Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Guru Besar Unkris: Naskah Akademik RUU Harus Perhatikan Argumen Filosofis, Sosiologis, dan Yuridis

KOMPAS.com - Guru Besar yang juga Ketua Senat Akademik Universitas Krisnadwipayana (Unkris) Prof. Gayus Lumbuun menegaskan penyusunan naskah akademik Rancangan Undang-Undang (RUU) MPR harus mempertimbangkan argumentasi filosofis, sosiologis dan yuridis.

Tiga argumentasi tersebut penting untuk memastikan bahwa RUU MPR nantinya dapat mengembalikan wewenang, tugas dan fungsi MPR RI berjalan sebagaimana mestinya.

“Hal penting dalam suatu naskah akademik RUU adalah adalah argumentasi filosofis, sosiologis, dan yuridis perubahan atau pembentukan Undang-Undang,” kata Prof. Gayus dalam Rapat Pleno Komisi Kajian Ketatanegaraan MPR RI terkait Rekomendasi Naskah Akademik dan RUU MPR, Kamis (20/7/2023).

Landasan filofis

Secara filosofis, lanjut Prof. Gayus, pembentukan UU tentang MPR merupakan upaya melaksanakan prinsip kedaulatan rakyat atas dasar kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.

Pelaksanaan kedaulatan rakyat ini dilakukan melalui suatu lembaga permusyawaratan rakyat yang mampu mengejawantahkan nilai-nilai demokrasi permusyawaratan yang sesuai dengan tujuan kehidupan dalam berbangsa dan bernegara.

Keberadaan MPR sebagai lembaga permusyawaratan rakyat tidak dapat dilepaskan dari dasar filosofis mengenai kedaulatan. Dasar filosofis ini dapat dilihat dari nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan Pembukaan UUD NRI Tahun 1945.

“Dalam Pancasila filosofi kedaulatan terdapat pada sila keempat Pancasila, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan,” tuturnya.

Landasan sosiologis

Secara sosiologis, tegas Prof Gayus, pembentukan UU MPR dimaksudkan menyesuaikan kebutuhan dan perkembangan dalam kehidupan ketatanegaraa, sehingga MPR mampu menjalankan wewenang dan tugasnya secara efektif, transparan, optimal, dan aspiratif.

Menurut Prof Gayus, kedudukan dan wewenang MPR sangatlah penting dan strategis dalam sistem ketatanegaraan, karena merupakan salah satu lembaga negara yang memiliki peran besar dan menentukan arah kehidupan ketatanegaraan dan kelangsungan bangsa.

Kehadiran MPR dituntut mampu untuk menjawab segala tantangan, perkembangan, dan kebutuhan hukum dalam menjawab segala permasalahan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.


“Terlebih pasca perubahan UUD NRI Tahun 1945, dimana MPR tidak lagi merupakan lembaga tertinggi negara, tetapi menjadi salah satu lembaga negara yang kewenangannya diatur dalam UUD NRI Tahun 1945,” kata Hakim Agung Mahkamah Agung periode 2011-2018 tersebut.

Landasan yuridis

Kemudian landasan yuridis, Prof Gayus memandang bahwa MPR, DPR dan DPD merupakan kelembagaan yang memiliki perbedaan karakteristik, sehingga sebaiknya masing-masing diatur secara tersendiri. Pengaturan yang secara tersendiri ini diperlukan untuk memperkuat kedudukan, fungsi, dan wewenang masing-masing lembaga.

“Sebagai peraturan dasar, pengaturan terkait MPR dalam UUD NRI Tahun 1945 hanya berisikan penjabaran wewenang dan beberapa ketentuan pokok saja. Oleh karena itu, diperlukan undang-undang yang dapat lebih memerinci aturan-aturan pokok dalam UUD NRI Tahun 1945,” tegasnya.

Dalam rapat pleno tersebut Prof Gayus mengusulkan beberapa materi muatan penting yang harus ada dalam UU MPR.

Pertama adalah terkait pengaturan dengan UU itu sendiri. Dalam Pasal 2 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 menyatakan bahwa “MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang”.

Menurut UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan penggunaan kata “dalam undang-undang” dan “dengan undang-undang” memiliki makna yang berbeda.

Dalam undang-undang berarti materinya diatur dalam suatu undang-undang bersama dengan materi muatan lainnya, sehingga menjadi salah satu bagian dari undang-undang. Namun penggunaan kata dengan undang-undang, berarti diatur dengan UU tersendiri yang terpisah dari undang-undang tentang DPR RI dan DPD RI.

Kedua terkait kedudukan dan wewenang MPR. Menurut Prof Gayus, MPR harus dikembalikan kedudukannya sebagai lembaga tertinggi negara, sebagai primus inter pares (first among equals).

Argumentasinya bahwa anggota MPR terdiri dari anggota DPR dan DPD sehingga penggabungan anggota kedua lembaga tersebut seharusnya melahirkan lembaga yang lebih tinggi.

Selain itu, dari segi wewenangnya, MPR memiliki kewenangan untuk memutuskan proses impeachment yang diputuskan oleh DPR dan Mahkamah Konstitusi. Artinya, mestinya didasarkan pada hirarkie yang lebih tinggi membatalkan atau menguatkan putusan lembaga yang lebih rendah.


Ketiga terkait kewenangan dan tugas tambahan. Prof Gayus menilai sebagai lembaga yang berwenang membentuk UUD, maka MPR harus diberi wewenang untuk melakukan interpretasi terhadap UUD 1945.

Keempat terkait sidang tahunan MPR. Bahwa sebagai lembaga negara yang memiliki tugas dan wewenang yang diatur dalam UUD 1945, maka sudah seharusnya MPR melaksanakan sidang tahunan MPR untuk melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan UUD 1945 negara oleh lembaga-lembaga negara lain dan khususnya lembaga pemerintah.

Artinya, MPR juga memiliki fungsi pengawasan sebagaimana halnya DPR. Fungsi pengawasan yang dimiliki MPR adalah mengawasi pelaksanaan UUD 1945 oleh DPR, Presiden dan Mahkamah Agung.

Kelima terkait penyusunan PPHN. Menurut Prof Gayus, dalam UUD 1945 MPR juga berwenang menetapkan UUD dan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Konsep baru GBHN adalah Pokok-Pokok Haluan Negara.

“Saya sangat sepakat bahwa penguatan MPR diwujudkan dalam penguatan wewenang, termasuk menetapkan Pokok-Pokok Haluan Negara,” katanya.

Usulan kewenangan baru MPR

Usulan penting lainnya adalah terkait wewenang MPR. Prof Gayus mengusulkan dua tambahan wewenang baru MPR selain wewenang yang sudah ada, yakni wewenang memberikan tafsir konstitusi, dan menetapkan peraturan MPR.

Sebelumnya MPR telah memiliki 6 wewenang yakni mengubah dan menetapkan UUD 1945, Lalu terkait tugas MPR, dalam revisi UU tentang MPR, Prof Gayus mengusulkan 5 tambahan tugas MPR yakni memasyarakatkan Pancasila, UUD 1945, NKRI, Bhinneka Tunggal Ika, Ketetapan MPR Sementara dan Ketetapan MPR.

Lalu mengevaluasi dan meninjau mengevaluasi dan meninjau pelaksanaan Ketetapan MPR Sementara dan Ketetapan MPR, menetapkan pokok-pokok haluan negara, memberikan keterangan yang bersifat penafsiran terhadap UUD 1945 dalam pengujian UU terhadap UUD oleh MK dan menyelenggarakan sidang tahunan.

Dalam usulan naskah akademik RUU MPR, Prof Gayus juga memberikan masukan terkait alat kelengkapan MPR, mekanisme pemberhentian pimpinan MPR, dan kode etik anggota MPR.

https://www.kompas.com/edu/read/2023/07/21/183542371/guru-besar-unkris-naskah-akademik-ruu-harus-perhatikan-argumen-filosofis

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke