KOMPAS.com - Pemanfaatkan teknologi kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) yang keliru, rentan menggiring pada penyebaran informasi menyesatkan.
Kecanggihan AI memudahkan manusia mendapat informasi, menyajikan ilustrasi, suara, sampai video.
Belakangan, AI juga mampu mengolah konten tiruan menyerupai aslinya. Misalnya, deepfake atau pengubah suara menyerupai tokoh publik.
Kemajuan teknologi perlu dirayakan. Namun, ada catatan penting bagi pembuat konten dalam memanfaatkan AI.
Tak dapat dipungkiri, AI dapat disalahgunakan untuk memproduksi konten fabrikasi, manipulasi, sampai memecah belah kelompok tertentu.
Pengamat komunikasi digital Universitas Indonesia Firman Kurniawan mengatakan, etika memanfaatkan teknologi AI sama halnya dengan etika di dunia digital.
"Ketika itu berpengaruh terhadap pendapat orang atau mempunyai pengaruh yang serius, itu menjadi tidak beretika. Sama dengan berbohong," ujar Firman kepada Kompas.com, Selasa (9/5/2023).
Dikutip dari C3.ai, etika dalam menggunakan AI tetap harus mengikuti nilai-nilai dasar, seperti menghargai hak individu, privasi, non-diskriminasi, dan non-manipulasi.
Meski sejauh ini etika dalam menggunakan AI belum bersinggungan dengan hukum, tetapi nilai dasar kemanusiaan tetap harus diterapkan.
Firman tidak mempermasalahkan konten yang bersifat hiburan atau edukasi.
Kendati demikian, masyarakat juga berhak diberi ruang untuk tahu bahwa apa yang mereka lihat merupakan hasil rekayasa.
Maka menurut Firman, penting untuk memberikan keterangan atau konteks pada sebuah konten.
"Perlu disclaimer, bahwa ini uji coba teknologi misalnya. Atau keterangan, dibuat menggunakan AI dan bukan merupakan pendapat orang yang ditiru," terangnya.
Bahkan meski ada keterangan pun, masih ada celah tersebarnya misinformasi melalui sebaran konteks yang tidak utuh.
"Walaupun ada disclaimer, tidak semua orang menangkapnya secara utuh. Ada bagian tertentu yang terpotong, bisa salah paham," kata dia.