Konsep non-conviction based asset forfeiture lebih menekankan pembuktikan aset kejahatan dibandingkan dengan pembuktikan pelaku kejahatan itu sendiri, sehingga perampasan aset yang dilakukan tidak harus ada pemidanaan.
Baca juga: Mahfud Sebut Presiden Minta RUU Perampasan Aset Segera Disahkan
Dalam naskah akademik RUU Perampasan Aset Tindak Pidana disebutkan, aset setiap orang yang tidak seimbang dengan penghasilan atau sumber penambahan kekayaan dan tidak dapat membuktikan asal-usulnya, maka secara sah aset tersebut dapat dirampas.
“Saya kasih contoh begini, misalnya, putusan pengadilan mentok karena belum bisa mendapatkan alat bukti, namun diketahui terdapat aset kejahatan. Nah aset kejahatan itu bisa dirampas karena beban pembuktiannya lebih ringan dibandingkan dengan alat bukti yang dibutuhkan untuk menghukum orang secara pidana,” jelasnya.
Kendati begitu, dalam pembuktiannya antara pihak yang membuktikan dan pemilik aset mempunyai beban pembuktian yang sama, supaya tetap tercipta keadilan.
“Perampasan aset dengan pendekatan civil forfeiture tidak melakukan penghukuman, lebih ringan. Jadi bicaranya sudah tidak lagi pada minimal alat bukti, tapi bukti siapa yang paling kuat saja,” tutur Azamul.
Pendekatan yang bertujuan menghukum pelaku dengan pidana pun dianggap tidak lagi efektif dalam perampasan aset hasil kejahatan.
Sementara, pendekatan follow the money yang diperkuat melalui RUU Perampasan Aset Tindak Pidana akan meminimalisasi kerugian negara.
Berdasarkan catatan dari ICW banyak negara yang telah memanfaatkan conviction based asset forfeiture atau perampasan aset tanpa pemidanaan. Misalnya, Filipina yang berhasil mengambil alih harta kekayaan mantan Presiden Ferdinand Marcos sejumlah 658 juta dollar AS di Bank Swiss.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.