Artinya mereka orang-orang yang memilih karena melihat kompetensi serta kualifikasi. Bukan pemilih yang taklid buta, sing penting melu Jokowi. Bukan!
Di akhir jabatan, pilar negara kok diacak-acak. Jadi saya nilai level njenengan ternyata belum leader bangsa dan negara. Hanya level manajer pemerintahan yang cakap.
Leader bangsa dan negara tentu saja akan mengutamakan kemaslahatan umum. Di mana nilai-nilai semacam itu berada pada hal yang setipis atau setebal, yang kita sebut moral, etika, fatsun.
Adalah hal-hal tak tertulis, namun bekerja sebagai fundamen dari apa-apa yang tertulis. Sehingga njenengan tak bisa dengan enteng bilang, "Ya orangtua itu hanya tugasnya mendoakan dan merestui", ketika ditanya wartawan soal pencalonan Gibran. Pak, itu tak berterima.
Negara domain publik. Njenengan presiden republik. Itu melekat dalam diri njenengan sebagai personal. Sehingga tak bisa seolah-olah jadikan itu sekadar urusan rumah tangga, bapak-anak. Dan njenengan restui begitu saja, dengan asumsi itu kemauan Gibran, bukan njenengan.
Dengan merestui Gibran, njenengan menutup peluang Nida, anak saya. Bahwa kembali lagi, demokrasi tak berbasis pada merit system. Bahwa privilege menjadi sangat menentukan. Itu bertolak belakang dengan "Jokowi adalah Kita".
Ya, kita. Rakyat kebanyakan. Visi soal demokrasi memberi peluang setara bagi seluruh putra/ putri terbaik bangsa itu njenengan kubur. Sungguh ironi, Pak!
Gibran dan Kaesang, putra-putra njenengan itu, nampak nggege mongso. Apa njenengan khawatir nasib mereka kelak tak bisa sehebat dan setekun bapaknya?
Untuk meniti dari satu anak tangga ke anak tangga berikut. Begitu seperti njenengan dulu lakukan.
Dalam moral, etika, fatsun, yang tak tertulis itu, njenengan nampak sudah lampaui batas. Ngono yo ngono, ning ojo ngono.
Apa yang njenengan lakukan sekarang, itu nyolok moto. Itu benar-benar seperti mengasumsikan rakyat bodoh. Buta politik. Tuna etika.
Ternyata, tidak. Rakyat, atau setidaknya relawan dan pemilih njenengan itu, kuat akar politiknya. Kuat fundamen moralnya. Dan kuat kerinduannya pada pemimpin dari orang biasa yang dapat berbuat hal-hal luar biasa.
Saya dan jutaan relawan dan pemilih lainnya juga melek dan turut memaki tren nepotisme dan kedinastian yang njenengan bangun. Tentu kami menolak. Itu bukan hal baik dalam demokrasi. Bahkan, terkutuk!
Sekarang saya dan tentu jutaan orang berharap kepada Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) dapat memutus dengan adil. Juga berharap agar MKMK rekomendasikan sidang ulang terhadap putusan 90. Agar pencalonan Gibran gagal.
Tentu bukan karena tak suka orang muda calonkan diri. Sebab saya pun baru 38 tahun yang unda-undi dengan putra njenengan.
Tapi beri pelajaran kepada njenengan dan pemimpin lain, bahwa kekuasaan di negara demokratis harus diselenggarakan dengan cara-cara yang konstitusional dan etis.
Saya tak pernah kisahkan sisi kelam ini ke anak saya, Nida. Terlalu rumit baginya untuk pahami bahwa tak perlu lagi idolakan njenengan.
Boleh jadi ketika dewasa kelak, dia akan baca sendiri di pelajaran sejarah dan politik Indonesia. Bahwa pernah ada orang biasa menjadi presiden, yang kesandung pada masa penghujung.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.