Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Saat Anak-anak Penghayat di Solo Tak Terfasilitasi Pendidikan Kepercayaan...

SOLO, KOMPAS.com – Siang itu di pertengahan Agustus 2022, Nurjati Ganendra (8) terlihat lesu. Wajahnya murung. Ketika disapa, dia memalingkan muka.

Yakin sang anak memiliki masalah sepulang sekolah, Sri Purwaningsih (33) pun kemudian mendekatinya. Tapi Nendra, sapaan akrab Ganendra, tak mau langsung bercerita.

Sri enggan memaksa. Dia lalu mengadukan kondisi Nendra kepada suaminya, Tri Suseno (42) sehabis kerja.

Baru setelah makan malam bersama, Sri dan Seno menyaksikan Nendra menangis. Ini terjadi setelah Seno bertanya kepada jagoannya itu mengapa muram seharian. Nendra akhirnya menceritakan masalahnya.

Dari situ, Sri dan Seno mendapati putranya meneteskan air mata karena sempat diminta memimpin doa saat mengikuti pelajaran Agama Kristen oleh sang guru.

Nendra sedih lantaran sebenarnya tak mau melakukannya, tapi tak kuasa untuk langsung bicara.

Malu dengan teman-teman di kelas

Dia mengaku tak bisa melafalkan dengan baik doa agama Kristen berupa runtutan kalimat dengan memohon kebaikan kepada Tuhan Yesus atau Bapa.

Nendra malu dengan teman-temannya di kelas yang tak tahu jika dia sebetulnya adalah penghayat Kepercayaan.

Sebagai anak penghayat Kepercayaan Sapta Darma, Nendra bagaimanapun tak familier dengan doa agama Kristen. Sebab, dia punya cara berdoa sendiri.

Dalam Kepercayaan Sapta Darma, Nendra saben hari diajarkan untuk melafalkan “Allah yang Maha Agung, Allah yang Maha Rahim, Allah yang Maha Adil” sebagai doa di berbagai kesempatan.

Ini termasuk ketika dia hendak atau selesai belajar.

“Intinya dia bingung, kenapa harus ikut pelajaran Agama Kristen dan belum tahu cara untuk menjelaskan ke teman-temanya kalau dia seorang penghayat,” ucap Seno saat menceritakan persoalan yang pernah dialami Nendra kepada Kompas.com, Sabtu (10/9/2022).

Nendra diketahui sehari-hari bersekolah di SDN Gambirsari, Banjarsari.

Menurut Seno, anaknya sudah dua tahun ini terpaksa mengikuti pelajaran agama karena pihak sekolah tak bisa menyediakan tenaga penyuluh Pendidikan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Seno memastikan bahwa sejak awal Nendra masuk sekolah dasar (SD) pada 2019, dirinya telah meminta kepada sekolah untuk dapat memenuhi hak pendidikan anaknya sebagai penghayat Kepercayaan.

Sekolah memberi kebebasan pada siswa dan orangtua

Pada mulanya, Nendra memang sempat terlayani sebagai siswa penghayat Kepercayaan saat duduk di kelas 1. Tetapi, pada praktiknya, Seno dan sang istri lah yang saat itu dipersilakan jadi guru.

Mereka termasuk diminta untuk membikin soal-soal ujian sebagai syarat kenaikan kelas Nendra.

Karena merasa tak terfasilitasi seperti keluarga siswa lain, Seno sempat mengusulkan lagi kepada pihak sekolah untuk mengadakan guru Pendidikan Kepercayaan ketika Nendra hendak naik ke kelas 2.

Namun, pengelola sekolah saat itu tak bisa juga merealisasikan harapannya.

Sekolah tak punya solusi selain meminta kepada Seno atau Sri untuk menjadi guru atau mencari sendiri orang lain yang bisa menjalankan tugas itu jika ingin Nendra menerima Pendidikan Kepercayaan.

Dengan berbagai pertimbangan dan keterbatasan, Seno yang sehari-hari bekerja sebagai guru matematika di sebuah SMP itu akhirnya pasrah membolehkan Nendra ikut pelajaran Agama pada kelas 2.

Dalam prosesnya, dia lebih dulu diminta untuk membuat surat pernyataan memberi izin putranya mengikuti Pendidikan Agama dari sekolah.

Tak mau membebani sang anak, Seno membebaskan kepada Nendra untuk memilih pelajaran agama mana yang dirasa paling nyaman.

Nendra sempat mengikuti Pendidikan Agama Hindu sebelum pindah ke Agama Kristen sekarang.

Berharap pemerintah sediakan tenaga penyuluh Pendidikan Kepercayaan

Dengan kejadian yang dialami anaknya belum lama ini, warga RT 002/RW 020 Kelurahan Nusukan, Banjarsari itu sangat berharap pihak sekolah atau Pemerintah Kota (Pemkot) Solo bisa benar-benar mengupayakan penyediaan tenaga penyuluh Pendidikan Kepercayaan sesegera mungkin.

Seno menyampaikan pemenuhan hak pelajar penghayat Kepercayaan padahal sudah diatur sejak 2016.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) RI Anies Baswedan saat itu mengesahkan Permendikbud No. 27 Tahun 2016 tentang Layanan Pendidikan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa pada Satuan Pendidikan.

Permendikbud tersebut mengatur pemenuhan hak pelajar penghayat kepercayaan mendapat pendidikan sesuai keyakinan yang dianutnya, alih-alih dipaksa mengikuti pelajaran salah satu agama.

Pasalnya, Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa berbeda dengan enam agama yang diakui pemerintah Indonesia.

Maka dari itu, pendidikan spiritualitas dan budi pekerti yang didapat para pelajar penghayat Kepercayaan sudah sewajarnya berbeda.

Menurut Permendikbud Nomor 27 Tahun 2016, Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah pernyataan dan pelaksanaan hubungan pribadi dengan Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan keyakinan yang diwujudkan dengan perilaku ketakwaan dan peribadatan terhadap Tuhan Yang Maha Esa serta pengamalan budi luhur yang ajarannya berasal dari kearifan lokal bangsa Indonesia.

Jadi kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa berasal dari keyakinan yang diwariskan para leluhur berbagai suku bangsa di Indonesia.

Dengan ini, penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa didefinisikan sebagai setiap orang yang mengakui dan meyakini nilai-nilai penghayatan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Sedangkan pelajar penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah peserta didik pada pendidikan formal jenjang pendidikan dasar dan menengah serta pendidikan kesetaraan yang menyatakan dirinya sebagai penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Seno menuturkan bisa jadi Nendra saat ini adalah satu-satunya siswa di Solo yang memiliki identitas sebagai penghayat Kepercayaan. Jika pun ada yang lainnya, jumlahnya diyakini sangat sedikit.

Padahal dia melihat ada banyak penghayat lain yang juga memiliki anak usia sekolah. Di paguyuban Sapta Darma di Solo sendiri, setahu dia, ada 17 keluarga yang memiliki anak usia sekolah.

Ini berarti jumlahnya bisa lebih banyak jika dihitung dengan keberadaan penghayat Kepercayaan dari paguyuban lain.

Dia meyakini belum terpenuhinya hak pendidikan bagi pelajar penghayat Kepercayaan di Solo turut menjadi penyebab para orang tua penghayat di Kota Bengawan selama ini enggan mencantumkan identitas sang anak sebagai penghayat.

Di mana, kata Seno, para orang tua bisa jadi khawatir ketika anak-anak tertulis sebagai penghayat Kepercayaan, hak-hak mereka justru jadi tidak dipenuhi oleh negara.

Seno merasa situasi ini sungguh merugikan para penghayat Kepercayaan. Lebih jauh, hal itu dikhawatirkan dapat mengikis eksistensi atau keberadaan penghayat Kepercayaan yang juga berperan menjadi pelestari nilai-nilai budaya luhur yang dianut oleh nenek moyang bangsa Indonesia.

“Kepada Pemkot, di sini ada warga penghayat. Meskipun sangat minoritas, mohon kami bisa terlayani juga. Untuk saat ini, mungkin baru anak saya yang menjadi pelajar penghayat. Meski cuma ada satu siswa, mohon bisa diupayakan pemenuhan hak pendidikannya karena itu adalah hak dasar bagi anak-anak,” ucap Seno ketika ditemui di Sanggar Candi Busana (SCB) Cengklik, Nusukan.

Dia pun yakin jika Nendra sudah terpenuhi hak pendidikannya, akan ada lebih banyak orang tua penghayat Kepercayaan lain yang mau membuka diri kepada masyarakat.

“Mungkin kalau keluarga saya sudah terfasilitasi, mereka baru ikut bergabung mengurus perubahan identitas anak sebagai penghayat. Yang ada sekarang kan mereka mungkin berpikir, ‘Ah mas Seno saja sudah bacut ngene (anak ber-KTP penghayat), Nendra ae masih dilayani dengan (Pendidikan) Agama. Pada wae’. Jadi teman-teman penghayat kurang percaya diri, kurang bersemangat. Berpikirnya jadi mengurus KTP Kepercayaan malah bikin repot,” ungkap dia.

Dialami penghayat Kepercayaan yang lain

Keluhan Seno dirasakan juga oleh Sumarno (48), seorang penghayat Kepercayaan Sapta Darma asal RT 001/RW 005 Kelurahan Timuran, Banjarsari.

Tahu sang anak tak akan terfasilitasi guru khusus Pendidikan Kepercayaan di sekolah, lima tahun lalu dia terpaksa memutuskan untuk mengubah identitas Kepercayaan buah hatinya menjadi beragama Katolik.

Sumarno melakukan itu ketika anaknya hendak didaftarkan masuk ke sekolah taman kanak-kanak (TK) pada 2017. Sang anak kini sudah duduk di bangku SD kelas 4.

“Istri saat itu kasihan ke anak karena belum ada tenaga pembimbing Kepercayaan (di Solo). Kami khawatir nanti ada masalah dengan pendidikannya jika tetap tercatat jadi penghayat,” ucap dia.

Jika boleh memilih, Sumarno menyatakan, dirinya jelas berharap anaknya sedari awal dapat terpenuhi hak pendidikannya sebagai penghayat Kepercayaan. Tetapi, setahu dia, di Solo bahkan belum tersedia tenaga penyuluh Pendidikan Kepercayaan hingga sekarang.

Sumarno yakin ada orang tua penghayat lain di Solo yang memiliki keputusan serupa dirinya.

Karena khawatir hak-haknya tak terpenuhi pemerintah, kata dia, para penghayat akhirnya masih mempertahankan atau terpaksa mengubah identitas dengan agama.

Dia berpendapat pertimbangan orang tua di Solo tidak menjadikan identitas anak sebagai penghayat saat ini bukan lagi terkait dengan kekhawatiran mendapat diskriminasi di lingkungan masyarakat.

Sumarno merasa tingkat toleransi warga Solo kini sudah tinggi.

“Pemkot mungkin sudah baik dalam memfasilitasi layanan administrasi kependudukan bagi kami, para penghayat. Tapi, untuk layanan lanjutan, seperti pendidikan untuk anak, kami berharap ada perbaikan,” ungkap dia.

Orang tua penghayat Kepercayaan lain, Nowo Jatmiko (46) juga berharap tidak ada diskriminasi lagi terhadap pemenuhan hak pendidikan bagi pelajar penghayat Kepercayaan di Kota Solo.

"Keberadaan warga penghayat memang masih minoritas sekali di Solo. Tetapi, mohon tenaga pendidik untuk penghayat di sekolah dapat tetap diperhitungkan," tutur warga Kelurahan Penumping, Laweyan itu.

Karena tak tersedia tenaga penyuluh Pendidikan Kepercayaan, Nowo lalu pasrah mengizinkan kedua anaknya mengikuti Pendidikan Agama Kristen di sekolah.

Saat dikonfirmasi, Kepala SDN Gambirsari, Kinaryono, membenarkan belum ada tenaga penyuluh Pendidikan Kepercayaan yang dapat mendampingi Nendra.

Dengan ini, Nendra sementara dipersilakan mengikuti pelajaran Agama.

Disinggung soal upaya penyediaan tenaga penyuluh, dia merasa sekolah tak memiliki kapasitas sejauh itu. Sebab, sekolah punya keterbatasan tenaga dan anggaran.

"Sekolah enggak bisa sejauh itu karena keterbatasan tenaga dan hal ini berhubungan dengan anggaran," kata Kinaryono di ruang kerjanya.

Menurut dia, penyediaan tenaga penyuluh melainkan menjadi kewenangan langsung dari Dinas Pendidikan.

Terkait kebutuhan ini, Kinaryono mengeklaim pihaknya telah sedari awal melapor ke Dinas lewat pengawas sekolah.

Dia tidak tahu pasti mengapa hingga sekarang belum ada tenaga penyuluh Pendidikan Kepercaryaan yang ditugaskan di sekolahnya.

Kinaryono membenarkan solusi yang sempat ditawarkan sekolah ketika belum tersedia tenaga penyuluh adalah membolehkan orang tua penghayat menjadi guru. Menurut dia, hal tersebut tak menyalahi ketentuan.

Awalnya, sekolah lebih dulu mengarahkan orang tua untuk membawa guru sendiri. Ketika orang tua tak bisa, sekolah baru mengizinkan orang tua dari anak penghayat untuk menjadi guru.

Dia menegaskan pihak sekolah tidak pernah memaksa orang tua penghayat untuk mengikutkan anak mereka ke Pendidikan Agama sebagai solusi ketika belum tersedia tenaga penyuluh Kepercayaan.

Jika sampai terjadi, Kinaryono mengatakan, hal itu pasti atas persetujuan orang tua yang dibuktikan dengan surat pernyataan.

"Sekolah sebenarnya fleksibel. Kami tidak mau memaksa orang tua mengarahkan anak untuk mengikuti pelajaran Agama. Kalau mau, orang tua boleh mengajar, bikin soal. Keautetikan soal mungkin enggak bisa 100 persen, tapi daripada tidak (ada nilai)," ungkap dia.

Saat disinggung soal kondisi Nendra baru baru ini menangis setelah diminta memimpin doa dalam pelajaran agama Kristen, Kinaryono menyampaikan permohonan maaf mewakili sekolah.

Karena Nendra telah dibolehkan ikut pelajaran agama Kristen oleh orang tuanya beberapa tahun ini, bisa jadi sang guru beranggapan tak masalah memberi tugas itu. Kepala Sekolah yakin tak ada niat dari guru untuk melakukan diskriminasi.

Demi kebaikan Nendra ke depan, Kinaryono pun mengaku sudah punya rencana untuk menemui atau membangun komunikasi lagi dengan orang tuanya.

Dia ingin menanyakan kembali apakah Nendra akan tetap mengikuti pelajaran agama Kristen seperti sekarang atau kembali seperti saat kelas 1, yakni diajar oleh orang tua. Kinaryono menyampaikan, dirinya tak bisa jika memberi solusi penyediaan tenaga penyuluh dalam waktu dekat.

"Yang kami lihat selama ini enggak ada keluhan dari orang tua siswa (penghayat). Tapi, saya mungkin dalam waktu dekat akan mencoba berkomunikasi dengan orang tua, menangkap harapan-harapan mereka. Kalau mau berlanjut, ya sudah akan berjalan seperti ini," ujar Kinaryono.

Saat disinggung soal relasi siswa penghayat Kepercayaan dengan teman-temannya di sekolah, seorang guru senior di SDN Gambirsari, Suwartini, bersaksi selama ini baik-baik saja.

Guru belum pernah menyaksikan Nendra merasa tidak nyaman di sekolah karena tingkah teman yang bersinggungan dengan identitasnya sebagai penghayat Kepercayaan.

Kepala Dinas Pendidikan (Disdik) Solo, Dian Rineta pada Senin (19/9/2022) juga membenarkan belum tersedia satu pun tenaga penyuluh Pendidikan Kepercayaan di Kota Bengawan yang dapat memberikan pendampingan terhadap pelajar penghayat.

Dia berdalih hal tersebut terjadi karena Pemerintah butuh waktu untuk menyiapkannya.

Dian menganggap keberadaan para pelajar penghayat Kepercayaan termasuk sesuatu yang baru.

Dia memastikan bahwa Pemkot akan berupaya semaksimal mungkin untuk dapat juga memenuhi hak pendidikan bagi siswa penghayat.

“Kami, Pemerintah Kota telah berkomitmen bahwa tidak ada namanya memilah-memilah atau memisah-misahkan orang dengan kondisi tertentu yang sudah legal formal (diakui) secara negara. Memang sudah menjadi hak bagi anak-anak penghayat untuk mendapat pelayanan pendidikan seperti teman-temannya. Hanya memang tahapan dalam pemenuhan ini kami butuh waktu,” ucap Dian.

Berdasarkan catatan Disdik, di Solo kini sudah ada dua pelajar penghayat Kepercayaan. Satu anak duduk di bangku SD -Ganendra-. Sedangkan satunya sudah duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP).

Karena Solo belum memiliki guru khusus untuk siswa penghayat, Dian menyebut, selama ini ada dua opsi yang dapat ditempuh oleh orang tua.

Pertama, orang tua bisa membawa guru sendiri dengan berkomunikasi dengan sekolah.

Kedua, anak-anak dapat mengikuti pembelajaran Agama sesuai pilihan dari sang anak atau orang tua.

“Karena memang kami tidak punya guru khusus penghayat, kami tidak bisa memfasilitasi, kami memberi opsi kepada orang tua untuk membawa sendiri. Kalau tidak ada, kami minta, bagaimana nih, masa enggak ada pelajaran agamanya. Dari beberapa orang tua penghayat yang diajak komunikasi oleh sekolah, karena mungkin juga terkendala anggaran, mereka akhirnya memilih anak mengikuti pelajaran Agama, ada yang Kristen, ada yang Islam,” ucap Dian.

Dia mengatakan beban biaya penyediaan tenaga penyuluh Pendidikan Kepercayaan di sekolah sementara memang harus ditanggung oleh orang tua dari siswa yang bersangkutan. Itu tidak dijangkau oleh dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) maupun anggaran Pemkot.

Menurut Dian, kebijakan itu sama seperti di sekolah inklusi ketika diperlukan guru pendamping khusus (GPK).

Disinggung soal upaya riil yang akan dilakukan oleh Pemkot dalam waktu dekat terkait upaya penyediaan tenaga penyuluh Pendidikan Kepercayaan, dia menjawab, berkomunikasi dengan sejumlah pihak.

Ini termasuk dengan sekolah-sekolah, Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kota (BKPSDM) Solo, Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Solo, hingga Majelis Luhur Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa Indonesia (MLKI) Cabang Solo.

Pemkot juga akan coba berkordinasi dengan Pemerintah pusat, dalam hal ini melalui Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) RI.

“Pengadaan guru khusus penghayat ini kan tak boleh sembarangan juga. Sama seperti untuk (penyediaan) guru Agama. Semua perlu diperhitungkan dengan cermat, bagaimana kompetensinya, bagaimana kebutuhannya, termasuk soal bagaimana pengupahan dan lain sebagainya. Coba nanti kami diskusikan untuk persiapan tahun-tahun mendatang ya,” ucap Dian.

Disinggung soal bagaimana cara Disdik menciptakan lingkungan yang nyaman bagi anak penghayat kepercayaan, dia menjawab, pada prinsipnya tak berbeda jauh dengan yang dilakukan dengan siswa lainnya.

“Kondisi ini (keberadaan siswa penghayat) tidak menjadi masalah. Tidak ada pembedaan anak-anak terkait masalah agama. Anak-anak juga tidak ada yang saling ganggu. Apalagi dengan implementasi kurilulum Merdeka sekarang, di mana profil pelajar pancasila sudah mewadahi,” ucap Dian.

Kekhawatiran jumlah penghayat turun

Sementara itu, orang tua penghayat Tri Suseno mengaku sudah berkoordinasi dengan pengurus Majelis Luhur Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa Indonesia (MLKI) Cabang Solo untuk membantu mengupayakan penyediaan tenaga penyuluh Pendidikan Kepercayaan bagi anaknya.

Dia berharap MLKI dapat mendorong Pemkot untuk memenuhi hak pendidikan anak-anak penghayat, sebagaimana anak-anak lainnya.

Saat dimintai tanggapan, Sekretaris MLKI Solo, Gress Raja membenarkan di Kota Bengawan belum sama sekali tersedia tenaga penyuluh Pendidikan Kepercayaan yang bisa mendidik pelajar penghayat.

Dia mengaku sudah menerima masukan atau aduan dari sejumlah penghayat terkait pentingnya penyediaan tenaga pendidik khusus penghayat ini.

Gress Raja pun memastikan bahwa pengurus MLKI siap membantu merealisasikannya untuk tahun ajaran baru mendatang.

Menurut dia, pengurus MLKI Solo kini sedang berada di tahap berkoordinasi dengan pengurus di masing-masing organisasi penghayat Kepercayaan guna menemukan anggota yang dapat dipersiapkan menjadi tenaga penyuluh.

"Di beberapa organisasi, secara kompetensi sudah ada yang masuk (layak) menjadi kandidat penyuluh. Mungkin di Solo, paling enggak kami mencari satu tenaga penyuluh dulu dalam waktu dekat. Prioritasnya adalah dari Sapta Darma karena sudah ada pelajar penghayat dari sana," tutur Gress Raja.

Dia membenarkan, berdasarkan data MLKI, baru sedikit anak yang tercatat sebagai pelajar penghayat Kepercayaan.

Gress Raja mengatakan diharapkan akan tersedia tenaga penyuluh Pendidikan Kepercayaan yang dapat mewakili setiap organisasi penghayat. Ini penting karena 30 persen porsi materi Pendidikan Kepercayaan adalah terkait ajaran dari paguyuban si anak.

"Jadi Pendidikan Kepercayaan itu 70 persen nanti terdiri atas materi Kepercayaan secara umum, 30 persen terkait ajaran paguyuban anak. Nah, biar saat mengajar 30 persen ini enggak ada persoalan, kami upayakan tersedia tenaga penyuluh dari 11 paguyuban," ujar dia.

Gress Raja menerangkan, setelah mendapat nama-nama kandidat tenaga penyuluh Pendidikan Kepercayaan dari organisasi penghayat, pengurus MLKI akan melapor ke Dinas Pendidikan (Disdik) Solo. Dalam upaya penyediaan penyuluh Pendidikan Kepercayaan ini, dia pun berharap, Pemkot dapat proaktif memfasilitasi.

"Bahkan tanpa kami minta, Pemerintah semestinya punya inisiatif program penyediaan tenaga pendidik ini. Untuk menjadi penyuluh, individu kan perlu difasilitasi kepemilikan sertifikat mengajar, surat izin dan tugas mengajar, hingga rutin mengikuti bimbingan teknis kependidikan selayaknya guru lainnya," ungkap dia.

Gress pun yakin belum tuntasnya pemerintah dalam memenuhi hak-hak sipil penghayat Kepercayaan di Solo turut menjadi penjegal niat warga mengubah kolom agama di KTP jadi penganut Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Di Solo, dia menuturkan, dari ratusan penghayat Kepercayaan, baru ada 40-an yang sudah berganti KTP. Gress khawatir jumlahnya terus turun ke depan jika hak-hak penghayat tidak juga dipenuhi.

"Jadi mayoritas KTP para penghayat masih beridentitas agama, padahal sehari-hari tidak menjalankan ajaran agama. Ini merupakan pilihan karena KTP terkait dengan administrasi kependudukan dan banyak hal lainnya, termasuk akses pendidikan,” ucap dia.

Gress menyampaikan jumlah organisasi penghayat di Kota Solo sendiri terus anjlok. Menurut dia, pada 2016 jumlahnya 20, pada 2019 menjadi 12, dan pada 2022 tinggal 10 organisasi.

Kesepuluh organisasi atau paguyuban penghayat Kepercataan itu, yakni Pangarso Budi Utomo Roso Manunggal Jati, Pelajar Kawruh Jiwa, Panunggalan, Sapta Darma, Pangudi Kerohaniaan Mahayana, Papandayan (Pancasila Handayaningratan), Perwatin (Persatuan Warga Teosofi Indonesia), Purnomosidi, Paguyuban Kawruh Kodrating Pangeran, dan Pranajati.

Pengamat: kawal RUU Sisdiknas!

Saat dimintai komentar, Dosen Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS) UGM, Samsul Maarif menyebut Kota Solo ketinggalan jika sampai sekarang belum juga menyediakan tenaga penyuluh Pendidikan Kepercayaan.

Tapi, menurut Anchu, sapaan akrab Samsul Maarif, banyak daerah lain di Indonesia juga memiliki kondisi serupa.

Di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sendiri, menurut dia, upaya pemenuhan hak pendidikan bagi penghayat kepercayaan masih belum optimal.

Di DIY, ada enam sekolah dari tingkat SD hingga SMA/SMK yang sudah melayani pendidikan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Anchu menuturkan secara umum ketidaksiapan Dinas Pendidikan di tingkat provinsi dan kabupaten atau kota hingga sekolah dalam memberikan layanan pendidikan kepercayaan itu karena belum ada kebijakan yang solid dan tegas mengikat.

“Dari sisi kebijakan, Permendikbud (No. 27 tahun 2016) itu belum kuat. Terlihat semangat pemerintah untuk memenuhi hak para penghayat, tetapi ada banyak hal yang tidak bisa terakomodasi jika dasarnya hanya Permendikbud,” pendapat dia saat diwawancarai melalui sambungan telepon.

Apabila negara serius hadir ingin memberikan hak pendidikan bagi para penghayat, Anchu mengusulkan, seharusnya kebijakan yang dikeluarkan sama dengan pemberian layanan pendidikan agama resmi yang diatur Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) No. 20 Tahun 2003 dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan.

Di mana, kedua peraturan ini tegas mewajibkan pelaksana pendidikan di Indonesia, dalam hal ini Disdik daerah dan masing-masing sekolah, melayani pendidikan agama.

PP No. 55 Tahun 2007 mengatur dengan jelas dan detail segala perangkat yang dibutuhkan dalam pelaksanaan pendidikan agama dan pendidikan keagamaan. Ini mulai dari ketersediaan ruang belajar khusus, tenaga pendidik, hingga insentif tenaga pendidik.

Sementara keberadaan Permendikbud No. 27 Tahun 2016 tentang Layanan Pendidikan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa pada Satuan Pendidikan tidaklah memiliki kekuatan mengikat sebagaimana dua aturan itu.

Hal ini, menurut Anchu, berpotensi menyebabkan Disdik kota kabupaten hingga sekolah tidak kunjung siap memberikan layanan pendidikan Kepercayaan.

Dia pun mengabarkan, layanan Pendidikan Kepercayaan yang sudah terlaksana di beberapa daerah pada kenyataannya hampir pasti terjadi karena penghayat proaktif.

Padahal seharusnya sekolah yang siap duluan memberikan layanan tersebut.

Anchu beranggapan bukan merupakan sebuah solusi ketika orang tua penghayat diberi opsi berupa sang anak bisa atau boleh mengikuti Pendidikan Agama karena belum tersedia tenaga penyuluh, seperti yang terjadi di Solo.

Menurut dia, jika melakukan hal itu, pemerintah justru bisa dikatakan telah melanggar HAM.

Solusi jangka pendeknya adalah Pemerintah harus menyediakan tenaga penyuluh Pendidikan Kepercayaan sesegera mungkin dalam rangka memenuhi hak asasi semua warga negara.

Anchu menagatakan, Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat Kemendikbud Ristek RI adalah instansi pemerintah yang punya mandate untuk penyediaan tenaga penyuluh.

Untuk penyedaiaan tenaga penyuluh di daerah, pemerintah kota atau kabupaten maupun MLKI dapat berkoordinasi dengan Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat.

“Kasus anak penghayat ikut Pendidikan Agama terjadi di banyak tempat. Padahal kalau dikatakan sebagai kesepakatan, situasi psikologis orang tua saya yakin sebenarnya terpaksa. Dia tak ada pilihan lain. Orang tua kepepet menerima agar anak bisa sekolah kemudian. Padahal itu bisa berdampak pada generasinya. Anak penghayat itu nanti kalau belajar agama, dia makin jauh dari identitasnya. Jadi, sesungguhnya itu bukan solusi. Itu melainkan adalah bentuk pelanggaran HAM,” ucap dia.

Anchu menyampaikan jika Pendidikan Kepercayaan diatur dalam UU Sisdiknas atau minimal Peraturan Pemerintah seperti Pendidikan Agama secara umum, dirinya yakin tidak ada alasan bagi sekolah atau Dinas Pendidikan untuk tidak siap atau belum siap dalam penyelenggaraannya.

Penulis buku "Pasang Surut Rekognisi Agama Leluhur dalam Politik Agama di Indonesia" itu menambahkan, sebaiknya masyarakat Indonesia, khususnya penghayat kepercayaan tidak hanya puas dengan keberadaan Permendikbud No. 27 Tahun 2016 yang pada praktiknya masih diskriminatif.

"Ada ruang penting dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Sisdiknas yang mesti kita kawal bersama, memperjuangkan layanan Pendidikan Kepercayaan agar ke depan pelaksanaannya bisa ideal seperti layanan Pendidikan Agama," seru dia.

https://www.kompas.com/edu/read/2022/09/24/125130871/saat-anak-anak-penghayat-di-solo-tak-terfasilitasi-pendidikan-kepercayaan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke