KOMPAS.com - Sepuluh ribu umat Kristiani yang memadati Balai Sidang Senayan, Jakarta bertepuk tangan dan bersorak begitu mendengar pidato Abdurrahman Wahid atau Gus Dur dalam Perayaan Natal Bersama Tingkat Nasional pada Senin, 27 Desember 1999.
Mereka yang datang di Balai Sidang Senayan tersentuh dengan pidato Gus Dur mengenai persaudaraan lintas agama di momen Natal.
Di hapadapan Umat Kristiani, Gus Dur membuka pidatonya dengan ucapan: Assalamu 'alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh.
"Saya sengaja tidak mengucapkan selamat malam, karena kata assalamu 'alaikum berarti kedamaian atas kalian, mudah-mudahan kalian diberkati dengan kedamaian," ucap Gus Dur seperti dimuat di Harian Kompas edisi 28 Desember 1999.
Baca juga: Kelapangan Hati Gus Dur Saat Meminta Maaf atas Pembantaian 1965-1966
Dalam pidatonya, Gus Dur menyampaikan bahwa jangan sampai agama memecah belah dan memutus persaudaraan. Bagi dia, penting untuk saling menghormati keyakinan satu sama lain.
Sebagai tokoh Nahdlatul Ulama (NU) dan orang yang hidup di lingkungan pesantren, Gus Dur mengaku sedih ketika melihat perbedaan keyakinan justru menjadi sekat dan alasan untuk saling mengkotak-kotakan.
Menurut Gus Dur, keyakinan atas satu agama bukan halangan untuk bertoleransi.
“Saya adalah seorang yang menyakini kebenaran agama saya. Tetapi ini tidak menghalangi saya untuk merasa bersaudara dengan orang yang beragama lain di negeri ini, bahkan dengan sesama umat manusia," ucap cucu pendiri NU Hasyim Asy'ari ini.
"Sejak kecil itu saya rasakan, walaupun saya tinggal di lingkungan pondok pesantren, hidup di kalangan keluarga kiai. Tetapi tidak pernah sedetik pun saya merasa berbeda dengan yang lain," kata Gus Dur.
Baca juga: Referendum Timor Leste dan Gagasan Gus Dur Sejak 1980...
Dalam pandangan Gus Dur merayakan Natal berarti memperteguh kembali ikatan semua pihak sebagai bangsa Indonesia. Sehingga keyakinan beragama tidak boleh menceraiberaikan masyarakat Indonesia.
Gus Dur pun menegaskan bahwa pada dasarnya semua umat beragama bersaudara, hal itu seperti petuah yang disampaikan oleh tokoh NU, almarhum KH Achmad Sidiq.
Menurut KH Achmad Sidiq orang Islam terikat pada persaudaraan sesama Muslim, persaudaraan sesama bangsa Indonesia, dan persaudaraan sesama manusia.
"Ketiga-tiga persaudaraan ini, kesediaan persaudaraan seagama, persaudaraan sesama bangsa dan persaudaraan sesama umat manusia, menghidupi kita semua dalam kehidupan bersama di negeri ini," ujar Gus Dur disambut tepuk sorak hadirin.
"Karena itu kita memohon kepada Tuhan kita semua, kepada Tuhan yang kita yakini, dengan cara masing-masing-masing, mudah- mudahan kita tetap diberi kekuatan untuk menjadi bangsa yang satu, tetap diberi kemampuan untuk memelihara persaudaraan yang sangat besar ini," kata Gus Dur.
Baca juga: Belajar Kearifan Islam dari Gus Dur dan Cak Nur
Pada 1996 terjadi peristiwa kerusuhan massa yang membuat gereja di Situbondo, Jawa Timur dibakar.
Dikutip dari laman resmi NU, Gus Dur lantas memerintahkan Barisan Ansor Serbaguna (Banser) NU untuk mengamankan gereja tersebut saat perayaan Natal.
Sebelum Natal 1996, Gus Dur sempat ditanya oleh seorang anggota Ansor Jawa Timur terkait hukum seorang muslim menjaga gereja. Gus Dur pun menjawab bahwa berjaga di gereja diniatkan untuk menjaga Indonesia.
"Kamu niatkan jaga Indonesia bila kamu enggak mau jaga gereja. Sebab gereja itu ada di Indonesia, tanah air kita. Tidak boleh ada yang mengganggu tempat ibadah agama apa pun di bumi Indonesia," kata Gus Dur ditirukan oleh Nusron Wahid, yang saat itu masih kuliah di Universitas Indonesia.
Berdasarkan perkataan Gus Dur itulah Choirul Anam atau Cak Anam, selaku Ketua Pimpinan Wilayah (PW) GP Ansor Jawa Timur, langsung memerintahkan seluruh anggota Banser aktif menjaga gereja di malam Natal. Mereka melakukannnya secara sukarela.
Dalam tugas mengamankan gereja, selain mengorbankan waktu dan tenaga, para Banser juga dibayangi ancaman pengeboman yang saat itu marak di Indonesia.
Pada tahun 2000 terjadi pengeboman di Gereja Eben Haezar, Situbondo yang membuat seorang Banser bernama Riyanto meninggal dunia ketika tengah berjaga.
Diberitakan Harian Kompas edisi 26 Desember 2000, ledakan di Gereja Eben Haezar terjadi dua kali. Menurut Steven, pengurus gereja tersebut, ledakan bom pertama terjadi setelah kebaktian usai, sekitar pukul 19.30.
Beberapa saat setelah kebaktian usai, seorang anggota Banser menemukan tas berisi bom di depan gereja. Tas tersebut diletakkan di boks telepon umum.
Tas itu kemudian dibuang ke selokan di seberang Gereja Eben Haezar oleh Riyanto. Namun bom dalam tas itu meledak, Riyanto tewas. Tubuhnya terlempar puluhan meter ke belakang gereja.
Setelah itu para pengurus gereja mencurigai sebuah tas tanpa pemilik yang masih tergeletak di dalam gereja. Menurut Steven, tas tersebut lalu dilempar ke selokan yang sama.
Kurang dari lima menit kemudian terjadi ledakan lagi, namun ledakan kedua ini lebih kecil kekuatannya dibanding ledakan pertama.
Berkat keberanian Riyanto dan kawan-kawannya, para jemaat gereja dan orang-orang di sekitarnya selamat. Hingga kini, orang pun mengenang Riyanto sebagai sosok yang mengorbankan nyawanya demi keselamatan orang yang merayakan Natal.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.