Upaya edukasi mengenai Covid-19; terkait penyebabnya, bahayanya, dan cara pencegahannya tidak putus dilakukan oleh berbagai pihak, baik pemerintah, akademisi, maupun tokoh masyarakat.
Akan tetapi, upaya untuk memberikan pemahaman yang tepat mengenai penyakit baru ini ternyata terbentur dengan banjir informasi menyesatkan di media sosial.
Hoaks-hoaks terkait Covid-19 terus bermunculan, dan bahkan selalu menyesuaikan dengan perkembangan terkini penanganan pandemi, termasuk soal vaksinasi.
Infodemik, atau penyebaran informasi keliru secara masif, menjadi salah satu faktor penghambat yang menyebabkan pandemi tak kunjung usai.
Tidak ada penyaring
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Fajar Junaedi, mengatakan, perbedaan platform media sosial dengan media konvensional merupakan salah satu faktor yang mendorong hoaks terus bermunculan.
"Perbedaannya adalah bahwa konten di media sosial dapat disampaikan antara pengguna tanpa proses gatekeeping dengan penyaringan pihak ketiga, pemeriksaan fakta, atau penilaian editorial," kata Fajar saat dihubungi Kompas.com, Kamis (13/1/2022).
Menurut Fajar, kesimpulan itu berdasarkan temuan Allcott dan Gentzkow (2017) yang dipublikasikan dalam artikel berjudul "Social Media and Fake News in the 2016 Election".
Artikel tersebut membedah peran media sosial dalam merebaknya berita palsu atau hoaks pada masa pemilihan presiden Amerika Serikat tahun 2016.
Fajar mengatakan, ketiadaan proses penyaringan pada media sosial membuat hoaks lebih mudah dibuat dan disebarkan di platform tersebut, ketimbang melalui media massa arus utama.
Tidak lepas dari politik
Fajar menjelaskan, penelitian yang dilakukan sebelum pandemi itu menunjukkan bahwa hoaks digunakan oleh aktor politik untuk kepentingan politik dengan tujuan memengaruhi pemilih.
"Ini yang sebenarnya juga terjadi di masa pandemi ini. Pertarungan yang terjadi antara pemerintah dan oposisi terjadi terbawa dalam penyebaran hoaks yang terjadi di media sosial," ujar Fajar.
Menurut dia, pandemi Covid-19 dapat dikatakan sebagai sesuatu yang "politis" di mata sebagian pihak. Sehingga, terjadi semacam perang narasi untuk menentukan narasi yang lebih dipercaya masyarakat.
"Dalam konteks hoaks yang terus berkelanjutan di masa pandemi ini, tentu bisa dipahami sebagai bagian dari pertarungan politik antaraktor politik untuk kepentingan elektoral," ucap Fajar.
Tren hoaks 2022
Sekretaris Jenderal Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Ika Ningtyas berpendapat, hoaks seputar pandemi Covid-19 masih akan bermunculan di 2022, terutama tentang varian baru virus corona.
"Potensi hoaks yang masih akan beredar itu pertama soal Covid-19. Khususnya soal Omicron, karena memang trennya sedang naik secara global, termasuk di Indonesia," ujar Ika, seperti diberitakan Kompas.com, 5 Januari 2022.
Terpisah, Juru Bicara Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Dedy Permadi juga menyebutkan bahwa hoaks seputar Covid-19 masih akan bermunculan pada 2022.
Dedy mengamati bahwa selama ini, hoaks yang beredar di Indonesia mengikuti isu-isu yang ramai diperbincangkan.
Hal ini membuat sebaran hoaks di ruang digital sangat dinamis dan beragam.
Menurut Dedy, pada 2021, Kementerian Kominfo mencatat 723 hoaks seputar Covid-19 dari 565.449 sebaran konten negatif di ranah digital.
Ia mengatakan, hoaks bisa menghambat akses informasi berkualitas yang seharusnya diterima masyarakat terkait pandemi. Bahkan, menimbulkan keragu-raguan tentang Covid-19.
"Kita mengalami pengalaman buruk ketika ada saudara-saudara kita terlambat melakukan pencegahan dan penanganan karena percaya dengan hoaks atau disinformasi terkait Covid-19," kata Dedy, seperti diberitakan Kompas.com, 6 Januari 2022.
https://www.kompas.com/cekfakta/read/2022/01/14/090900682/pandemi-sudah-hampir-2-tahun-kenapa-hoaks-covid-19-masih-bermunculan-