu terlihat bersatu, pecah koalisi tak pernah menahan diri untuk terus berseteru. Hari ini berteman, besok menjadi lawan.

Saat berlawanan saling menjatuhkan, saat berbagi kursi saling memuji. Belum lagi soal janji-janji yang tidak ditepati. Kaderisasi basa-basi. Kabar-kabar tentang korupsi.

Agaknya itulah sekelumit pandangan kita atas apa yang tertayang dan menghiasi kehidupan selama ini.

Pemimpin dan para politisi negeri hari ini sepatutnya menyadari, tanpa menghadirkan kampanye di sekolah saja kondisi masyarakat sudah terpolarisasi.

Lantas, apakah tega andai polarisasi ini ikut-ikutan tumbuh subur di dalam ruang-ruang kelas sekolah? Apakah pendidikan tidak berduka jika perseteruan-perseteruan menggeliat di antara para guru?

Di tengah situasi demikian, sekolah akan berpotensi menjelma menjadi dua kategori. Pertama, sekolah akhirnya menjadi tim sukses. Memihak kepada yang satu sekaligus ‘menyepak’ yang lainnya. Kedua, sekolah menjadi lembaga pragmatis.

Padahal para pendidik dan orangtua saat ini sedang berjibaku untuk melahirkan sekolah yang sehat dan menghadirkan Profil Pelajar Pancasila di tengah masih maraknya aksi tawuran, perilaku (cyber) bullying, dan bentuk-bentuk degradasi moral lainnya yang sedang menyusupi ke perilaku anak-anak.

Tanpa menghadirkan kampanye di sekolah saja, tidak sedikit guru harus menjadi korban kebijakan pimpinan daerahnya. Akibat terendusnya perbedaan pilihan politik saat Pilkada-Pilkada lalu.

Apalagi ketika ada tokoh incumbent yang ikut pertarungan politik. Apalagi ketika ada peserta pemilu yang tinggal di zona sekolah tersebut.

Dan, apalagi di antaranya akhir-akhir ini ada yang lebih sering perhatian dan kadang-kadang memberikan bala bantuan. Kondisi yang tentunya akan membuat sekolah semakin terhimpit. Serba salah. Semakin salah.

Maka, sangat diyakini dengan masuknya kampanye politik praktis secara terang benderang ke sekolah akan membuat para guru tidak nyaman. Lagi-lagi, ketidaknyamanan ini akan terus abadi perjalanannya.

Dengan suasana demikian, beban di pundak guru semakin bertambah. Belum lagi selesai persoalan zonasi yang hadir tiap tahun.

Belum lagi tuntas perjuangan guru honorer untuk meningkatkan status dan pendapatannya. Eh, mereka harus dibebani lagi dengan persoalan-persoalan kampanye politik.

Padahal di tengah kemajuan teknologi saat ini, tidak perlulah melahirkan opsi untuk hadir melakukan kampanye politik di sekolah.

Optimalkan saja kanal-kanal digital yang ada. Andai sudah terkenal, tinggal perkuat kinerjanya. Andai belum terkenal, rajin-rajinlah memperkenalkan diri dengan kerja dan karya.

Kelak ketika terpilih barulah berbuat optimal untuk kemajuan sekolah, para guru serta siswanya.

Hadirkanlah kebijakan-kebijakan yang memihak kepada pembangunan sekolah. Jadikan pendidikan sebagai bagian dari prioritas pembangunan. Tuntaskan persoalan gaji guru.

Perbaiki sarana/prasarana sekolah yang sudah memprihatinkan. Perkuat kegiatan-kegiatan siswa yang bernilai positif.

Lakukan semua ini tanpa harus mempertimbangkan besar - kecilnya sumbangsih suara yang didapatkan.

Nah, bagaimana dengan kampanye di kampus? Biarlah warga kampus termasuk para mahasiswanya yang menjawab apakah tepat atau tidaknya. Andai memang kelak kampanye politik itu terjadi.

Lagi-lagi dengan catatan tata caranya diatur. Sebaiknya diatur juga bagaimana tata kramanya.

Lembaga pendidikan haruslah dipandang sebagai zona suci, karena di sanalah tempat dilahirkan generasi-generasi harapan yang kelak akan melanjutkan perjalanan bangsa.

Sekolah dan kampus haruslah dipandang sebagai rumah agung, karena di sanalah tempat berkiprahnya para pendidik yang senantiasa selalu memberikan dedikasinya — walau di antaranya tidak sedikit yang mencari dan mencuri kesempatan untuk berpolitik praktis.

Akhir kata, jika kita tidak mampu menjaga lembaga-lembaga pendidikan itu, setidaknya jangan membuatnya menjadi tambah rusak.

Dan, kelak kalau memang akhirnya kampanye jadi masuk ke sekolah, agaknya anak-anak libur sajalah…

Setuju?

https://www.kompas.com/edu/read/2023/08/23/054553571/kampanye-di-sekolah-dan-ilusi-pendewasaan-politik

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke