Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Ketika Kampus Menggunakan ChatGPT

Dalam laman CNN dilaporkan bahwa mahasiswa dapat mengenali tulisan tersebut merupakan hasil AI karena di bagian penutup surel ada kalimat: “Parafrase dari model bahasa AI ChatGPT OpenAI, komunikasi pribadi, 15 Februari 2023,” dengan font lebih kecil.

Bagian itu tak dihilangkan oleh staf kampus sebagai pengirim. Surel tersebut memicu kehebohan. Kampus dianggap melegalkan penggunaan AI walaupun pimpinan UV menyatakan cara penyampaian berita tersebut tak sesuai mekanisme alias melanggar prosedur.

Secara akademis, mahasiswa menilai sebagai kesalahan fatal (serious academic error). Tak hanya pengirim surel yang ditegur, pimpinan UV menyatakan bahwa penandatangan surel, yaitu dekan dan asisten dekan tak bertanggung jawab menyusul protes keras dari para mahasiswa.

Sementara secara institusional, pihak UV meninjau kebijakannya untuk perbaikan pola distribusi informasi. Salah satu penandatangan email tersebut mengakui penggunaan ChatGPT sebagai "cara yang buruk”.

Karena itu, UV akan memperbaiknya dengan mekanisme berlapis sebelum suatu informasi dikirim. UV berargumen administrator universitas harus mengetahui semua naskah yang akan dipublikasikan sebelum sampai ke mahasiswa atau pihak lain.

Heboh ChatGPT

Aplikasi ChatGPT viral dengan jumlah pengguna meningkat. Dalam tulisannya di laman Forbes, Martine Paris menyajikan data pengguna aktif ChatGPT mencapai puluhan juta orang sejak dirilis menjelang akhir 2022.

Kini, jumlah akses ChatGPT melampaui 100 juta pengguna aktif per bulan. Sementara value creation aplikasi heboh ini mencapai 1 triliun dolar AS sesuai studi UBS. UBS adalah perusahaan perbankan investasi dan jasa keuangan berkantor pusat di Swiss.

ChatGPT merupakan instrumen cerdas yang mampu menjawab pertanyaan pengguna dengan benar. Instrumen ini juga sebagai sumber informasi tentang cara atau metode untuk mengatasi tuntutan akademik, misalnya, berupa penulisan karya ilmiah.

Dalam menulis makalah dan tugas akhir berupa skripsi, tesis, atau disertasi mahasiswa dapat menemukan isu yang sedang menjadi trending-topic sehingga layak dibahas atau diteliti dan kemudian menuliskannya dengan bantuan ChatGBT. Kalangan pendidik khawatir, pelanggaran etika bakal merajalela karena karya ilmiah dapat ditulis menggunakan mesin tanpa risau terjerat tuduhan plagiat.

Hampir semua universitas menggunakan software untuk mengindentifikasi plagiarisme. Namun, hasil ChatGPT ternyata lolos uji plagiat relatif lebih mudah. Padahal jika ditulis sendiri bisa mencapai puluhan persen mirip dengan karya lain yang telah dipublikasikan.

Perguruan tinggi menetapkan standar persentase kemiripan naskah berdasar hasil assessment dari perangkat yang digunakan. Standar tersebut adalah similarity index sebagai alat ukur plagiarisme. Angka kemiripan umumnya ditetapkan maksimal sebesar 25 persen untuk tugas akhir atau 20 persen untuk makalah.

Namun, software pelacak plagiarisme memiliki kelemahan. Mahasiswa dapat menyunting atau cari akal lain sehingga lolos tudingan plagiat. Software pun tak mampu melawan karya akademik hasil terjemahan dari Bahasa Inggris atau bahasa lain ke Bahasa Indonesia.

Penggunaan ChatGPT di kalangan mahasiswa menuai kontroversi. Secara normatif, karya akademik harus dibuat mandiri namun tetap menyebut sumber kutipan yang digunakan. Tanpa menyebut sumber kutipan bisa dianggap plagiarisme. Termasuk terkategori plagiat jika karya dibuat menggunakan alat bantu seperti ChatGPT.

Karena itu, berbagai perguruan tinggi berupaya mengatasi penggunaan ChatGPT atau instrumen sejenis di kalangan sivitas akademika.

Salah satu PT tersebut adalah Universitas Standford yang merilis pendeteksi karya tulis akademik hasil AI berupa software bernama DetectGPT (lihat: hai.stanford.edu/news/human-writer-or-ai-scholars-build-detection-tool).

Sebagai universitas terkemuka, Stanford berupaya mengembangkan metode pendeteksi bertujuan menghilangkan kebiasaan menulis karya dengan alat bantu. Kebiasaan ini harus diberantas karena bersifat destruktif bagi upaya peningkatan mutu lulusan pendidikan tinggi.

Dengan aplikasi yang dibuat, Universitas Stanford dapat mengembangkan metode lebih akurat. Cara kerja metode Stanford berdasarkan prinsip mekanis bahwa teks yang dihasilkan oleh mesin umumnya tak berada jauh dari wilayah pencarian (searching) subjek tertentu di internet.

Dengan prinsip mekanistis berdasarkan informasi di internet, mahasiswa atau bahkan dosen yang menulis makalah atau karya akademik lain menggunakan chatbot dapat diketahui lebih mudah. Metode yang dikembangkan Universitas Stanford boleh jadi akan diadopsi perguruan tinggi lain.

Salah satu keunggulan metode DetectGPT adalah lebih efektif membedakan atau mendeteksi gaya (style) penulisan karya ilmiah yang ditulis manusia ataukah oleh mesin. Pendekatan pembelajaran (learning approach) berbasis DetectGPT dari Stanford adalah zero-shot atau zero-learning.

Maknanya adalah penggunaan software dapat dilakukan lebih praktis tanpa membutuhkan data/informasi tambahan atau pelatihan untuk menguasai sistem. Dengan metode Stanford, para dosen atau pengajar diharapkan dapat mengenali atau mendeteksi naskah hasil mesin lebih mudah.

Deteksi dapat dilakukan tanpa harus mengetahui alat kecerdasan yang digunakan untuk menghasilkan naskah tersebut. Hasil uji coba para ilmuwan yang menggunakan kumpulan data dari beberapa naskah menunjukkan perangkat lunak dari Stanford akurat (95 persen) dan lebih unggul dibandingkan metode lain yang telah mendeteksi naskah hasil ChatGPT.

Para ilmuwan Universitas Standford mengklaim peningkatan kinerja substansial yakni kemudahan deteksi lebih efektif. Berbagai bentuk kecurangan atau kebohongan bakal ditepis. Sementara penyusunan karya ilmiah tak perlu ditulis menggunakan tangan di atas kertas seperti masa lalu namun mengandalkan kejujuran.

Di dunia akademik, kejujuran merupakan prioritas untuk ditegakkan. Jangan bohong atau berbuat curang dalam menulis. Tulislah semua bentuk informasi dengan hasil olah pikir sendiri. Jika tidak, nanti menyesal seperti telah dialami UV.

https://www.kompas.com/edu/read/2023/03/02/171803771/ketika-kampus-menggunakan-chatgpt

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke