Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Tren Hustle Culture, Psikolog UGM: Budaya Gila Kerja yang Bisa Berbahaya

KOMPAS.com - Tren hustle culture kini tengah populer di kalangan generasi muda sebagai bukti produktivitas. Lalu, apa itu hustle culture? Apakah memang keren atau justru berbahaya?

Psikolog Universitas Gadjah Mada (UGM), Indrayanti mengatakan bahwa hustle culture merupakan sebuah istilah yang berkembang dari workaholic atau gila kerja.

Ia menjelaskan, hustle culture ini kian populer seiring dengan berkembangnya media sosial.
Banyak orang membagikan pencapaiannya melalui media sosial. Bila informasi ditelan begitu saja, pencapaian orang lain bisa semakin memupuk perasaan insecure dan akhirnya timbul rasa membandingkan diri dengan orang lain.

“Penyebab menjadi hustle culture ini karena melihat orang lain. Apalagi dengan medsos, orang posting prestasi di medsos jadi mudah membandingkan diri dengan orang lain. Dampaknya ke isu kesehatan mental,” urainya.

Hidup untuk kerja, bukan kerja untuk hidup

Kondisi membandingkan pencapaian dengan orang lain, bisa membuat seseorang merasa bersalah bila tidak produktif.

“Melihat kondisi kerja yang situasinya pada workaholic akhirnya kepikiran, ada racun di pikiran. Jangan-jangan yang disebut produktif yang harus kerja keras, lembur, dan akan merasa bersalah jika gak kaya gitu,” paparnya dilansir dari laman UGM.

Pada akhirnya, terang Indayanti, generasi muda melihat produktivitas seperti yang kebanyakan terlihat di media sosial, yakni yang kerja keras dan terus melakukannya agar tidak tertinggal.

“Kalau orang lain kaya gitu berarti produktif itu yang kerja keras, lembur sampai malam, bawa laptop sampai tiga. Jika tidak melakukan hal seperti itu lantas menjadi insecure,” imbuhnya.

Indayanti mengatakan, hustle culture kini menjadi fenomena gaya hidup atau budaya untuk terus bekerja sementara hal lain dikesampingkan.

“Hustle culture itu mindsetnya kita hidup untuk kerja yang lain entar dulu. Bukan kerja untuk hidup,” terang dosen Fakultas Psikologi UGM ini.

Sulit menemukan work life balance

Indrayanti menyebutkan bahwa seringkali orang tidak menyadari jika telah terseret dalam arus hustle culture karena telah menjadi bagian dari kebiasaan sehari-hari.

Ada ciri-ciri yang bisa dikenali dari hustle culture.

Salah satu cirinya adalah terus memikirkan pekerjaan di setiap waktu dan tempat. Sehingga terjadi ketidakseimbangan antara kehidupan kerja dan kehidupan pribadi.

“Tidak sempat untuk memikirkan kebahagiaan sendiri, work life balance-nya tidak ada,” ucapnya.

Termasuk jarang merasa puas terhadap apa yang telah dikerjakan, merasa masih ada yang salah dan harus terus bekerja agar sempurna.

“Dalam pikiran itu harus keras bekerja, bukan bekerja keras dengan strategi. Ambisius untuk terus aktif sehingga tidak peka dengan sinyal-sinyal dalam tubuhnya hingga saat banyak stresor masuk tubuhnya ambruk, stres, burnout, terjadi kelelahan psikologis,” tuturnya.

Berhenti membandingkan diri dengan orang lain

Indrayanti berpesan agar generasi muda perlu untuk tetap terkoneksi secara riil dengan lingkungan dan berkolaborasi.

Dengan langkah tersebut bisa membuka pikiran masing-masing dan mengetahui jika fenomena yang terjadi tidak hanya dihadapi dirinya sendiri tetapi juga oleh orang lain.

Dengan begitu, perasaan untuk selalu membandingkan diri dengan orang lain bisa ditekan dan mencari solusi dengan berkolaborasi untuk kebermanfaatan masyarakat dan bangsa.

https://www.kompas.com/edu/read/2023/01/05/153130171/tren-hustle-culture-psikolog-ugm-budaya-gila-kerja-yang-bisa-berbahaya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke