Mahalnya biaya politik disebut menjadi salah satu penyebab utama maraknya korupsi yang dilakukan oleh kepala daerah.
Sebab, selama ini dalam proses pencalonan kepala daerah masih terjadi praktik politik uang berbentuk mahar politik (nomination buying) dan jual beli suara (vote buying).
Kajian Litbang Kemendagri tahun 2015 menyebutkan bahwa untuk mencalonkan diri sebagai bupati atau wali kota hingga gubernur membutuhkan biaya Rp 20 sampai 100 miliar.
Sementara, pendapatan rata-rata gaji kepala daerah hanya sekitar Rp 5 miliar dalam satu periode.
"Salah satu penyebab mengapa banyak korupsi yang melibatkan kepala daerah itu soal mahalnya mahar politik," ucap Diky.
"Soal masih dinormalisasinya politik uang untuk jual beli suara. Di saat yang sama pasti ada kecenderungan kepala daerah ketika terpilih dengan cara-cara demikian, berusaha untuk balik modal," ujarnya.
Jika kita menilik ke belakang, masifnya korupsi kepala daerah sudah bisa dilihat sejak awal 2022. Pada Januari, selama tiga pekan berturut-turut masyarakat disuguhi kabar penangkapan kepala daerah yang terjerat korupsi.
Mereka adalah Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi, Bupati Penajam Paser Utara (PPU) Abdul Gafur Mas'ud, serta Bupati Langkat Terbit Rencana Perangin-angin.
Belakangan pada September kasus korupsi Gubernur Papua, Lukas Enembe pun menjadi sorotan dan bisa dikatakan sebagai salah satu yang cukup menonjol tahun 2022 ini.
Oleh KPK, Enembe ditetapkan menjadi tersangka dalam kasus korupsi Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) dan gratifikasi senilai Rp 1 miliar.
Kasus itu pun semakin banyak diperbincangkan, pasalnya Enembe mangkir dari panggilan KPK selama dua kali dengan alasan kesehatan. Selain itu Enembe juga disebut kerap pergi ke luar negeri untuk berjudi.