KOMPAS.com - Krisis pangan global akibat konflik, permasalahan ekonomi, perubahan iklim ekstrem, dan tingginya harga pupuk melanda berbagai negara pada 2023.
Program Pangan Dunia atau World Food Programme (WFP) mencatat, lebih dari 333 juta orang di 78 negara menghadapi kerawanan pangan tingkat akut.
Jumlah itu meningkat hampir 200 juta orang dibandingkan dengan tingkat kerawanan pangan sebelum pandemi Covid-19.
Menurut WFP, krisis pangan ini disebabkan oleh kombinasi berbagai faktor yang mematikan. Konflik masih menjadi penyebab kelaparan terbesar.
Sebanyak 70 persen orang di dunia yang menderita kelaparan tinggal di wilayah terdampak perang dan kekerasan.
Krisis iklim juga menjadi salah satu penyebab utama meningkatnya kelaparan global.
Perubahan iklim ekstrem menghancurkan kehidupan, tanaman dan mata pencarian, serta melemahkan kemampuan masyarakat untuk mencari makan.
Selain itu, harga pupuk global meningkat drastis. Dampak perang di Ukraina mengganggu produksi dan ekspor pupuk global sehingga mengurangi pasokan, menaikkan harga, dan mengancam panen.
Harga pupuk yang tinggi dapat mendorong terjadinya krisis ketersediaan pangan, dengan produksi jagung, beras, kedelai, dan gandum semuanya turun pada tahun 2022.
Tantangan di Indonesia
Dilansir Kompas.id, pemerintah terus berusaha mengurangi daerah rentan rawan pangan di Indonesia, yaitu dari 72 daerah pada 2022 menjadi 61 daerah pada 2024.
Upaya pemerintah itu digulirkan Badan Pangan Nasional (Bapanas) melalui program Kesiapsiagaan Krisis Pangan di Daerah.
Program tersebut diatur dalam Peraturan Bapanas Nomor 19 Tahun 2023 tentang Kesiapsiagaan Krisis Pangan.
Peraturan tersebut mendefinisikan krisis pangan sebagai kelangkaan pangan yang dialami sebagian besar masyarakat di suatu wilayah.
Penyebabnya antara lain, kesulitan distribusi pangan, perubahan iklim, bencana alam dan lingkungan, serta konflik sosial.
Bapanas menggulirkan Program Kesiapsiagaan Krisis Pangan di 34 provinsi. Pada 2023, Kabupaten Sragen (Jawa Tengah), Kabupaten Aceh Utara, dan Daerah Istimewa Aceh menjadi proyek percontohan implementasi program.
Namun, Deputi Kerawanan Pangan dan Gizi Bapanas Nyoto Suwignyo mengatakan, realisasi Program Kesiapsiagaan Krisis Pangan dihadapkan pada tantangan yang kompleks.
Tantangan itu antara lain disebabkan konversi lahan pangan menjadi nonpangan, produktivitas tanaman pangan turun, regenerasi petani lambat, dan perubahan iklim
"Hasil Sensus Pertanian (ST) 2023 memotret beberapa persoalan itu. Hasil sensus itu diharapkan bisa menjadi pijakan dalam pengembangan sektor pangan, termasuk menjadi basis pelaksanaan program Kesiapsiagaan Krisis Pangan," kata Nyoto.
Hasil ST 2023 Tahap I oleh Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, petani di Indonesia semakin menua dalam satu dekade terakhir.
Proporsi petani pengelola usaha pertanian perorangan berusia 55-64 tahun meningkat, dari 20,01 persen pada 2013 menjadi 23,3 persen pada 2023.
Sedangkan, petani berusia 65 tahun ke atas proporsinya juga meningkat, dari 12,75 persen menjadi 16,15 persen.
Sementara itu, berdasarkan data BPS, selama 2018-2023, luas lahan baku sawah menciut 648.800 hektare, yakni dari 7,7 juta hektare menjadi 7,1 juta hektare.
Ini menunjukkan rata-rata sawah yang beralih fungsi menjadi lahan nonpertanian seluas 130.000 hektare per tahun.
Produktivitas padi nasional sejak 2014 juga lambat naik dan cenderung turun. Berdasarkan data BPS, produktivitas pada 2014 sebesar 5,15 ton per ha.
Pada 2020 dan 2022, produktivitasnya turun, masing-masing menjadi 5,4 ton per hektare dan 5,24 ton per hektare.
Namun, upaya pemerintah bersiaga terhadap krisis pangan mendapatkan sorotan.
Dikutip dari Kompas.id, beberapa tahun terakhir anggaran untuk Kementerian Pertanian sebagai instansi yang bertanggung jawab dalam penyediaan pangan justru terus menurun.
Pada saat yang sama, pemerintah menugaskan Bulog untuk mengimpor dua juta ton beras.
Jika diasumsikan harga beras impor setengah dari harga eceran di pasaran, yakni sekitar Rp 13.500 per kilogram, setidaknya anggaran yang dibutuhkan untuk impor beras sebesar Rp 13,5 triliun. Itu hampir setara dengan pagu anggaran Kementan pada 2023.
Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2023, pagu Kementan adalah Rp 15,3 triliun. Sementara untuk tahun 2024, dialokasikan sebesar Rp 14,6 triliun.
Angka tersebut konsisten mengalami penurunan sejak 2021. Pada saat itu anggaran Kementan dialokasikan sebesar Rp 15,8 triliun.
Kendati relatif lebih tinggi, angka tersebut sebenarnya jauh di bawah anggaran yang seharusnya. Pagu awal tahun 2021 di atas Rp 21 triliun, begitu pula dengan tahun 2020.
Namun, pandemi Covid-19 membuat alokasi itu dipangkas dan dialihkan menjadi anggaran percepatan ekonomi nasional. Penghematannya hampir sepertiga dari anggaran awal.
Meski demikian, sebelum pandemi, penurunan anggaran sudah terjadi pada 2019 dengan hanya mendapat alokasi Rp 19,4 triliun.
Padahal, tahun-tahun sebelumnya, angkanya konsisten Rp 21 triliun. Bahkan, tahun 2015 anggaran untuk Kementan menembus angka Rp 28 triliun.
https://www.kompas.com/cekfakta/read/2024/01/17/193000382/krisis-pangan-global-dan-tantangan-yang-dihadapi-indonesia