Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Mitos atau Fakta, Hanya Pria yang Bisa Jadi Chef? Ini Kata Pakar IPB

KOMPAS.com - Juru masak atau chef merupakan profesi yang bisa digeluti siapa saja. Tak hanya dari kalangan perempuan saja, banyak chef handal dari kaum pria juga.

Sebut saja Chef Juna atau Chef Arnorld hanya sedikit dari banyak chef pria yang ada di Indonesia. Banyaknya chef pria ini konon disebabkan perempuan dianggap tidak stabil secara sensori.

Hal ini dijelaskan langsung oleh pakar dari Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian (Fateta) Institut Pertanian Bogor (IPB) IPB University, Prof. Dede Robiatul Adawiyah.

Perbedaan nilai threshold sensori laki-laki dan perempuan

Dia menampik hal itu. Menurutnya, dalam risetnya yang menghitung nilai threshold sensori, ternyata ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan.

"Perempuan ternyata lebih sensitif. Punya kemampuan mendeteksi rasa manis, pada konsentrasi yang lebih rendah, jika dibandingkan dengan laki-laki," ungkap Prof. Dede seperti dikutip dari laman IPB, Rabu (22/12/2021).

Menurutnya, ada kelemahan pada perempuan. Yakni adanya siklus menstruasi maupun kehamilan yang mau tidak mau mempengaruhi sensitivitas seseorang.

"Sehingga di dalam pengujian sensori, ada ketentuan gender. Tidak boleh hanya laki-laki saja atau perempuan saja. Itu harus seimbang," terang Prof. Dede dalam Konferensi Pers Pra Orasi Pengukuhan Guru Besar Tetap IPB University.

Laki-laki tidak terpengaruh siklus metabolisme

Dia menilai, itulah kenapa, hanya laki-laki yang bisa menjadi chef adalah mitos. Dia menekankan, kemampuan sensori tidak ditentukan oleh gender. Untuk memastikan apakah seseorang itu layak sebagai panelis (dalam riset sensori), yang diperlukan adalah konsistensi sensori.

"Seseorang dianggap punya performance yang baik dalam evaluasi sensori, ditentukan oleh beberapa ketentuan," jelasnya.

Yakni mampu mendeteksi atau membedakan dan memiliki konsistensi atau bisa memberikan nilai yang sama dari waktu ke waktu dengan produk yang sama.

Menurutnya, laki-laki atau perempuan menjadi chef itu tidak ada ketentuan. Namun dia tak menampik bahwa laki-laki itu lebih konsisten. Hal ini disebabkan laki-laki tidak terpengaruh dengan siklus metabolisme yang bervariasi.

"Untuk menghasilkan produk pangan yang sama dari hari ke hari itu perlu konsistensi. Itu yang mungkin bisa jadi kencenderungan kenapa banyak chef itu laki-laki," ungkap Prof. Dede.

Pengembangan ilmu sensori di masa depan

Sementara itu, dalam materinya yang berjudul Peranan Ilmu Sensori dalam Pengembangan Produk di Industri Pangan, Prof. Dede juga menjelaskan terkait ilmu sensori dan metode ujinya dalam industri pangan.

Dede menambahkan, penggunaan manusia sebagai instrumen ukur yang menjadi lingkup ilmu sensori akan terus digunakan dan berkembang di masa depan.

Namun, tantangannya adalah pengontrolan terhadap manusia atau panel sensori yang digunakan.

"Teknik kalibrasi dan validasi panel sensori perlu ditetapkan dan distandarkan untuk meyakinkan hasil pengukuran sensori yang dihasilkan valid, dapat dipercaya dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah," urainya.

Dia menyampaikan, adanya perbedaan kultur, kebiasaan makan di masing-masing negara menyebabkan perbedaan persepsi sensori. Memahami aspek perilaku konsumsi dan sosial di masing-masing negara menjadi kunci dalam bisnis global tersebut.

Perkembangan ilmu dan teknologi juga dapat dimanfaatkan untuk pengembangan ilmu sensori. Misalnya potensi aplikasi teknologi realitas virtual (VR) dan augmented (AR) dalam ilmu sensori.

"Bidang riset sensometrik dan biometrik juga akan menjadi fokus pengembangan ilmu sensori di masa datang dengan melibatkan berbagai bidang keilmuan lain," tutup Dede.

https://www.kompas.com/edu/read/2021/12/22/191800771/mitos-atau-fakta-hanya-pria-yang-bisa-jadi-chef-ini-kata-pakar-ipb

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke