Sampai akhirnya diadakan kongres dan deklarasi Piagam Asimilasi, yang menghasilkan peleburan masyarakat Tionghoa dengan masyarakat Indonesia sesuai semangat Sumpah Pemuda.
Pada September 1965, keterlibatan masyarakat Tionghoa dalam politik Indonesia mulai mengalami penurunan akibat peristiwa G30S.
Mereka yang terlibat dalam Baperki dianggap terlibat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Masyarakat Tionghoa yang terlibat politik juga dituding sebagai antek komunis dari China.
Pada masa pemerintahan Orde Baru, aktivitas politik masyarakat Tionghoa dibatasi.
Salah satunya dengan dikeluarkannya undang-undang ganti nama, pelarangan agama, kepercayaan, penggunaan bahasa Mandarin, hingga tradisi Tionghoa.
Meski tujuannya adalah asimilasi, tetapi kebijakan itu justru membuat masyarakat Tionghoa semakin terpisah dengan pribumi.
Masyarakat muslim Tionghoa pun mendirikan Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) pada 6 Juli 1963. Pendirinya yakni Haji Abdul Karim Oey.
Partai itu didirikan sebagai penegasan identitas masyarakat Tionghoa yang memeluk agama Islam.
PITI menjadikan Letjen Haji Sudirman dan Buya Hamka sebagai anggota dewan dan penasihat, dengan alasan tekanan politik militer dan tuntutan agar partai tersebut merangkul beragam etnis.
PITI sempat mengajukan penerbitan Quran dan majalah dakwa berbahasa Mandarin kepada Departemen Agama pada April 1972. Namun, permintaan itu ditolak oleh menteri HA Mukti Ali.
Ujungnya, PITI diubang menjadi Persatuan Imam, Tauhid, dan Islam pada 1972 untuk menghilangkan unsur Tionghoa dalam partai tersebut.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.