KOMPAS.com - Unggahan di media sosial menarasikan bahwa ilmuwan di Universitas Boston, Massachusetts, Amerika Serikat (AS), telah mengembangkan strain Covid-19 yang lebih mematikan.
Konten tersebut berupa tangkapan layar sebuah pemberitaan kemudian disebar di Instagram.
Dalam unggahan itu disebutkan bahwa strain tersebut dapat menyebabkan tingkat kematian hingga 80 persen.
Strain ini diklaim kurang mematikan dari yang pertama kali terdeteksi di Wuhan, China, namun lebih mematikan daripada varian Omicron.
Lantas, bagaimana faktanya? Benarkah Universitas Boston mengembangkan strain virus baru yang lebih mematikan?
Dilansir dari Politifact, Kamis (20/10/2022), pracetak studi yang dijadikan rujukan narasi tersebut sebenarnya belum mendapat tinjauan dari rekan sejawat.
Studi itu memeriksa protein spike pada SARS-CoV-2 varian Omicron (BA.1).
Para peneliti ingin mengetahui apakah virus itu benar-benar tidak lebih berbahaya dari varian lainnya. Sederhananya, karena itu tidak menginfeksi sel yang sama dari strain awal.
Untuk melakukannya, mereka perlu menambah spike protein dari Omicron kepada strain virus SARS-CoV-2 untuk membuat strain baru yang disebut Omi-S.
Kemudian, mereka membandingkan efek dari strain baru virus, strain awal, dan strain Omicron pada tikus yang terinfeksi.
Hasilnya, semua tikus yang terinfeksi strain awal mati. Semua tikus yang terinfeksi Omicron selamat. Kemudian, 80 persen tikus yang terinfeksi Omi-S mati.
Kesimpulannya, tingkat keparahan yang lebih rendah dari omicron tidak terkait dengan mutasi protein lonjakan. Penelitian lebih lanjut juga masih diperlukan.
Direktur NEIDL dan ahli mikrobiologi Universitas Boston, Ronald B Corley mengatakan, tikus yang digunakan adalah jenis tikus tertentu yang sangat rentan.
Hasil penelitian Universitas Boston dikutip secara keliru oleh Daily Mail yang menyebut bahwa strain baru yang dibuat memiliki tingkat kematian 80 persen.
Melalui laman resminya, Universitas Boston menerbitkan klarifikasi pada Senin (17/10/2022).