Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Mahasiswa S3 ITB Teliti Rumah Majapahit Trowulan

KOMPAS.com - Meski dikenal sebagai kampus teknik, Institut Teknologi Bandung (ITB) ternyata juga mengkolaborasikan penelitian ilmiah dengan budaya yang ada di masyarakat sekitar.

Seperti yang dilakukan Sekolah Arsitektur Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan (SAPPK) ITB telah mengembangkan inovasi dalam penelitian pelestarian cagar budaya.

Tentu terkait dengan perencanaan dan perancangan arsitektur, serta penyusunan kebijakan terkait.

Adapun penelitian dilakukan oleh Mahasiswa Program Doktor Arsitektur ITB Catrini Pratihari Kubontubuh, di bawah bimbingan Prof. Dr.-Ing. Ir. Widjaja Martokusumo selaku Ketua Kelompok Keahlian Perancangan Arsitektur.

Catrini memilih kawasan ibu kota Majapahit di Trowulan, Jawa Timur, untuk menjadi salah satu topik penelitiannya.

Trowulan adalah ibu kota Majapahit, kerajaan terbesar zaman dahulu yang berdiri pada 1293. Trowulan terletak sekitar 50 kilometer barat daya dari Kota Surabaya, Jawa Timur.

Sejak keruntuhan Majapahit pada 1478, Kota Trowulan semakin terbengkalai. Saat ini, sebagian besar obyek cagar budaya berada dalam kondisi tak utuh, bahkan ada yang masih terpendam di bawah lapisan tanah.

"Penduduk Trowulan saat ini merupakan pendatang yang sangat heterogen," ujar Catrini seperti dikutip dari laman ITB, Kamis (20/1/2022).

Menurutnya, permintaan terhadap pelestarian kota sudah dilakukan, tetapi tidak pernah dihiraukan oleh pemerintah. Bahkan seringkali pendapat mereka tidak didengarkan terkait kebijakan pemerintah terhadap kota itu.

Hal ini membuat Catrini tertarik untuk melakukan penelitian di Trowulan. Rumah Majapahit Trowulan yang menarik perhatiannya dan menjadi obyek yang dia pilih dalam penelitiannya.

Dijelaskan, penelitian ini bertujuan untuk pelestarian obyek cagar budaya yang tidak utuh lagi, dan bahkan tidak ada wujudnya lagi di masa kini seperti halnya rumah-rumah dari masa Kerajaan Majapahit di abad ke-13 dan 14. Penelitian ini disebut juga Program Rumah Majapahit.

Program Rumah Majapahit diluncurkan pada 2014. Rekonstruksi rumah dari penelitian yang dimaksudkan bukanlah pembangunan sebuah rumah lengkap, melainkan hanya menambahkan fasad 'autentik' di depan rumah penduduk eksisting.

Dalam program ini penduduk desa ditawari untuk membangun Rumah Majapahit berupa fasad dengan material kayu dan bata merah berukuran 5 x 4 meter persegi.

Program Rumah Majapahit diimplementasikan pada 596 unit rumah secara berkala dalam tiga gelombang yang keseluruhannya dibiayai oleh pemerintah provinsi dan kabupaten.

Namun, kebijakan ini kurang mendapat respons baik dari warga. Bahkan di tahun 2017, rumah banyak yang kosong dan tidak dimanfaatkan oleh penduduk setempat. Lebih parah lagi, ditemukan papan bertuliskan 'Dijual' atau 'Disewakan' di depan beberapa rumah.

Menyikapi hal itu diadakan Focus Group Discussion (FGD) yang pada 26 November-18 Desember 2017 yang lalu dan didapatkan beberapa masukan dari peserta.

Pertama, bujet yang terbatas dan kurangnya proses konsultasi selama pembangunan. Akibatnya, masyarakat tidak bisa melengkapi dengan toilet dan fasilitas yang diperlukan.

Kedua, sebanyak 70 dari 100 peserta FGD menyatakan program dilaksanakan dengan sistem drop down. Sistem itu dinilai tidak mengakomodasi aspirasi masyarakat soal desain dan apresiasi terhadap nilai-nilai budaya lokal atau dapat dibilang kurangnya perhatian autentisitas dan signifikansi budaya dalam praktik-praktik pelestarian Trowulan.

Namun, ketidakberhasilan program itu juga dapat disebabkan kurangnya penanaman tiga konsekuensi penting dalam praktik pelestarian, yakni:

1. Pertama, pelestarian menyangkut sebuah proses untuk mengintegrasikan tiga komponen kunci, yaitu:

  • aspek fisik
  • signifikansi budaya
  • karakter masyarakat lokal

2. Kedua, perubahan dimungkinkan dalam pelestarian dan pelestarian tidak hanya masalah fisik semata, tetapi mencakup aktivitas dan fungsi obyek tersebut, serta pengelolaan perubahan.

3. Ketiga, pelestarian menjadi upaya untuk membentuk dan mengendalikan masa depan.

Pemahaman terhadap nilai-nilai dan aspek non-fisik seperti halnya tradisi dan kearifan budaya setempat sangat diperlukan dalam praktik pelestarian. Pemahaman nilai-nilai budaya lokal dalam tradisi yang hidup merupakan semangat autentisitas.

"Sehingga keterkaitan dengan tempat dapat muncul dan menciptakan hubungan antara aspek non-fisik dan fisik yang selaras," terang Catrini.

https://www.kompas.com/edu/read/2022/01/21/084128571/mahasiswa-s3-itb-teliti-rumah-majapahit-trowulan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke