Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Sejarah Kemerdekaan Myanmar dan Akar Persekusi terhadap Rohingya

KOMPAS.com - Persekusi selama puluhan tahun oleh Pemerintah Myanmar menjadi alasan etnis Rohingya meninggalkan kampung halaman mereka di negara bagian Rakhine.

Berdasarkan data Komisi Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi (UNHCR) per 31 Oktober 2023, sekitar 1,29 juta pengungsi dari Myanmar tersebar di banyak negara dan 1,09 juta jiwa di antaranya merupakan etnis Rohingya.

Jumlah yang begitu besar itu warga Rohingya merupakan kelompok yang paling rentan menjadi korban kekerasan.

Sejak 1982, etnis Rohingya tidak diakui oleh Pemerintah Myanmar. Warga Rohingya di Myanmar dicabut hak kewarganegaraannya dan dianggap penghuni ilegal.

Tak hanya itu, etnis Rohingya di Myanmar juga menjadi sasaran persekusi militer karena dianggap bukan warga negara. Mereka dibunuh, diperkosa, dan diusir dari tempat tinggalnya.

Situasi tersebut membuat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sampai menyatakan etnis Rohingya sebagai salah satu kelompok minoritas yang paling terpersekusi di dunia.

Akar persekusi

Latar belakang krisis Rohingya tidak dapat dilepaskan dari sejarah Myanmar (dulu disebut Burma) yang pernah menjadi jajahan Inggris pada 1824-1948.

Menurut Council on Foreign Relations, keberadaan etnis Rohingya di Myanmar dapat dilacak hingga abad ke-15, ketika ribuan umat Islam datang ke wilayah Kerajaan Arakan, yang sekarang menjadi Rakhine, Myanmar, dan bagian selatan Chittagong, Bangladesh.

Kemudian, lebih banyak muslim tiba di Burma pada abad ke-19 dan awal abad ke-20, ketika wilayah tersebut berada di bawah pemerintahan kolonial Inggris. 

Pada 1942, Jepang menginvasi Burma dan kekerasan komunal meletus selama Inggris mundur dari wilayah tersebut. Kekerasan diarahkan kepada kelompok-kelompok yang dianggap mendapatkan keuntungan dari pemerintahan kolonial Inggris.

Kaum nasionalis Burma menyerang komunitas Karen dan India, sementara di Arakan, komunitas Rakhine dan penduduk desa Rohingya saling serang hingga menyebabkan perpindahan warga Buddha ke selatan dan Muslim ke utara.

Sekitar 22.000 warga Rohingya diyakini telah melintasi perbatasan dan mengungsi ke Bengal selama periode tersebut. Adapun Burma tetap berada di bawah kendali Jepang sampai Inggris berhasil mengusir mereka pada 1945.

Sebelum invasi Jepang, Inggris berupaya menarik simpati muslim Burma untuk meningkatkan kekuatan pasukan mereka dengan menjanjikan Wilayah Nasional Muslim di Arakan utara.

Pada Perang Dunia II, kaum Rohingya memihak Inggris, sementara kaum nasionalis Myanmar mendukung Jepang. Setelah perang, Inggris memberi penghargaan kepada Rohingya dengan jabatan bergengsi di pemerintahan. Namun, mereka tidak diberi negara otonom.

Pada 4 Januari 1948, ketika Myanmar memperoleh kemerdekaan dari Inggris, konflik sektarian meletus di negara itu. Rohingya, yang dianggap sebagai imigran ilegal yang dibawa oleh penjajah Inggris, menjadi sasaran utama kekerasan.

Akademisi dari Rutgers University, Engy Abdelkader, dalam esai yang dipublikasikan The Conversation, 21 September 2017 menyebutkan, banyak orang di Myanmar melihat etnis Rohingya mendapat manfaat dari pemerintahan kolonial.

Gerakan nasionalis dan kebangkitan agama Buddha turut berkontribusi pada meningkatnya kebencian tersebut.

Pada 1950, sebagian warga Rohingya melancarkan pemberontakan melawan kebijakan pemerintah Myanmar. Mereka menuntut kewarganegaraan dan negara otonom yang telah dijanjikan oleh Inggris. Akhirnya, gerakan perlawanan Rohingya ditumpas militer.

Pada 1962, militer sepenuhnya menguasai Myanmar lewat sebuah kudeta dan membangun negara militer di bawah pemerintahan satu partai.

Pada 1977, etnis Rohingya dianggap ilegal dan mengalami persekusi besar-besaran ketika pemerintahan militer meluncurkan upaya nasional untuk mendata warga negara,

Lebih dari 200.000 orang Rohingya melarikan diri ke Bangladesh kala itu karena kekejaman yang meningkat. Pihak berwenang menyebut hal itu bukti status ilegal mereka.

Undang-Undang Kewarganegaraan Myanmar yang disahkan pada 1982 secara resmi menolak mengakui hak kewarganegaraan etnis Rohingya.

Untuk menjadi warga negara, undang-undang tersebut mensyaratkan bahwa nenek moyang seseorang harus berasal dari ras atau kelompok nasional yang ada di Myanmar sebelum dimulainya pemerintahan kolonial Inggris pada 1824.

Meski etnis Rohingya telah bermukim di wilayah tersebut sejak sebelum kedatangan Inggris, Pemerintah Myanmar menggolongkan mereka imigran ilegal yang dibawa penjajah.

Akibatnya, etnis Rohingya kehilangan hak-hak dasar seperti akses layanan kesehatan, pendidikan, dan pekerjaan. Mereka juga kehilangan hak untuk beribadah dengan bebas.

Selain itu, etnis Rohingya juga menghadapi pembatasan hak untuk menikah, bergerak bebas, dan memiliki harta benda karena identitas agama dan etnis mereka. Bahkan, pasangan Rohingya hanya diperbolehkan memiliki tidak lebih dari dua anak.

Mereka yang melanggar ketentuan tersebut berisiko dipenjara, dan anak-anak mereka dimasukkan ke dalam daftar hitam pemerintah.

Tanpa status hukum, anak-anak tersebut tidak bisa bersekolah, bepergian, atau membeli properti. Polisi juga dapat menangkap dan memenjarakan mereka.

Menurut UNHCR, lebih dari 1 juta pengungsi Rohingya melarikan diri dari kekerasan di Myanmar dalam gelombang pengungsian berturut-turut sejak tahun 1990-an.

Saat ini, lebih dari 960.000 pengungsi Rohingya tinggal di Bangladesh dan mayoritas menetap di dan sekitar kamp pengungsi Cox’s Bazar. Sebanyak 52 persen pengungsi Rohingya di Bangladesh adalah anak-anak, sementara 51 persen adalah perempuan dan anak perempuan.

Untuk mengurangi kepadatan di 33 kamp di Cox’s Bazar, hampir 30.000 pengungsi telah direlokasi ke pulau Bhasan Char oleh Pemerintah Bangladesh sejak tahun 2021.

Pengungsi Rohingya juga mencari perlindungan di negara-negara tetangga lainnya seperti Thailand, Malaysia, India, dan sebagian kecil di Indonesia, Nepal, serta negara lainnya.

Dilansir Kompas.id, etnis Rohingya dinyatakan oleh PBB sebagai salah satu kelompok minoritas yang paling teraniaya di dunia. Tidak diberikannya pengakuan terhadap etnis Rohingya menjadikan mereka sebagai kelompok yang lepas dari tanggung jawab Pemerintah Myanmar.

Nasib kelompok Rohingya makin parah karena adanya sentimen rasial dari warga Myanmar yang mayoritas memeluk agama Buddha. Sentimen ini pun makin menjadi karena perbedaan fisik yang kentara antara warga etnis Rohingya dan kebanyakan warga Myanmar lain.

Puncak kekerasan terhadap kelompok Rohingya terjadi pada 2017. Saat itu terjadi persekusi, pemerkosaan, hingga pembunuhan terhadap etnis Rohingya oleh warga mayoritas.

Alih-alih meredakan, aparat keamanan dari pemerintah justru ikut melakukan kekerasan dan cenderung menjustifikasi persekusi yang diarahkan kepada kelompok tersebut.

https://www.kompas.com/cekfakta/read/2024/01/05/133100382/sejarah-kemerdekaan-myanmar-dan-akar-persekusi-terhadap-rohingya

Terkini Lainnya

Tidak benar Satelit Cuaca Dimatikan Saat Kecelakaan Presiden Iran

Tidak benar Satelit Cuaca Dimatikan Saat Kecelakaan Presiden Iran

Hoaks atau Fakta
[KLARIFIKASI] Jakarta Masih Ibu Kota sampai Ada Keppres Pemindahan

[KLARIFIKASI] Jakarta Masih Ibu Kota sampai Ada Keppres Pemindahan

Hoaks atau Fakta
INFOGRAFIK: Hoaks Foto Helikopter Presiden Iran Terbakar di Udara, Simak Bantahannya

INFOGRAFIK: Hoaks Foto Helikopter Presiden Iran Terbakar di Udara, Simak Bantahannya

Hoaks atau Fakta
[HOAKS] Video Putin dalam Pesawat Menuju Pemakaman Presiden Iran

[HOAKS] Video Putin dalam Pesawat Menuju Pemakaman Presiden Iran

Hoaks atau Fakta
INFOGRAFIK: Hoaks Foto Perlihatkan Puing Sirip Helikopter Presiden Iran yang Jatuh

INFOGRAFIK: Hoaks Foto Perlihatkan Puing Sirip Helikopter Presiden Iran yang Jatuh

Hoaks atau Fakta
Fitur AI Terbaru dari Microsoft Dinilai Membahayakan Privasi

Fitur AI Terbaru dari Microsoft Dinilai Membahayakan Privasi

Data dan Fakta
Beragam Informasi Keliru Terkait Kecelakaan Helikopter Presiden Iran

Beragam Informasi Keliru Terkait Kecelakaan Helikopter Presiden Iran

Hoaks atau Fakta
[HOAKS] Presiden Iran Selamat dari Kecelakaan Helikopter

[HOAKS] Presiden Iran Selamat dari Kecelakaan Helikopter

Hoaks atau Fakta
CEK FAKTA: Benarkah Oposisi Tak Lagi Dibutuhkan dalam Pemerintahan?

CEK FAKTA: Benarkah Oposisi Tak Lagi Dibutuhkan dalam Pemerintahan?

Hoaks atau Fakta
[KLARIFIKASI] Isu Lama, Produk Bayi Mengandung Bahan Penyebab Kanker

[KLARIFIKASI] Isu Lama, Produk Bayi Mengandung Bahan Penyebab Kanker

Hoaks atau Fakta
[HOAKS] Suporter Indonesia Kumandangkan Takbir Jelang Laga Lawan Irak

[HOAKS] Suporter Indonesia Kumandangkan Takbir Jelang Laga Lawan Irak

Hoaks atau Fakta
[HOAKS] Bansos Tunai Rp 175 Juta Mengatasnamakan Kemensos

[HOAKS] Bansos Tunai Rp 175 Juta Mengatasnamakan Kemensos

Hoaks atau Fakta
[KLARIFIKASI] Foto Ini Bukan Pemakaman Presiden Iran Ebrahim Raisi

[KLARIFIKASI] Foto Ini Bukan Pemakaman Presiden Iran Ebrahim Raisi

Hoaks atau Fakta
[HOAKS] Modus Baru Mencampur Gorengan dengan Narkoba

[HOAKS] Modus Baru Mencampur Gorengan dengan Narkoba

Hoaks atau Fakta
INFOGRAFIK: Aturan Pelarangan TikTok di Berbagai Negara, Simak Alasannya

INFOGRAFIK: Aturan Pelarangan TikTok di Berbagai Negara, Simak Alasannya

Hoaks atau Fakta
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke