PAK Jokowi,
Saya pertama kali nyoblos presiden itu gegara njenengan. Sebelumnya selalu golput. Betul kalau dulu orang banyak bilang gagal golput gara-gara Jokowi.
Kenapa? Karena saya merasa njenengan sama dengan saya dan rakyat lainnya. Benar-benar rakyat, tak punya privilege apapun.
Njenengan yang merangkak dari pengusaha kayu lalu menjadi wali kota. Dari sana lalu menjadi gubernur. Dari gubernur, jadilah presiden. Benar-benar dari satu anak tangga ke anak tangga berikutnya.
Saya pernah sekali foto bersama njenengan di ajang penghargaan tertentu. Itu membanggakan.
Saya kisahkan ke anak saya, Nida. Sampai berkali-kali Nida ingin ketemu njenengan. Tiap kali dia lihat njenengan di TV, teriak, “Ayah, ada Jokowi”.
Tentu bocah enam tahun tidak tahu bila jarak presiden dan ayahnya, jauuuuh sekali. Tapi, ia idolakan njenengan. Karena saya kisahkan bagaimana njenengan orang hebat.
Hebat dalam arti bahwa semua rakyat, asal mau upaya keras, bisa sampai posisi puncak. Presiden. Termasuk anak saya, Nida. Tak punya privilege seperti kebanyakan anak rakyat Indonesia.
Meski jauuuh jarak kita, tapi saya tak sungkan pakai "njenengan". Sebab njenengan orang yang saya pilih, saya percayakan untuk memimpin negeri ini. Tentu bersama kepercayaan jutaan pemilih lainnya.
Saya tak hanya pemilih njenengan, tapi dua kali menjadi relawan, 2014 dan 2019. Ya, relawan yang miliki mimpi soal Indonesia lebih maju.
Dan benar, di tangan njenengan sebagian mulai terlihat. Perubahan, meski sulit dan tak sempurna betul, terjadi di mana-mana.
Sehingga saya bayangkan njenengan sebagai teladan kepemimpinan berikutnya. Sekurang-kurangnya harus seperti njenengan. Njenengan menjadi baseline, role model pemimpin negeri yang besar ini.
Jelang akhir jabatan, saya selalu berharap agar kepemimpinan njenengan di akhiri dengan baik. Husnul khotimah. Happy ending. Smooth landing. Itu akan membahagikan, tak hanya bagi njenengan, tapi saya dan tentu jutaan relawan dan pemilih lainnya.
Namun sekarang, gaduh. Bukan husnul tapi seperti akan su'ul khotimah. Jokowi sebagai the legend, mulai nampak pudar. Boleh jadi njenengan tahan cacian, tapi nampak luput karena pujian. Pujian dari masyarakat yang puas sampai 81,9 persen (LSI, Juli 2023).
Tentu orang melihat dan memahami, bagaimana konstitusi itu dikangkangi sedemikian rupa. Para relawan dan pemilih njenengan kecewa. Termasuk saya.