Peristiwa ini terjadi 48 tahun lalu, tepatnya pada 15 Januari 1974 bertepatan dengan kedatangan Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka untuk bertemu Soeharto.
Mahasiswa yang pada saat itu merasa kebijakan ekonomi Soeharto terlalu berpihak kepada investasi asing, memanfaatkan momen tersebut untuk turun ke jalan dan menggelar aksi unjuk rasa.
Akan tetapi, aksi unjuk rasa yang semula berjalan damai itu berujung kerusuhan yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa.
Mahasiswa dituding sebagai biang keladi insiden tersebut.
Kerusuhan Malari pecah
Demonstrasi dalam rangka menyambut PM Kakuei Tanaka diawali dengan long march ribuan mahasiswa dan pelajar dari kampus Universitas Indonesia di Jalan Salemba menuju kampus Universitas Trisakti di bilangan Grogol.
Sesampainya di kampus Trisakti, para mahasiswa menggelar Apel Tritura 1974 yang berisi tiga tuntutan untuk pemerintah, yakni menurunkan harga bahan pokok, membubarkan asisten presiden, dan mengganyang koruptor-koruptor.
Setelah apel bubar, para pengunjuk rasa membakar patung PM Kakuei Tanaka sebagai simbol penolakan terhadap modal asing. Massa kemudian bergerak menuju Istana Kepresidenan.
Pada saat itu, Istana Kepresidenan menjadi tempat pertemuan antara Soeharto dengan Tanaka, yang sudah tiba di Indonesia sejak 14 Januari 1974.
Kerusuhan Malari pecah pada momen ini. Aparat menembakkan peluru ke arah demonstran yang dinilai melakukakn kekerasan dan perusakan terhadap bangunan serta kendaraan.
Namun, mahasiswa membantah melakukan hal tersebut. Sebab saat itu mereka berdemonstrasi di sekitar Jalan MH Thamrin, sedangkan kerusuhan terjadi di sekitar Pasar Senen.
Berdasarkan data Google Maps, terlihat bahwa jarak antara Jalan MH Thamrin dengan Pasar Senen adalah sekitar 3 km.
Adapun waktu yang dibutuhkan untuk mencapai Pasar Senen dari Jalan MH Thamrin dengan berjalan kaki adalah sekitar 38-45 menit.
Bantahan mahasiswa dan posisi Jalan MH Thmarin yang berjauhan dengan Pasar Senen lantas menimbulkan pertanyaan.
Benarkah kerusuhan Malari 1974 dipicu oleh demo mahasiswa?
Mengutip Harian Kompas, 16 Januari 2003, sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Asvi Warman Adam menyebutkan, peristiwa Malari dapat ditelaah dari beberapa perspektif.
Menurut Asvi, ada yang memandang peristiwa Malari sebagai demonstrasi mahasiswa menentang modal asing, terutama Jepang.
Sementara itu, beberapa pengamat melihat peristiwa itu sebagai ketidaksenangan kaum intelektual terhadap Asisten pribadi (Aspri) Soeharto (Ali Moertopo, Soedjono Humardani, dan lain-lain) yang memiliki kekuasaan teramat besar.
Selain itu, analisis lain menduga peristiwa itu dipicu oleh friksi elite militer Orde Baru.
"Ada analisis tentang friksi elite militer, khususnya rivalitas Jenderal Soemitro-Ali Moertopo," kata Asvi.
Dugaan friksi militer
Dalam buku-buku Ramadhan KH (1994) dan Heru Cahyono (1998) terlihat kecenderungan Soemitro untuk menyalahkan Ali Moertopo yang merupakan rivalnya dalam dunia politik tingkat tinggi.
Misalnya, Soemitro mengungkapkan bahwa Ali Moertopo dan Soedjono Humardani "membina" orang-orang eks DI/TII dalam GUPPI (Gabungan Usaha Perbaikan Pendidikan Islam).
Dalam kasus Malari, lewat organisasi itu dilakukan pengerahan massa oleh Ramadi dan Kyai Nur dari Banten.
Bambang Trisulo disebut-sebut mengeluarkan Rp 30 juta untuk membayar para preman. Roy Simandjuntak mengerahkan tukang becak dari sekitar Senen.
Kegiatan itu-antara lain perusakan mobil Jepang, kantor Toyota Astra dan Coca Cola-dilakukan untuk merusak citra mahasiswa dan memukul duet Soemitro-Soetopo Juwono (Heru Cahyono, 1992: 166).
Sebaliknya, "dokumen Ramadi" mengungkap rencana Soemitro menggalang kekuatan di kampus-kampus.
"Ada seorang Jenderal berinisial S akan merebut kekuasaan dengan menggulingkan Presiden sekitar bulan April hingga Juni 1974. Revolusi sosial pasti meletus dan Pak Harto bakal jatuh".
Ramadi saat itu dikenal dekat dengan Soedjono Humardani dan Ali Moertopo, orang-orang terdekat Soeharto. Tudingan dalam "dokumen" itu tentu mengacu Jenderal Soemitro.
Pasca-peristiwa Malari
Keterangan Soemitro dan Ali Moertopo mengenai peristiwa Malari berbeda, bahkan bertentangan. Hingga saat ini, tidak terungkap aktor intelektual di balik peristiwa itu.
Namun, serangkaian peristiwa penting terjadi pasca-peristiwa Malari.
Kerusuhan itu tercatat menyebabkan korban tewas sebanyak 11 orang, 685 mobil hangus, 120 toko hancur dan rusak, serta 128 korban mengalami luka berat dan ringan.
Tak hanya itu, Proyek Pasar Senen yang ketika itu diperkirakan bernilai sekitar Rp 2,6 miliar terbakar habis.
Di sisi lain, Soeharto menghentikan Soemitro sebagai Pangkomkamtib, langsung mengambil alih jabatan itu. Aspri Presiden dibubarkan. Kepala BAKIN Soetopo Juwono "didubeskan", diganti Yoga Sugama.
Bagi Soeharto, kerusuhan 15 Januari 1974 mencoreng kening karena peristiwa itu terjadi di depan hidung tamu negara, PM Jepang.
"Malu yang tak tertahankan menyebabkan ia untuk selanjutnya amat waspada terhadap semua orang/golongan serta melakukan sanksi tak berampun terhadap pihak yang bisa mengusik pemerintah," kata Asvi.
Menurut Asvi, setelah insiden itu Soeharto menjadi amat selektif memilih pembantu dekatnya, antara lain dengan kriteria "pernah jadi ajudan Presiden".
Ia menilai, sejak saat itu Soeharto mulai menjalankan berbagai upaya untuk mempertahankan dan mengawetkan kekuasaan, baik secara fisik maupun secara mental.
"Dari sudut ini, peristiwa 15 Januari 1974 dapat disebut sebagai salah satu tonggak sejarah kekerasan Orde Baru. Sejak itu represi dijalankan secara lebih sistematis," kata Asvi.
https://www.kompas.com/cekfakta/read/2022/01/15/085151782/peristiwa-malari-1974-benarkah-aksi-mahasiswa-jadi-pemicu-kerusuhan