Mengutip Harian Kompas, 16 Januari 2003, sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Asvi Warman Adam menyebutkan, peristiwa Malari dapat ditelaah dari beberapa perspektif.
Menurut Asvi, ada yang memandang peristiwa Malari sebagai demonstrasi mahasiswa menentang modal asing, terutama Jepang.
Sementara itu, beberapa pengamat melihat peristiwa itu sebagai ketidaksenangan kaum intelektual terhadap Asisten pribadi (Aspri) Soeharto (Ali Moertopo, Soedjono Humardani, dan lain-lain) yang memiliki kekuasaan teramat besar.
Selain itu, analisis lain menduga peristiwa itu dipicu oleh friksi elite militer Orde Baru.
"Ada analisis tentang friksi elite militer, khususnya rivalitas Jenderal Soemitro-Ali Moertopo," kata Asvi.
Baca juga: Peristiwa Malari 1974, Protes Modal Asing atau Dampak Perpecahan Militer?
Dalam buku-buku Ramadhan KH (1994) dan Heru Cahyono (1998) terlihat kecenderungan Soemitro untuk menyalahkan Ali Moertopo yang merupakan rivalnya dalam dunia politik tingkat tinggi.
Misalnya, Soemitro mengungkapkan bahwa Ali Moertopo dan Soedjono Humardani "membina" orang-orang eks DI/TII dalam GUPPI (Gabungan Usaha Perbaikan Pendidikan Islam).
Dalam kasus Malari, lewat organisasi itu dilakukan pengerahan massa oleh Ramadi dan Kyai Nur dari Banten.
Bambang Trisulo disebut-sebut mengeluarkan Rp 30 juta untuk membayar para preman. Roy Simandjuntak mengerahkan tukang becak dari sekitar Senen.
Kegiatan itu-antara lain perusakan mobil Jepang, kantor Toyota Astra dan Coca Cola-dilakukan untuk merusak citra mahasiswa dan memukul duet Soemitro-Soetopo Juwono (Heru Cahyono, 1992: 166).
Sebaliknya, "dokumen Ramadi" mengungkap rencana Soemitro menggalang kekuatan di kampus-kampus.
"Ada seorang Jenderal berinisial S akan merebut kekuasaan dengan menggulingkan Presiden sekitar bulan April hingga Juni 1974. Revolusi sosial pasti meletus dan Pak Harto bakal jatuh".
Ramadi saat itu dikenal dekat dengan Soedjono Humardani dan Ali Moertopo, orang-orang terdekat Soeharto. Tudingan dalam "dokumen" itu tentu mengacu Jenderal Soemitro.