KOMPAS.com - Rumah bercat putih itu berada di tepi jalan beraspal Desa Jambesari, Kecamatan Giri, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur.
Di ruang depan tak ada sofa dan meja, melainkan satu dipan kayu dengan lubang di tengahnya. Siami (73) duduk di sana, Senin (13/6/2022).
Kakinya masuk lubang tengah dipan dan menjejak ke lantai. Tangannya sibuk mengatur benang di seperangkat alat tenun dari kayu di depannya.
Itulah kegiatan sehari-hari Siami saat ada pesanan kain tenun khas Osing atau Using produknya. Kalau tidak, dia pergi berkebun.
"Dulu banyak yang menenun, emak, adiknya, mbaknya, bisa semua. (Sekarang) semua sudah tidak ada, meninggal dunia. Sepantaran saya tidak ada (yang menenun), ya saya ini," kata Siami, Senin.
Baca juga: Kisah Fauzan Wujudkan Cita-cita Naik Haji, Memilih Gowes 5.000 Km
Dia menceritakan, dulu balai di kampungnya kerap ramai bunyi kayu alat tenun saat perempuan-perempuan menenun bersama.
Motif kain tenun khas Osing saat itu pun beragam. Seingat Siami jumlahnya puluhan motif.
Tapi sampai di generasinya, penenun meninggal satu per satu tanpa ada penggantinya. Kini tinggal dia seorang.
Dia bisa membuat tiga jenis motif tenun, yakni Solok dengan warna dominan putih, Gedog kombinasi ungu dan biru, serta Kuwung si merah hati dan putih.
Siami dulu tidak diajarkan oleh ibunya, melainkan hanya boleh melihat. Sesekali dia disuruh minggir saat melihat terlalu dekat.
Ketika ibunya meninggal, muncul kembali keinginan menenun. Ia pun mencoba dengan mengandalkan sisa ingatan masa mudanya.
"Saya sudah punya anak saat itu, sudah punya menantu juga, sudah menikahkan anak, baru belajar (menenun). Dulu emak yang membuat, terus emak tidak ada ya saya belajar, tahu-tahu bisa membuat," kata Siami lagi.
Baca juga: Melihat Produksi Upanat, Sandal Khusus untuk Naik ke Candi Borobudur
Beberapa kali ada tetangga yang menyatakan ingin belajar. Namun setelah sehari mencoba mereka langsung mengurungkan niatnya.
Mereka lebih memilih bertani daripada menjadi pengrajin kain tenun. Prosesnya yang manual dan tidak instan membuat mereka tak betah membuat kain tenun tersebut.
Sekarang Siami tidak mau lagi menerima murid. Ia berpendapat, kalau memiliki niat orang tersebut akan bertekad belajar, memperhatikan dan meniru, seperti proses dirinya belajar dulu.
"Tidak tahu siapa yang meneruskan, mungkin tidak ada. Padahal jualnya gampang, membuatnya yang sulit. Ya inginnya saya ada yang bisa melanjutkan," ujar Siami lagi.
Ketua Adat Osing Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi, Suhaimi menjelaskan, masyarakat desanya biasa menjaga produk budaya dan tradisi dari dalam maupun luar komunitas.
Misalnya batik yang dulu pusat produksinya justru di Kelurahan Temenggungan, Kecamatan Banyuwangi, karya tulis Lontar Yusup, dan tenun yang diproduksi di Desa Jambesari.
Baca juga: Cerita Sanet Sabintang, Desainer Asal Banyuwangi Bangkitkan Kembali Motif Tenun Khas Osing
Bila kain batik disimpan di toples kaca dan dipajang di almari, kain tenun lebih banyak digunakan dalam kegiatan tradisi.
Saat ada warga melahirkan, menikah dan meninggal, pasti hadir di sana setidaknya selembar kain tenun khas Osing, terutama motif Solok.
Saat kelahiran kain tenun melambangkan penyambutan. Saat perkawinan, kain tenun sebagai tanda manusia menghadapi kehidupan dewasanya, dan akhirnya mengantarkan jenazahnya ke alam kubut setelah meninggal dunia.
"Jadi memang orang itu ada awal pasti ada akhir. Misalnya tidak punya, pinjam. Tetangga yang merasa punya, sudah menyadari, bahwa oh ini tidak punya, dipinjami begitu. Misalnya ada yang meninggal, itu dipinjami untuk mengantarkan nisan ke makam," kata Suhaimi, Senin.
Menurut dia, saat ini hanya Siami perajin kain tenun khas Osing yang masih aktif. Ada satu orang lagi yang dianggap bisa, namun bekerja di bidang lain sehingga tidak aktif menenun.
Baca juga: Ritual Seblang, Tradisi Bersih Desa dan Menolak Bala oleh Suku Osing Banyuwangi
Dia mengaku bisa membuat alat tenun dari kayu. Namun yang sulit disediakan adalah tenaga terampil menenun dan benang sutra bahan tenun. Karena benang biasa akan luntur dan motifnya segera rusak.
Pihaknya berharap pemuda-pemudi desa lebih aktif dalam melakukan upaya-upaya pelestarian tenun khas Osing tersebut.
Usaha penyelamatan tenun dengan motif khas Osing ini telah dicoba dilakukan oleh seorang perancang busana dan kostum di Banyuwangi bernama Sanet Sabintang (39).
Ia memproduksi kembali tenun dengan motif khas Osing bekerjasama dengan produsen tekstil di Yogyakarta, dengan perangkat mesin tenun.
Kelebihan memproduksi tenun dengan mesin ialah, lebih cepat pengerjaannya dan lebih murah harganya. Untuk sekarang, per bulan dia bisa menyediakan sekitar 30 lembar kain tenun khas Osing.
Saat disentuh, kain tenun khas Osing yang diproduksi dengan mesin lebih halus dan tipis, bila dibandingkan hasil pengerjaan secara manual oleh Siami.
Sanet kemudian membuat segmen pasar tenun bermotif khas Osing yang lebih ekonomis, sembari berusaha melestarikannya.
"Kain tenun khas Banyuwangi motifnya elegan. Tidak hanya untuk dipakai sehari-hari, tapi bisa juga sebagai fesyen untuk anak-anak muda," kata Sanet.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.