KOMPAS.com - Serangan misinformasi dan disinformasi yang semakin marak menjelang Pemilu 2024 membuat peran pemeriksa fakta menjadi krusial.
Akan tetapi, fact-checker atau pemeriksa fakta justru beberapa kali menjadi sasaran kejahatan media sosial dan serangan siber dari oknum-oknum yang tidak senang dengan hasil kerja para pemeriksa fakta.
Presidium sekaligus co-founder Masyarakat Anti-Fitnah Indonesia (Mafindo) sebagai media pemeriksa fakta, Eko Juniarto mengungkapkan, salah satu bentuk serangan siber yang beberapa kali menyasar pemeriksa fakta adalah doxxing atau dikenal juga sebagai doxing.
Eko menjelaskan, doxxing adalah penyebarluasan informasi pribadi yang sebenarnya bisa dicari di OSINT (Open Source Intelligent).
Baca juga: Doxing, Ancaman bagi Pers di Era Digital
Misalnya, pemeriksa fakta membagikan informasi pribadinya untuk membuat akun media sosial, atau meberikan alamatnya untuk keperluan transaksi di platform e-commerce.
"Tapi itu kan hubungannya untuk hal yang memang khusus ya, misalnya untuk transaksi, pendaftaran layanan, seperti itu. Nah, kalau doxxing itu segala informasi pribadinya dikumpulkan lalu disebarluaskan," kata Eko, dalam webinar "Memperkuat Kegiatan Fact-Checker di Indonesia", Senin (28/3/2022).
Acara ini merupakan kolaborasi Mafindo dengan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan jaringan media yang tergabung dalam CekFakta.com.
Menurut Eko, informasi pribadi yang disebarluaskan itu bisa berupa data-data seperti nama lengkap dan umur, atau bisa juga berupa foto-foto pribadi.
Baca juga: AJI Nilai Pelabelan Hoaks ke Karya Jurnalistik Jadi Tantangan Media pada 2022
Ia mengungkapkan, salah seorang presidium Mafindo pernah menjadi korban doxxing dalam bentuk penyebarluasan foto pribadi yang dibubuhi dengan narasi keliru.
"Itu (doxxing) saya kategorikan sebagai 'terorisme digital'. Tujuannya adalah untuk menakut-nakuti, untuk mengintimidasi," ujar Eko.
"Karena begini, begitu alamat rumah kita disebar, alamat kantor kita disebar, itu ada orang-orang yang istilahnya berpikiran radikal atu ekstrem yang bisa mendatangi sehingga bisa merundung langsung secara fisik ke alamat-alamat tersebut," tuturnya.
Selain menyoroti soal ancaman doxxing yang beberapa kali menimpa pemeriksa fakta, Eko juga membagikan pandangannya untuk memperkuat fact-checker di Indonesia.
Eko mengatakan, langkah pertama yang harus dilakukan adalah membangun kepercayaan dari semua pihak terhadap kerja-kerja yang dilakukan para pemeriksa fakta.
Hal tersebut dapat dilakukan dengan mencapai standardisasi kompetensi pemeriksa fakta, baik yang berasal dari kalangan jurnalis maupun non-jurnalis seperti citizen journalism.
Selanjutnya, Eko berpendapat bahwa perlindungan terhadap pemeriksa fakta adalah langkah krusial berikutnya.
Eko mengatakan, perlindungan terhadap para pemeriksa fakta adalah hal yang sangat vital untuk memperkuat kerja-kerja fact-checker di Indonesia.
"Akan ada pihak yang tidak suka dan mereka bisa melakukan yang saya sebut terorisme digital," ujar Eko.
Terakhir, dengan merujuk pada dua langkah tersebut, menurut Eko bisa dipertimbangkan untuk membentuk suatu asosiasi yang mengadvokasi bagi para pemeriksa fakta.
Ia mengatakan, dengan keberadaan asosiasi dapat mendorong munculnya aturan soal kompetensi bagi pemeriksa fakta hingga ke aspek perlindungan terhadap profesi pemeriksa fakta.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.