Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Jaya Suprana
Pendiri Sanggar Pemelajaran Kemanusiaan

Penulis adalah pendiri Sanggar Pemelajaran Kemanusiaan.

Menjajaki Jajak Pendapat

Kompas.com - 06/10/2023, 21:27 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KREDIBILITAS apa yang disebut sebagai jajak pendapat alias polling alias survei alias riset atau apapun namanya, bisa diperdebatkan sampai mulut habis berbuih tanpa berhasil menemukan kebenaran yang dicari.

Harus diakui memang lebih mudah melakukan jajak pendapat dengan perbendaharaan aneka ragam metode yang tersedia ketimbang mempertanggung-jawabkan keabsahan kebenarannya.

Memang tidak mudah -- untuk tidak menggunakan istilah mustahil -- melakukan jajak pendapat secara sama sekali lepas dari dalih cetirus paribus, sebab satu-satunya unsur yang tidak berubah memang hanya sang perubahan itu sendiri.

Lingkungan riset yang dilakukan hari ini, dijamin pasti tidak sama alias beda dengan lingkungan pada saat hasil riset dipublikasikan.

Bahkan setiap insan manusia yang diwawancara sebagai sumber jajak pendapat pada hakikatnya memiliki pendapat yang setiap saat bisa berubah dengan alasan tertentu maupun tanpa alasan.

Hari ini berpendapat begini, besok bisa begitu. Bahkan pagi begini, siang begitu, sore lain lagi.

Maka sudah menjadi kelaziman saintifikal-matematikal bahwa setiap hasil jajak pendapat niscaya diberi embel-embel terminologi keren berwibawa akademis, yaitu margin-error yang justru menjamin hasil riset pasti belum tentu sama 100 persen dengan kenyataan yang juga pasti sudah berubah.

Namun minimal satu hal dapat disepakati bersama, yaitu fakta bahwa polling masa kini sudah menjadi bagian hakiki melekat pada kehidupan politik masyarakat yang disebut sebagai modern dan demokratis.

Hanya di negara-negara non-demokratis seperti China, Kuba, Korea Utara, Rusia, Arab Saudi, polling tidak dibutuhkan, sebab keputusan mengenai siapa berhak menjadi pemimpin negara sepenuhnya mutlak diputuskan oleh yang sedang berkuasa.

Sementara di negara-negara demokratis di mana kepala negara dipilih langsung rakyat dari rakyat untuk rakyat, suka tak suka fakta membuktikan bahwa jajak pendapat telah menjadi bagian hakiki melekat pada pemilihan umum.

Industri jajak pendapat sedemikian subur tumbuh-kembang di masyarakat kapitalis sebagai komoditas industri hiburan melalui media massa dan media sosial maupun media asosial yang memiliki potensi menggerakkan arus gerak uang sebagai pemeran utama mekanisme roda ekonomi secara bukan alang kepalang.

Di masyarakat penganut mazhab kapitalisme adalah wajar bahwa industri jajak-pendapat merupakan sumber nafkah lukratif bagi para pemilik serta pemodal perusahaan jajak-pendapat maupun buruh industri polling.

Statistik, stokastik, dan probabilitas sudah berjaya menjadi produk “ilmiah” yang laris-manis diperjual-belikan.

Diakui atau tidak diakui, de facto industri jajak-pendapat mampu menjadi instrumen sakti mandraguna bukan hanya terbatas untuk mendeteksi opini publik, namun juga ampuh untuk memengaruhi, bahkan merekayasa demi membentuk opini publik sesuai kehendak sang pemodal dan produsen jajak-pendapat.

Pendek kata plesetan bijak Gus Dur terhadap teks lagu Maju Tak Gentar juga menjadi absah pada industri jajak pendapat yaitu, maju tak gentar, membela yang bayar .

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

[POPULER TREN] Manfaat Air Kelapa Muda Vs Kelapa Tua | Cara Perpanjang STNK jika Pemilik Asli Kendaraan Meninggal Dunia

[POPULER TREN] Manfaat Air Kelapa Muda Vs Kelapa Tua | Cara Perpanjang STNK jika Pemilik Asli Kendaraan Meninggal Dunia

Tren
NASA Perbaiki Chip Pesawat Antariksa Voyager 1, Berjarak 24 Miliar Kilometer dari Bumi

NASA Perbaiki Chip Pesawat Antariksa Voyager 1, Berjarak 24 Miliar Kilometer dari Bumi

Tren
Profil Brigjen Aulia Dwi Nasrullah, Disebut-sebut Jenderal Bintang 1 Termuda, Usia 46 Tahun

Profil Brigjen Aulia Dwi Nasrullah, Disebut-sebut Jenderal Bintang 1 Termuda, Usia 46 Tahun

Tren
Jokowi Teken UU DKJ, Kapan Status Jakarta sebagai Ibu Kota Berakhir?

Jokowi Teken UU DKJ, Kapan Status Jakarta sebagai Ibu Kota Berakhir?

Tren
Ini Daftar Gaji PPS, PPK, KPPS, dan Pantarlih Pilkada 2024

Ini Daftar Gaji PPS, PPK, KPPS, dan Pantarlih Pilkada 2024

Tren
Pengakuan Ibu yang Paksa Minta Sedekah, 14 Tahun di Jalanan dan Punya 5 Anak

Pengakuan Ibu yang Paksa Minta Sedekah, 14 Tahun di Jalanan dan Punya 5 Anak

Tren
Jadi Tersangka Korupsi, Ini Alasan Pendiri Sriwijaya Air Belum Ditahan

Jadi Tersangka Korupsi, Ini Alasan Pendiri Sriwijaya Air Belum Ditahan

Tren
Daftar Lokasi Nobar Indonesia Vs Uzbekistan Piala Asia U23 2024

Daftar Lokasi Nobar Indonesia Vs Uzbekistan Piala Asia U23 2024

Tren
Bolehkah Penderita Diabetes Minum Air Tebu? Ini Kata Ahli Gizi UGM

Bolehkah Penderita Diabetes Minum Air Tebu? Ini Kata Ahli Gizi UGM

Tren
Bandara di Jepang Catat Nol Kasus Kehilangan Bagasi Selama 30 Tahun, Terbaik di Dunia

Bandara di Jepang Catat Nol Kasus Kehilangan Bagasi Selama 30 Tahun, Terbaik di Dunia

Tren
La Nina Berpotensi Tingkatkan Curah Hujan di Indonesia, Kapan Terjadi?

La Nina Berpotensi Tingkatkan Curah Hujan di Indonesia, Kapan Terjadi?

Tren
Kasus yang Bikin Bea Cukai Disorot: Sepatu Impor hingga Alat Bantu SLB

Kasus yang Bikin Bea Cukai Disorot: Sepatu Impor hingga Alat Bantu SLB

Tren
Biaya Kuliah Universitas Negeri Malang 2024/2025 Program Sarjana

Biaya Kuliah Universitas Negeri Malang 2024/2025 Program Sarjana

Tren
Hari Pendidikan Nasional 2024: Tema, Logo, dan Panduan Upacara

Hari Pendidikan Nasional 2024: Tema, Logo, dan Panduan Upacara

Tren
Beredar Kabar Tagihan UKT PGSD UNS Capai Rp 44 Juta, Ini Penjelasan Kampus

Beredar Kabar Tagihan UKT PGSD UNS Capai Rp 44 Juta, Ini Penjelasan Kampus

Tren
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com